ISLAM &
KREATIVITAS
PENDAHULUAN
Sebagian
besar negara-negara Muslim
telah lama tertinggal dalam berkontribusi pada industri kreatif. Hal ini disebabkan oleh hilangnya sifat kreatif dan inovatif dalam
komunitas Muslim. Ketertinggalan negara Muslim dalam
industri kreatif dunia mengarahkan pada persepsi secara umum terhadap Muslim
sebagai orang yang tidak kreatif. Untuk menganalisis mengenai hal ini, penting
untuk memahami definisi dari kreativitas di mana kreativitas adalah sesuatu
konstruk yang memiliki definisi sangat luas.
Terdapat
beberapa pendekatan untuk mendefiniskan kreativitas, diantaranya kreativitas
sebagai sebuah proses, kreativitas sebagai sebuah kemampuan, kreatvitas sebagai
sebuah ekspresi dari ketidaksadaran dan kreativitas sebagai sebuah produk/kualitas.
Dalam hal ini, definisi kreativitas difokuskan pada kreativitas sebagai sebuah
produk/kualitas. Kreativitas sebagai sebuah produk meliputi dua aspek penting
yaitu keaslian (originalitas) dan efektivitas (sesuai, berguna dan tepat)
(Runco & Jaeger, 2012). Sedangkan kreativitas sebagai sebuah kemampuan, Cambridge
Academic Content Dictionary mendefinisikan kreativitas sebagai kemampuan
untuk menghasilkan ide-ide yang asli dan tidak biasa atau membuat sesuatu yang
baru atau imaginatif baik dalam bentuk yang tidak berwujud maupun benda fisik. Businessdictionary.com
mendefinisikan kreativitas sebagai karakteristik mental yang mengarahkan
seseorang untuk berpikir tidak biasa (out
of the box) yang menghasilkan pendekatan yang inovatif atau berbeda terhadap
sebuah tugas tertentu. De Souza (2008) menyebut kreativitas sebagai “big C” di
mana istilah kreativitas dibatasi
sebagai sebuah produk yang benar-benar asli dan kualitas kreatif yang luar
biasa sebagai kreativitas yang sebenarnya.
Islam sebagai sebuah
agama memenuhi semua persyaratan yang diajukan dalam definisi kreativitas sejak
tahap awal. Islam dimulai sebagai agama baru di tengah-tengah keyakinan
tradisional, menawarkan cara berpikir berbeda yang radikal, serangkaian nilai
yang sama sekali baru tentang apa yang baik dan apa yang buruk, menawarkan
pedoman baru yaitu Quran (Mohd Zarif et. al., 2013). Quran sendiri memberikan
banyak tantangan untuk muslim awal yaitu orang-orang Semenanjung Arab untuk
menyelidiki tentang lingkungan sekitar mereka secara mendalam hingga sampai
pada kesimpulan mengenai kehidupan mereka secara lebih mendalam. Quran juga
mencegah tindakan ‘taqlid’ buta dari generasi sebelumnya. Namun sayangnya,
setelah disebutkan tentang perhatian Islam terhadap kreativitas, paradoks, hal
ini sendiri belum mendapat perhatian yang serius bagi banyak muslim (Al
Karasneh & Jubran Saleh, 2010).
Istilah
kreativitas dalam Islam memiliki dimensi
dan tujuan tambahan untuk memastikan bahwa maqasids (tujuan) yang dirumuskan
dalam Islam terhadap kehidupan manusia dapat terpenuhi. Islam mensyaratkan
kreativitas harus bertujuan dan bermanfaat terhadap kemanusiaan ( Al-Mazeidy,
1993). Selain itu, kreativitas dalam Islam memiliki aspek tauhid di mana
kreativitas bebas dari syirik (menyekutukan Allah) dan diarahkan untuk
mendapatkan keridhaan Allah. Dalam hal ini, Yousif (1999) mendefinisikan
kreativitas sebagai sebuah proses menyadari, mengaplikasikan, mengelaborasi
prinsip-prinsip dan ide-ide ketuhanan dalam waktu dan tempat tertentu untuk
menghadapi tantangan yang muncul dalam semua bidang kehidupan.
Dunia muslim
mencapai puncak dalam keilmuwan dan pembelajaran selama abad 13 di mana dunia
muslim berkembang sebagai pusat dari pengetahuan, ekonomi dan politik di dunia
sebelum mengalami periode yang stabil lalu mengalami penurunan prestasi.
