ETOS KERJA ISLAMI
Oleh :
SANDRA JATI P
21150700000008
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Setiap
manusia diwajibkan untuk melakukan usaha dan berperilaku baik. Usaha yang
dilakukan haruslah sungguh-sungguh dengan niat ikhlas, dalam Islam juga
diwajibkan untuk berikhtiar dan tidak hanya pasrah. Meski makhluk hidup di bumi sudah mendapat jaminan rezeki dari Allah,
namun kemalasan tidak punya tempat dalam Islam. Fatalisme atau paham nasib
tidak dikenal dalam Islam. Firman Allah”, maka carilah rezeki di sisi Allah,
kemudian beribadah dan bersyukurlah kepada Allah. Hanya kepada Allah kamu akan
dikembalikan” (Qs Al-Ankabut: 17). Allah akan memberikan karunia
terhadap setiap usaha yang dikerjakan dan juga disertai dengan doa. Rasulullah
SAW bersabda: “bekerjalah untuk
duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya, dan beribadahlah untuk akhiratmu
seakan-akan kamu mati besok.”
Rezeki harus diusahakan, firman Allah
di ayat lain tegas menyatakan, cara mendapat rezeki adalah dengan bekerja.
“Jika shalat telah ditunaikan, maka menyebarlah kalian di muka bumi, carilah
karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kalian beruntung” (Qs
Al-Jumu’ah: 10). Ayat lain juga menyatakan, dijadikannya siang terang
agar manusia mencari rezeki dari Allah (Qs Al-Isra: 12), terlihatnya bahtera
berlayar di lautan agar manusia mencari karunia Allah (Qs An-Nahl: 14), adanya
malam dan siang agar manusia beristirahat pada waktu malam dan bekerja pada
waktu siang (Qs Al-Qashash: 73). Oleh karena itu, dalam makalah ini akan
dipaparkan mengenai pentingnya penerapan etos kerja dalam aktivitas bekerja.
BAB II
ISI
2.1 Kerja
Bekerja adalah segala aktivitas dinamis
dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani),
dan di dalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan
untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian dirinya kepada
Allah SWT.
“Dan Katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah
dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu
akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata,
lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. At-Taubah
[9];105)
Ayat tersebut menjadi dasar
diperintahkannya manusia supaya bekerja, apapun jenisnya selama tidak melanggar
syariat Islam. Dalam siklus hidup manusia, pasti akan bertemu dengan yang
disebut “bekerja”. Dalam Islam, bekerja adalah kewajiban yang mesti dijunjung
tinggi oleh setiap muslim dengan cara yang makruf. Agar hidup terus
berlangsung, bisa beribadah, serta beramal shalih, maka manusia mesti bekerja
untuk memenuhi sandang, pangan, dan papan yang menjadi bagian dari kehidupan.
Secara lebih hakiki, bekerja bagi
seorang muslim merupakan “ibadah”, bukti pengabdian dan rasa syukurnya untuk
mengolah dan memenuhi panggilan Ilahi agar mampu menjadi yang terbaik karena
mereka sadar bahwa bumi diciptakan sebagai ujian bagi mereka yang memiliki etos
terbaik, sesuai dengan sabda Allah swt:
“Sesungguhnya, Kami telah menciptakan
apa-apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, supaya Kami menguji mereka
siapakah yang terbaik amalnya”. (QS. Al-Kahfi ayat 7)
Rasulullah Saw.bersabda:
“Tidaklah seseorang makan lebih baik
dari hasil usahanya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud, makan dari hasil usahanya
sendiri”. (HR.Bukhari)
Di dalam hadits lain, Rasulullah
Saw.bersabda:
“Barang yang paling bagus dimakan
seseorang adalah merupakan hasil kerjanya”. (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)
Kedua hadits tersebut menegaskan
bahwa bekerja dan hasil pekerjaan termasuk perbuatan mulia, karena jerih payah
yang dilakukan mencerminkan kemandirian dan upaya keras untuk menjauhkan diri
dari perbuatan bergantung kepada orang lain. Berpangku tangan seperti malas-malasan dan meminta-minta dapat
membuka pintu kemiskinan dan kefakiran yang berlipat-lipat. Hal ini seperti
yang disabdakan oleh Rasulullah Saw.:
“Barang siapa membuka dirinya pintu
meminta-minta, maka Allah membukakan atasnya 70 (tujuh puluh) pintu kefakiran”.