Perkembangan keilmuwan sejalan dengan pencapaian dalam kreativitas dan inovasi
dalam negara-negara muslim. Hal ini ditunjukkan dengan 64% dari
prestasi ilmiah Muslim yang
disahkan sebelum tahun 1250, 36% antara tahun 1250-1750 dan tidak ada setelah
1750 (Hoodbhoy, 1991). Karena itu penting untuk
mengembalikan kreativitas bagi dunia muslim saat ini.
1. Kreativitas
dalam Paradigma Barat
Rhodes (1961, dalam Isaksen, 1987, dalam
Munandar, 2009) yang telah menganalisis lebih dari 40 defenisi tentang
kreativitas menjelaskan bahwa kreativitas dirumuskan sebagai “Four P’s of Creativity: Person, Process, Press, Product”. Pendapat ini didukung oleh Tan
(2009) bahwa definisi kreativitas tergantung pada sudut pandang yang digunakan
dalam mendefinisikan kreativitas dalam istilah orang kreatif, proses kreatif,
produk kreatif, atau lingkungan kreatif. Keempat P ini saling berkaitan,
pribadi kreatif yang melibatkan diri proses kreatif, dan dengan dukungan dan
dorongan (press) dari lingkungan
menghasilkan produk kreatif (Munandar, 2009).
Chaplin (1989) dalam Rachmawati dan
Kurniati (2010) mengutarakan bahwa kreativitas adalah kemampuan menghasilkan
bentuk baru dalam seni, atau dalam permesinan, atau dalam memecahkan
masalah-masalah dengan metode-metode baru.
Piirto (2004) dalam Tan (2009) setelah
memahami kreativitas dari berbagai perspektif mengemukakan proses kreatif dalam
tujuh kata: inspirasi, citra, imajinasi, intuisi, wawasan, inkubasi, dan
improvisasi. Istilah kreatif digunakan dalam arti luas berarti memiliki
kapasitas untuk menghasilkan sesuatu yang bersifat “original, inventif, dan
gagasan baru".
Tokoh Indonesia yang membahas tentang
kreaivitas, Munandar (1995) mendefenisikan kreativitas sebagai kemampuan untuk
membuat kombinasi-kombinasi baru, asosiasi baru berdasarkan bahan, informasi,
data atau elemen-elemen yang sudah ada sebelumnya menjadi hal-hal yang bermakna
dan bermanfaat. Munandar dalam uraiannya tentang pengertian kreativitas
menunjukkan ada tiga tekanan kemampuan, yaitu yang berkaitan dengan kemampuan
untuk mengkombinasi, memecahkan / menjawab masalah dan cerminan kemampuan
operasional anak
2.
Ciri-Ciri Kreativitas dalam Paradigma Barat
Guilford (1959)
dalam Munandar (2009) mengemukakan bahwa ciri-ciri dari kreativitas terbagi dua
yaitu aptitude (kognitif) dan non-aptitude traits (afektif).
Ciri-ciri aptitude (kognitif) :
a.
Kelancaran
berpikir (fluency) merupakan
kemampuan untuk memproduksi banyak gagasan (Ghufron dan Risnawati, 2010).
Guilford mengemukakan bahwa kelancaran dalam berpikir merupakan aspek penting
dalam kreativitas (Vernon , 1973). Kelancaran berfikir pertama kali dikemukakan
oleh Thurstone (1938). Menurut Munandar (1992) kelancaran berpikir merupakan
kemampuan untuk mencetuskan banyak gagasan, jawaban, penyelesaian masalah, atau
pertanyaan, memberikan banyak cara atau saran untuk melakukan berbagai hal, dan
selalu memikirkan lebih dari satu jawaban.
b.
Keluwesan
berpikir (flexibility) merupakan
kemampuan untuk mengajukan bermacam-macam pendekatan atau bermacam-macam jalan
terhadap penyelesaian masalah (Ghufron dan Risnawati, 2010). Pada tahun 1950,
Guilford menghipotesiskan bahwa pemikir kreatif adalah pemikir yang flexibel.
Mereka siap untuk meninggalkan cara lama dalam berpikir dan menemukan cara baru
(Vernon, 1973).
c.
Keaslian
berpikir (originality) merupakan
kemampuan untuk melahirkan gagasan-gagasan asli.
d.