(HR.Tirmidzi)
Dalam bekerja, kita harus
mengutamakan kejujuran dan ketepatan meletakkan tujuan pekerjaan. Itulah
prinsip kerja yang diperintahkan oleh Allah Swt dan rasul-Nya yang harus kita
junjung. Mengenai hal ini, Rasulullah saw bersabda:
“Seandainya salah seorang di antara
kalian beramal di dalam batu yang keras dan kokoh yang tidak berpintu dan tidak
berlubang, niscaya Allah akan menampakkan amalannya kepada manusia sebagaimana
adanya”.(HR. Ahmad)
Dengan kata lain, tidak ada suatu
amal dan pekerjaan manusia yang dapat disembunyikan, apalagi terkait dengan
pekerjaan yang melanggar perintah Allah swt. Oleh karena itu, dalam bekerja
manusia harus mengutamakan kejujuran dan ketepatan meletakkan tujuan pekerjaan.
Allah Swt.berfirman :
“Apabila telah ditunaikan shalat,
maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah, dan ingatlah
Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”(QS. Al-Jumu’ah [62]10)
Berkaitan dengan hal tersebut,
Rasulullah Saw.bersabda:
“Mencari rezeki yang halal itu wajib
sesudah menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa, dan sebagainya”. (HR.
Thabrani dan Baihaqi)
Sehingga, bekerja sebagai sifat
kewajiban itu berlaku jika kita sudah memenuhi tanggung jawab fardhu. Jangan
sampai kita melupakan yang fardhu dengan alasan kewajiban bekerja karena Allah
Swt menciptakan waktu-waktu tertentu untuk bekerja bagi makhluk-nya.
Berdasarkan surat An-Nahl ayat 14, Allah Swt memberikan waktu (untuk beribadah,
bekerja, dan beristirahat), menundukkan lautan sehingga manusia dapat berlayar,
mencari ikan-ikan (untuk dikonsumsi),
dan berbagai permata (untuk perhiasan). Semua itu diperuntukkan bagi manusia.
Seseorang yang hanya beribadah tanpa didukung usaha atau seseorang yang bekerja
saja tanpa ibadah, belum disebut sebagai hamba yang tunduk terhadap perintah
Allah Swt. Sehingga ibadah dan bekerja harus dilakukan secara proporsional
untuk mendapat kualitas seorang hamba yang dicintai oleh-Nya. Singkatnya,
beribadahlah ketika tiba saatnya beribadah dan bekerjalah ketika tiba saatnya
bekerja.
Dalam bekerja, kita harus
mengerjakan pekerjaan halal dan memantapkan tujuan hasil pekerjaan. Selain itu,
harus menguasai atau memiliki keahlian terhadap bidang yang dikerjakan. Hal
tersebut senada dengan sabda Rasulullah Saw.berikut:
“Sesungguhnya, Allah suka kepada
hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barang siapa
bersusah-payah mencari nafkah bagi keluarganya maka ia serupa dengan seorang
mujahid di jalan Allah Swt.” (HR.Ahmad)
Rasulullah juga bersabda:
“Kalau ia bekerja untuk menghidupi
anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah jihad di jalan Allah; kalau ia
bekerja untuk menghidupi orang tuanya yang sudah lanjut usia, itu adalah jihad
di jalan Allah; kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak
meminta-minta, itu juga jihad di jalan Allah; kalau ia bekerja karena riya’ dan
sombong itu jalan setan”. (HR. Thabrani).