Elaborasi
yaitu kemampuan untuk memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan atau produk
dan kemmapuan untuk menambahkan atau memerinci detail-detail dari suatu objek,
gagasan, dan situasi sehingga lebih menarik (Munandar, 1992). Guilford
mendefenisikan elaborasi sebagai kemmapuan untuk merencanakan, (Berger,
Guildford, and Christensen, 1957 dalam Vernon, 1973) memverifikasi dan
menganalisis, yang memungkinkan untuk dimaknai/dilanjutkan.
Ciri-ciri
non-aptitude (afektif) :
a.
Rasa ingin
tahu yaitu sikap mental yang membuat seseorang
terdorong untuk mengetahui lebih banyak, selalu mengajukan banyak
pertanyaan, selalu memerhatikan orang, objek, situasi, serta peka dalam pengamatan
b.
Bersifat
imajinatif yaitu kemampuan untuk membayangkan atau mengkhayalkan hal-hal yang belum pernah terjadi. Meskipun
demikian tetap mengetahui perbedaan
khayalan dan kenyataan.
c.
Merasa
tertantang oleh kemajemukan merupakan sikap mental yang mendorong untuk
mengatasi masalah-masalah yang sulit, merasa tertantang oleh situasi-situasi
yang rumit, dan lebih tertarik pada tugas-tugas yang sulit.
d.
Berani
mengambil risiko yaitu sikap mental yang mendorong seseorang untuk berani
memberikan jawaban, meskipun belum tentu benar. Individu yang berani mengambil
risiko tidak takut gagal atau mendapat kritik dan tidak ragu-ragu dalam
menghadapi ketidakjelasan.
e.
Sifat
menghargai sebagai kemampuan untuk dapat menghargai bimbingan dan pengarahan
dalam hidup, menghargai kemampuan dan bakat-bakat sendiri yang sedang
berkembang.
3.
Kreativitas dalam Paradigma Islam
Kamus Bahasa
Arab Al-Mo’jam Al-Waseet mendefinisikan kata “to create” sebagai
“untuk menghasilkan sesuatu yang sebelumnya tidak ada dengan cara yang baru ”
(Mustafa et al.1989:150). Al-Mazeedi (1993)
mendefinisikan kreativitas sebagai kemampuan merancang bentuk-bentuk
baru yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan sesuai dengan Syari'at Islam dan
prinsip-prinsipnya. Muslim kreatif adalah yang
mengikuti bimbingan ilahi dari Allah (swt). Mereka akan mempertimbangkan
pandangan syari'at Islam sebelum melakukan apapun.
Sejatinya, Islam
sudah kreatif secara alami; Islam datang dengan prinsip-prinsip baru dan unik
yang menolak praktek-praktek yang berlaku pada masyarakat Arab dalam hal
menyembah Allah. Hal itu sangat berbeda dengan keyakinan dari orang pada waktu
itu. Islam datang untuk tujuan perubahan yang lebih baik bagi kemanusiaan.
Adanya pergeseran dari generasi bangsa Arab yang hanya meniru dan mengikuti
generasi sebelumnya menuju sistem/ model
baru kehidupan yang unik dalam hal
pemikiran, keasadaran dan pemahaman misi manusia di bumi. Quran itu
sendiri berisi ide-ide besar dan kreatif termasuk
Al-Quran sebagai
pedoman lengkap bagi sistem kehidupan, memungkinkan orang untuk hidup sesuai
dengan Islam. Quran diturunkan sebagai mukjizat kepada Nabi Muhammad dan
menantang semua orang untuk menghasilkan beberapa ayat seperti Qur’an tapi
mereka gagal. Ini adalah tanda kreativitas ilahi untuk mengungkapkan sebuah
buku yg tak ada bandingannya, yang unik
dan relevan untuk semua orang di semua tempat dan waktu.
Al-Qur’an, Nabi
dan masyarakat Muslim sudah kreatif secara alami, dan banyak ilmuwan Muslim
yang mampu menghasilkan hal-hal kreatif. Empat Imam besar yaitu, Imam Malik,
Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad Bin Hanbal adalah contoh yang
sempurna untuk kreativitas. Masing-masing mampu mendirikan sekolah unik Fiqh
Islam yang menggunakan metodologi yang berbeda.
4.