Melalui hadits tersebut, Rasulullah
Saw.menunjukkan bahwa Allah swt menyukai seorang hamba yang bekerja (berkarya),
dan professional dalam pekerjaannya, yakni yang memiliki komitmen dalam
pekerjaanya.. Bekerja di hadapan Allah swt bernilai ibadah yang sama dengan
jihad. Bekerja, khususnya bekerja untuk menghidupi keluarga merupakan jihad
keluarga, yakni berjuang melawan keterbelakangan ekonomi yang bisa menyebabkan
kemiskinan dan meminta-minta.
Jihad merupakan bagian dari tiga
rangkaian mutiara yang secara berulang disebutkan di dalam Al-Qur’an, yaitu
rangkaian: iman, hijrah, dan jihad. Iman harus dihidupkan dalam bentuk adanya
perubahan (hijrah). Seorang yang beriman tidak mungkin merasa puas dengan
keadaan yang statis (status quo). Sehingga ingin selalu menunjukkan perbaikan
dari waktu ke waktu. Kualitas iman dan semangat perubahan (spirit of change) tidak
mungkin terwujud kecuali dengan adanya jihad, yaitu kesungguhan untuk
membuktikannya dalam kehidupan yang nyata.
Oleh karena itu, bekerja dan
memantapkan arah tujuan bekerja harus diperhatikan agar terhindar dari kerja
yang sia-sia atau terhindar dari pekerjaan yang tergolong jalan setan.
Sehingga, manusia harus menjadikan kerja sebagai lading beramal dan sebagai
jihad hidup untuk menafkahi keluarga. Pekerjaan yang dilandasi niat beribadah
akan mengubah rasa lelah, letih, dan susah payah menjadi berkah. Rasulullah saw
bersabda:
“Barang siapa pada malam hari
merasakan kelelahan karena bekerja pada siang hari, maka pada malam itu ia
diampuni Allah”. (HR. Ahmad dan Ibnu Asakir)
2.2
Etos Kerja
Etos berasal dari bahasa Yunani (ethos) yang memberikan arti sikap,
kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Dari kata Etos ini,
dikenal pula kata Etika, Etiket yang hampir mendekati pada pengertian akhlak
atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik buruk (moral), sehingga dalam etos
tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan
sesuatu secara optimal, lebih baik, dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas
kerja yang sesempurna mungkin. Ketika pekerjaan dilandasi etos kerja, maka kita
akan melakukan pekerjaan dengan sepenuh hati dan berupaya mencapai target yang
telah ditentukan.
Etos kerja berkaitan erat dengan
ketaatan kepada Allah swt., khususnya dalam menjunjung tinggi prinsip-prinsip
kerja. Dengan kata lain, bekerja menjadi implementasi keimanan dan ketakwaan.
Itulah alasannya etos kerja tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai yang melan
dasi seseorang dalam bekerja. Esensi etos kerja adalah cara kita menghayati
aktivitas dan cara kita memaknai kerja dan hasilnya. Hal ini akan menumbuhkan
prinsip-prinsip tertentu dalam bekerja, serta sepatutnya prinsip kerja sesuai
dengan nilai-nilai Islam.
Allah swt berfirman:
“Dan, di antara mereka ada orang
yang berdoa, “Ya tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di
akhirat serta peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS. Al-Baqarah [2]: 201)
Dalam konteks bekerja, ayat
tersebut mengandung makna dan tujuan kita bekerja, yakni mencapai kebaikan di
dunia dan akhirat, yang nantinya melahirkan etos kerja islami. Dengan etos
kerja islami, manusia akan selalu terhubung dengan Allah swt, artinya kita
menyadari bahwa Allah swt melihat dan mengetahui apa yang dikerjakan. Sehingga,
tidak akan berbuat sesuatu yang menyalahi aturan Allah swt, tidak meninggalkan
kewajiban ibadah pada-Nya saat bekerja, dan akan senantiasa berupaya ikhlas
dalam bekerja. Terkait keikhlasan tersebut, Rasulullah saw bersabda:
“Sebaik-baiknya pekerjaan adalah
usaha seorang pekerja yang dilakukannya secara tulus”.