Tujuan dari Kreativitas dalam Islam
a)
Sebagai
bagian dari pemenuhan kewajiban manusia di bumi yaitu mencapai Ridho-Nya:
Tujuan utama kreativitas adalah menjalankan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya dalam rangka mencapai Ridho-Nya. Inilah yang menjadi motivasi
utama muslim dalam menciptakan dan mengahasilkan sesuatu. Sebagaimana yang
tertuang didalam Al Quran :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالاِنسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku (QS. Adz Dzariyat ayat 56).
b)
Memperkuat
hubungan dengan Allah dimana kreativitas mendorong seseorang untuk menghasilkan
sesuatu baru yang membuat seseorang memahami kebesaran dan kuasa-Nya
c)
Menemukan
kebenaran karena tujuan dari kreativitas
dalam Islam tidak hanya untuk menemukan hal-hal yang baru dan bermanfaat.
Tujuan dari semua ini adalah untuk menemukan kebenaran bahwa Allah telah
meletakkan kebenaran di berbagai tempat di alam semesta ini. Itulah sebabnya
Allah mendorong manusia untuk berjalan dan berpikir tentang alam semesta,
tentang diri manusia sendiri.
وَبِالْحَقِّ أَنْزَلْنَاهُ وَبِالْحَقِّ نَزَلَ ۗ وَمَا أَرْسَلْنَاكَ
إِلَّا مُبَشِّرًا وَنَذِيرًا
Dan Kami turunkan (Al
Qur’an itu dengan sebenar-benarnya dan Al Qur’an itu telah turun dengan
(membawa) kebenaran. Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa
berita gembira dan pemberi peringatan (QS.Al-Israa’ [17] Ayat 105).
d)
Melayani
masyarakat karena tujuan kreativitas
bagi
umat Islam adalah mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan masyarakat
5.
Dasar-Dasar Utama Kreativitas dari Perspektif Islam
a.
Ketulusan
Kreativitas dalam Islam harus karena dan
untuk Allah. Cendekiawan Muslim kreatif harus menyadari niat mereka dalam
kreativitas. Mereka juga harus berniat untuk meningkatkan pengetahuan dan
memperkuat hubungan dengan Allah dengan mencari kebenaran.
b.
Sesuai
dengan syari'at
Untuk
menghasilkan kreativitas harus sesuai dengan pemikiran Islam, harus mengikuti hukum
syara. Produk kreatif tidak boleh
bertentangan dengan salah satu prinsip dasar Islam (al-Mazeedi, 1993: 304).
c.
Produk
yang bermanfaat
Hasil kreativitas harus bermanfaat bagi
masyarakat Muslim dan berguna bagi orang-orang dalam hidup mereka. Harus membawa
kebaikan bagi masyarakat.
d.
Memenuhi
sistem etika dan moral
Kreativitas dalam Islam adalah suara
moral. Semua produk kreatif harus didasarkan pada etika-moral dalam sistem
Islam. Ini berarti bahwa apa pun yang akan dibuat harus diterima secara etis.
e.
Metodologi
Ijtihad
Ijtihad adalah upaya atau usaha-usaha
sungguh-sungguh dalam mencari solusi untuk sesuatu yang tidak khusus disebutkan
dalam Al-Qur'an atau Sunnah. Kreativitas ditempuh melalui ijtihad.
f.
Penolakan
imitasi.
Imitasi sebagai antitesis dari kreativitas,
atau sebagai penghambat kreativitas, perbuatan ini dicela dalam Quran
berkali-kali. Allah (swt) menyebutkan orang-orang negatif yang hanya meniru
orang-orang sebelum mereka dalam menyembah selain Dia.
6. Metodologi
Kreativitas dalam Islam
Pentingnya
metodologi ditekankan oleh Ilmuwan Muslim al-Maududi bahwa ilmu-ilmu Islam
telah kehilangan karakteristik unik mereka untuk beberapa periode, karena tidak
menggunakan pendengaran, penglihatan dan pemikiran islam secara benar dan juga karena umat Islam
telah meninggalkan peran historisnya dalam memimpin dunia (dikutip dalam
al-Mazeedi, 1993: 33). Abu al-Hasan al-Nadwi telah menunjukkan bahwa ilmu-ilmu
Islam jauh lebih baik ketika ada Cendekiawan Muslim yang peduli dalam membangun
metodologi yang tepat untuk membimbing, memperjelas dan memahami setiap aspek
dalam syariat Islam (al-Nadwi, 1983.:282).
a.