(HR. Hambali)
2.3.
Dimensi Etos Kerja
Dalam dunia barat, etos kerja lebih
dikenal dengan etika kerja (work ethics).
Miller, Woehr,dan Hudspeth (2002) mendefinisikan etos adalah seperangkat
kepercayaan dan sikap yang mencerminkan nilai pokok kerja. Etos kerja bukanlah suatu kesatuan konsep
yang tunggal, melainkan suatu kumpulan sikap dan kepercayaan mengenai perilaku
kerja. Miller, mengidentifikasikan etos kerja ke dalam 7 (tujuh) dimensi,
yaitu:
- Kemandirian
(self reliance), yaitu keyakinan
terhadap kemampuan diri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain.
- Moralitas/etika
(morality/ethics), yaitu keyakinan
terhadap cara/jalan yang menunjuk kepada persoalan-persoalan yang mana
orang bertindak atau diharapkan untuk bertindak.
- Waktu
luang (leisure), yaitu keyakinan
terhadap pentingnya menempatkan aktivitas-aktivitas pada waktu bukan
kerja.
- Kerja
keras (hard work), yaitu
keyakinan bahwa seseorang dapat menjadi pribadi yang lebih baik dan
mencapai tujuan-tujuannya melalui suatu komitmen terhadap nilai dan
pentingnya pekerjaan.
- Sentralitas
pekerjaan (centrality of work),
yaitu menunjuk kepada pentingnya seseorang menggunakan kesempatannya untuk
bekerja.
- Waktu
yang terbuang (wasted time),
yaitu menunjuk kepada komitmen yang tinggi untuk mengelola waktu sehingga
memaksimalkan produktivitas.
- Penundaan
pemuasan (delay of gratification),
yaitu kemampuan untuk melupakan penghargaan jangka pendek agar mendapat
keuntungan di masa yang akan datang.
Tidak
bisa dibantah kehidupan bangsa Barat jelas lebih maju. Hasil yang dicapai oleh
bangsa Barat ini adalah dampak positif dari kerja keras yang mereka lakukan
karena memiliki etos kerja yang tinggi, bahkan dikalangan mereka sampai
mengidap penyakit ‘Workaholic’ (candu kerja). Ketertinggalan umat Islam
dibandingkan bangsa Barat tidak ragu pula bukan sekedar karena takdir Allah
malainkan memiliki kaitan yang sangat erat dengan etos kerja mereka. Berkenan
degan hal tersebut, di masyarakat luas memang terdapat dua pandangan:
Pertama, ada orang yang berpendapat bahwa faktor utama yang paling
menentukan kesuksesan seseorang adalah usaha dan kerja kerasnya sendiri. Bukan
faktor lain, apalagi Tuhan. Semakain seseorang bekerja keras, orang itu
akan semakin sukses. Sebaliknya, kalau seseorang bekerja seadanya, maka hasil
juga seadanya. Jadi, menurut pandangan ini, kunci sukses orang dalam hidupnya
adalah kerjanya sendiri. Pandangan ini dipegang oleh banyak orang yang hidup di
dunia Barat. Pandangan ini sayangnya menimbulkan implikasi tidak diakuinya
Tuhan sebagai zat Yang Maha Kuasa dan Maha Menentukan.