Methodology of
Travelling and Observation
قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ
الْخَلْقَ ثُمَّ اللَّهُ يُنْشِئُ النَّشْأَةَ الْآخِرَةَ إِنَّ اللَّهَ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Katakanlah:
"Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah
menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali
lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS. Al- Ankabut : 20)
قَدْ خَلَتْ
مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ
عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
Sesungguhnya
telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah karena itu berjalanlah kamu di
muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan
(rasul-rasul).(QS. Ali Imran : 137).
Allah SWT telah
mendorong semua orang untuk berjalan dan berpikir, memperhatikan orang yang
sebelum mereka, dan menarik ibroh. Orang-orang yang melakukan perjalanan melalui
ruang atau waktu dapat belajar dari pengalaman orang lain.
b. Methodology of Seeing
Melihat adalah
alat lain untuk meningkatkan kreativitas di alam semesta dan di mana-mana.
أَوَلَمْ يَنظُرُواْ فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَا خَلَقَ اللّهُ مِن شَيْءٍ وَأَنْ عَسَى أَن يَكُونَ قَدِ اقْتَرَبَ أَجَلُهُمْ فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ
Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Qur'an itu? (Q.S Al A’raf : 185)
c. Methodology of Hearing
Semua manusia
bertanggung jawab untuk telinga mereka, mata dan hati mereka miliki yang telah
diberikan oleh Allah sebagai hadiah. Pendengaran ini juga menjadi salah satu
metode untuk mencapai kreativitas.
وَلا تَقْفُ
مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ
أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا –
Dan janganlah
kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggunganjawabnya (QS. Al Israa : 36)
d. Methodology of Reflection
Islam mendorong
orang untuk berpikir secara mendalam dalam segala hal yang menyangkut manusia.
Metodologi ini yang ditekankan dalam Al-Quran dengan cara yang berbeda. Salah
satu cara adalah untuk mendorong orang untuk berpikir secara langsung tentang
peristiwa yang terjadi di sekitar mereka. Allah misalnya memotivasi orang untuk
berpikir tentang hujan yang turun dari langit
BATASAN
KREATIVITAS DALAM ISLAM
Islam adalah agama yang mengatur hubungan antara manusia
dengan Tuhan, sesama manusia dan alam, serta bagaimana mengatur diri manusia
itu sendiri berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Islam memiliki pandangan yang
unik dan batasan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam masalah
kreativitas. Pertanyaan selanjutnya kenapa harus
ada begitu banyak batasan dalam Islam dan bukankah akhirnya tidak bisa kreatif
dalam mengeluarkan ide-ide jika dibatasi. Padahal, batasan tidak bermakna
negatif dalam kreativitas dan seni. Batasan justru dibutuhkan untuk menguji
kreativitas berbuat dan berkarya di dalam koridor tertentu. “Creativity is how we manage things in
constraints”, demikian kata Prof. Sandi A. Siregar.
Seseorang
dianggap kreatif hanya jika ia mampu berbuat sesuatu di dalam batasan yang ada.
Jika ia mampu berbuat sesuatu dengan kebebasan yang mutlak, maka tidak ada
kreativitas di dalamnya, hal itu merupakan hal yang biasa saja. Contohnya pada sebuah pertandingan bulu tangkis yang
tidak dibatasi oleh peraturan yang mengikat, wasit yang adil dan lawan main
yang seimbang. Point yang dihasilkan dari pertandingan semacam ini akan terasa
hambar dan tidak ada artinya. Pemain yang berhasil unggul dalam perolehan point
tidak akan dianggap hebat. Lain halnya jika atlet tersebut unggul dalam
perolehan point di tengah pertandingan yang dibatasi oleh waktu yang sempit,
peraturan yang mengikat dan pengawasan wasit yang ketat, serta dengan lawan
main yang seimbang. Dengan demikian, kreativitas ternyata bukanlah
sesuatu yang harus selalu terbentur oleh batasan yang ada.
Kreativitas dalam Islam tidak mengenal kebebasan yang mutlak di dalam setiap aspeknya, baik aspek keilmuan, teknologi, maupun aspek keseniannya. Terdapat beberapa batasan, terutama dalam berkesenian, yang bersumber dari ketentuan syariat di dalam Islam. Secara umum, pandangan di atas juga mengisyaratkan, bahwa seperti halnya seni yang tidak bebas nilai, begitu pula halnya ilmu. Sebagai contoh, dalam penggunaan kamera tersembunyi untuk mengobservasi aktivitas manusia dikamar mandi guna menentukan desain kamar mandi yang paling nyaman, tentu saja hal ini tidak dapat dibenarkan dalam Islam. Walaupun demikian, adanya batasan-batasan etika ini tidak menghambat penelitian ini, justru batasan etika berfungsi memacu akal untuk mengeksplorasi cara dan kemungkinan yang lebih baik dalam melakukan penelitian, misalnya dengan simulasi komputer berdasarkan data-data ergonomi dan hasil wawancara dengan sampel penelitian. Sehingga batasan menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan dari kreativitas.
Seni dalam Islam dibatasi
untuk tidak menggambarkan figur manusia atau hewan secara natural. Batasan ini,
terlepas dari berbagai perbedaan pendapat tentangnya, ternyata menjadi peluang
yang sangat besar di tangan para seniman dan arsitek muslim di masa awal
perkembangan peradaban Islam. Bukannya merasa terkekang lalu menyerah begitu
saja, tetapi seniman muslim menjadikan batasan itu sebagai tantangan tersendiri
untuk membuktikan seberapa besar kemampuan mereka untuk berkarya di dalam
koridor itu. Eksplorasi kreativitas yang dilakukan secara intensif di dalam
koridor nilai-nilai Islam, ternyata menghasilkan suatu ragam seni dekorasi
tersendiri yang sangat unik dan estetik. Sejarah pun kemudian mengukir karya
peradaban mereka dengan tinta emas. Di beberapa belahan dunia, seperti di Spanyol,
Mesir, Iran, dan Turki, obyek-obyek arsitektur dari masa ini dilestarikan
sebagai bagian dari peradaban yang bernilai tinggi.
Kreativitas akan
muncul di tempat-tempat di mana batasan itu ada, bukan untuk menerobosnya,
melainkan untuk mengolah secara optimal segala sesuatu yang ada di dalam
batasan itu menjadi lebih berdaya guna. Sehingga ketika seorang muslim mematuhi
batasan-batasan yang ada dalam menciptakan produk kreatif maka disanalah
kreativitas akan muncul. Tentu saja batasan ini sesuai dengan syariat Islam
yang tertuang di dalam Al-Quran dan Hadist Mutawatir.
ANALISIS
& KESIMPULAN
Di dalam Quran disebutkan bahwa:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا
بِأَنْفُسِهِمْ ۗ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ ۚ
وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah
keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Perubahan di
dalam diri sendiri meliputi segala hal yang bersifat internal meliputi
keyakinan, pikiran, ide, emosi, keadaan, kondisi, perilaku, tindakan, status
atau hubungan. (Mohd Zarif et.al, 2013; Al-Karasneh & Jubran Saleh, 2010;
Faruq, 2006). Salah satu elemen penting yang berkontribusi untuk mendorong kreativitas
dan inovasi adalah berpikir kritis. Menjadi kreatif dan kritis dalam waktu yang
bersamaan bagaikan “dua sisi koin”. Dalam banyak situasi, seseorang yang
kreatif memiliki pikiran yang kritis (Abdul Razak & Afridi, 2014).
Salah satu
elemen penting yang berkontribusi untuk mendorong kreativitas dan inovasi
adalah berpikir kritis. Menjadi kreatif dan kritis dalam waktu yang bersamaan
bagaikan “dua sisi koin”. Dalam banyak situasi, seseorang yang kreatif memiliki
pikiran yang kritis (Abdul Razak & Afridi, 2014). Sayanngnya, menjadi
kritis bukanlah sifat dalam komunitas Muslim tradisional. Menurut Rhode
(2012b),
“Until the Muslim once
again allow themselves to ask questions and engage in critical examination,
they are disabling themselves from accomplishing as much as they otherwise
might”
Lebih buruk
lagi, kurangnya toleransi untuk berpikir kritis muncul dalam masyarakat Muslim
dalam bentuk ekstremisme agama terhadap pendapat dan pandangan. Di tengah
kebingungan, agama selalu digunakan sebagai dalil untuk membela berdiri.
Mungkin bencana besar yang menyapu bersih jejak kreativitas dan inovasi yang
tersisa di masyarakat Muslim adalah deklarasi bahwa pintu ijtihad (usaha
analitis oleh para cendekiawan untuk sampai pada putusan agama) telah ditutup
sehingga menghasilkan interpretasi yang sangat sempit dalam agama dalam banyak
situasi ("Ijtihad: Menafsir ulang Prinsip Islam", 2004; Rhode,
2012a).
Maka sudah cukup
bagi generasi baru untuk beradaptasi sepenuhnya terhadap pendapat dan pandangan
yang dikemukakan oleh ulama besar dari sebelumnya tiga atau empat abad lalu.
Dalam kenyataannya banyak ulama besar dari sebelumnya atau saat ini membantah
doktrin ini dan mendeklarasikannya sebagai hal yang tidak menguntungkan umat
(Amir Hussin, 2000). Karena ini tidak aneh untuk memiliki opini bahwa karena
status represif dan pembatasan yang dikenakan pada usaha di ijtihad oleh
instansi agama dan Pemerintah di negara-negara Muslim, mereka merasa bahwa
cendekiawan Muslim di barat - masih terbuka untuk ekspresi kreatif dan kebebasan
harus memimpin upaya untuk menghidupkan kembali ijtihad di dunia Muslim
("Ijtihad: Menafsir ulang Prinsip Islam", 2004; Rhode b, 2012a).
Kematian
berpikir kritis dan penutupan gerbang ijtihad
telah mengubah
bangsa Muslim menjadi konsumen pasif bukan produsen yang agresif dan dinamis. Muslim kehilangan keberanian dan kepercayaan diri untuk membuktikan kasus mereka dan memulai dalam penelitian untuk menemukan solusi untuk masalah mereka sendiri. Bidang fiqh (yurisprudensi) telah terhambat untuk mempersempit interpretasi dalam agama sehingga menjadi serrangkaian putusan haram terlalu sering kali muncul dalam praktis dan bahkan bahan tertawaan pada waktu tertentu.
bangsa Muslim menjadi konsumen pasif bukan produsen yang agresif dan dinamis. Muslim kehilangan keberanian dan kepercayaan diri untuk membuktikan kasus mereka dan memulai dalam penelitian untuk menemukan solusi untuk masalah mereka sendiri. Bidang fiqh (yurisprudensi) telah terhambat untuk mempersempit interpretasi dalam agama sehingga menjadi serrangkaian putusan haram terlalu sering kali muncul dalam praktis dan bahkan bahan tertawaan pada waktu tertentu.
Meskipun Islam
sesungguhnya diungkapkan oleh Allah sebagai jalan hidup, abadi; islam juga bersifat
praktis dan memiliki pendekatan yang sangat rasional. Membatasi sumber
referensi hanya kepada satu aliran pemikiran (mazhab) bertentangan dengan
semangat asli dari Islam dan menentang manfaat dari fiqh Islam terhadap
perubahan yang fleksibel dan akomodatif pada masa kini. Pemahaman ini
sebenarnya adalah prasyarat penting untuk mengembangkan kreativitas dalam Islam. Pada kenyataannya banyak
kesalahpahaman ini dan berpikir sempit tidak memungkinkan bagi kita untuk
berani mengeksplorasi arena yang lebih luas dalam mengekspresikan kreativitas
dan inovasi.
Kekakuan putusan
pada pada isu-isu kontroversial yang dibawa oleh pendapat fiqh yang berbeda
seperti masalah musik, keterlibatan perempuan dalam pertunjukkan seni, aurat
dan sentuhan anjing dalam Islam di
banyak contoh memaksakan pembatasan yang tidak perlu untuk Muslim untuk
mengekspresikan kreativitas mereka. Pada kenyataannya fleksibilitas Islam di
fiqh dapat digunakan dalam keuntungan dari ummat selama itu masih dalam batas
pendapat utama dalam Islam (Ahmad, 2007) (Ahmad Farid & Man, 2012).
Beberapa ahli menyarankan bahwa ijtihad untuk dunia saat ini tidak hanya harus
melibatkan para ulama melainkan proses konsultasi melibatkan ahli dalam
berbagai bidang pertanyaan (Kamali, 2006).
Dalam kreativitas juga perlu untuk meningkatkan
kualitas diri dalam dunia tasawuf yang
sering disebut dengan 3-T
(takhalli, tahalli dan
tajalli) (Mujib, 2015).
Pertama, tahapan permulaan
(al-bidayah) yang
disebut dengan takhalli,
yaitu mengosongkan diri
dari segala
sifat-sifat yang kotor yang menutup cahaya ruhani.
Pada
tahapan ini fitrah manusia
merasa rindu kepada Khaliknya. Ia sadar bahwa keinginan untuk
berjumpa itu terdapat
tabir (al-hijab) yang menghalangi interaksi dan
komunikasinya, sehingga ia
berusaha menghilangkan
tabir tersebut. Perilaku maksiat, dosa dan segala gangguan
pada kepribadian merupakan tabir yang
harus disingkap dengan cara menutup, menghapus dan
menghilangkannya. Tahapan pertama ini harus dilakukan oleh orang
yang ingin menghasilkan produk kreatif dan kreativitas karena pada dasarnya
kreativitas itu lahir dari kebersihan jiwa dengan meninggalkan segala perbuatan
maksiat. Tidak akan muncul kreativitas jika bertentangan dengan syariat

Ketiga, tahapan merasakan (al-mudziqat) yang disebut
dengan tajalli, yaitu munculnya kesadaran
rabbani. Pada
tahapan ini
seorang hamba tidak
sekadar menjalankan perintah Khalik-nya dan menjauhi
larangan-Nya, namun ia merasakan kelezatan,
kedekatan, kerinduan bahkan
bersamaan (ma’iyyah) dengan-Nya. Tahapan ini merupakan
tahapan puncak dimana existensi kreativitas itu ada karena menyadari bahwa
menghasilkan produk kreatif akan membuat ia dekat dengan Allah karena
senantiasa menggali solusi terhadap suatu permasalahan melalui ijtihad dan juga
menyadari bahwa sebaik-bainya manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain.
Inilah yang menjadi dasar dalam melakukan kreativitas.
Kesimpulannya,
perubahan persepsi dan pemahaman Islam adalah
langkah-langkah wajib sebelum
situasi mengenai kreativitas Muslim
dapat diubah. Sarana penting untuk memulai dengan adalah pendidikan.
Belajar agama harus
membawa Muslim dekat
dengan sumber nyata agama yang
merupakan Quran dan Sunnah bukan
hanya belajar penafsiran Quran dan Sunnah
seperti yang kita lakukan sekarang.
Kedua sumber harus
dipahami dengan baik dan harus
termasuk dalam program pembelajaran Islam. Kreativitas juga
membutuhkan keberanian untuk mempertanyakan cara yang dapat diterima
dalam melakukan sesuatu juga terikat pada batasan Syariat Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khalili,
Syaikh Amal Abdus-Salam. (2005). Mengembangkan
Kreativitas Anak. Terj. Umma Farida. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Dr. Samih
Mahmoud Al-karasneh & Dr. Ali Mohammad Jubran.Islamic Perspective of
Creativity: A Model for Teachers of Social Studies as Leaders. Procedia Social and Behavioral Sciences
Journal, 2010, 412-426.
Ghufron,
M. Nur & Risnawati, Rini (2010).Teori-Teori
Psikologi. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media
Halligan.
(2009). Skill in Creativity, Design, and
Innovation. Forfas Publish
Langgulung,
Hasan. (1991). Kreativitas dan Pendidikan
Islam: Suatu Kajian Psikologi dan Falsafah. Jakarta: Pustaka Al-Husna
Mujib, A.
(2015). Implementasi Psiko-Spiritual dalam Pendidikan Islam. Madania, 19
(2). 195-204.
Munandar, S.C.U.
(2009). Pengembangan kreativitas anak berbakat. Jakarta: PT Rineka Cipta
dan Dep. Pendidikan dan Kebudayaan.
Rachmawati, Yeni
& Euis Kurniati. (2010). Strategi
Pengembangan Kreativitas pada Anank Usia Taman Kanak-Kanak. Jakarta:
Kencana
Salina Ismail,
Muhammad Shakirin Shaari. Fostering creativity in the Islamic world: towards an
effective islamic creative industry. Indian Journal of Arts, 2015,
5(16), 111-119.
Shalley, C. E. 1991. Effects of
productivity goals, creativity goals, and personal discretion on individual
creativity. Journal of Applied Psychology,
76
Semiawan,
Conny R. (2010).Kreativitas Keberbakatan:
Mengapa, Apa, dan Bagimana.Jakarta : PT. Indeks
Vernon, P.E. (1973). Creativity. Victoria: Penguin Education
Tidak ada komentar:
Posting Komentar