Kedua,
ada juga yang berpandangan sebaliknya, bahwa segala sesuatu-termasuk nasib dan
kehidupan umat manusia telah ditentukan sebelumnya oleh Tuhan, dan tugas
manusia hanya menjalani saja. Pandangan kedua ini justru
menegaskan, bahwa Tuhanlah yang paling menentukan semua, termasuk nasib
dan kehidupan umat manusia. Pandangan ini sayangnya menafikan potensi dan
kekuatan yang dimiliki oleh manusia, dan dampak lanjutnya adalah bahwa manusia
menjadi makhluk sia-sia yang diciptakan Allah. Padahal tidak ada satu pun yang
sia-sia yang diciptakan Allah.
Kedua
pandangan yang dikemukakan di atas bertentangan dengan prinsip dasar ajaran
Islam tentang kehidupan umat manusia dan kaitannya dengan kekuasaan Allah.
Menurut akidah Islam, Allah adalah zat yang Maha Pencipta, Maha Kuasa, Maha
Menentukan, Maha Pemurah, Maha Pemberi Rahmat, Maha Pengasih dan
Penyayang. Disisi lain, manusia adalah makhluk terbaik yang diciptakan
Allah dengan segenap kelebihan dan potensi mereka, untuk dirinya maupun untuk
kehidupan di bumi. Tujuan itu adalah sebagi khalifah di bumi. Berdasarkan
kepada hal ini, sangat logis manakala Allah membebani manusia dengan tugas dan
tanggungjawab. Dalam rangka inilah, manusia dituntut untuk bekerja dan kerjanya
itulah yang menjadi salah satu faktor utama kesuksesannya.
Dalam
buku “Membudayakan Etos Kerja Islami”, ditulis oleh Toto Tasmara, terkait etos
kerja atau cara pandang dalam melaksanakan suatu pekerjaan harus didasarkan
pada 3 (tiga) dimensi kesadaran, yaitu:
- Dimensi ma’rifat (aku tahu)
Dimensi ma’rifat didasarkan pada
kemampuan seseorang untuk mampu memahami tanda-tanda yang telah ditebarkan
Allah swt sebagai rahmat makhluk ciptaan-Nya. Hanya orang yang mampu
menerjemahkan tanda-tanda itulah yang akan mampu tampil sebagai innovator
melalui hipotesis keilmuannya. Pribadi yang memiliki etos kerja menampilkan
dirinya sebagai sosok yang sangat tajam penglihatan intelektual dan mata
batinnya. Sehingga, Al-Qur’an memberikan motivasi yang sangat kuat untuk
mendayagunakan daya nalar agar mampu membedah rahasia dan potensi alam semesta,
sebagaimana beberapa ayat dibawah ini:
“Dan, apakah mereka tidak
memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan
Allah….?” (Al-A’raaf:185)
- Dimensi hakikat (aku berharap)
Dimensi hakikat (aku berharap)
adakah sikap diri untuk menetapkan sebuah tujuan kemana arah tindakan dia
langkahkan, dan sadar bahwa tujuan teramat penting dalam kehidupan karena sikap
tingkah laku seseorang sangat ditentukan oleh kemana dia mengarah, apa
cita-citanya, dan apa yang akan diperbuatnya. Setiap pribadi muslim telah
meyakimi bahwa niat atau dorongan untuk menetapkan cita-cita merupakan ciri
bahwa dirinya hidup. Oleh karena itu, ditanamkan dalam diri kita untuk tetap
memiliki niat yang baik sebagai salah satu cara untuk menumbuhkan cara berpikir
yang positif pada setiap pribadi muslim. Tentang niat ini Rasulullah bersabda,
“Allah Azza wa Jalla berfirman
(kepada malaikat pencatat amal), “Bila hamba-Ku berniat melakukan perbuatan
jelek, janganlah kalian catat dulu. Jika dia telah mengerjakannya, barulah
kalian tulis sebagai satu kejelekan. Bila hamba-Ku berniat melakukan perbuatan
baik, tapi tidak jadi melaksanakannya, catatlah sebagai satu kebaikan. Jika dia
mengamalkannya, catatlah kebaikan itu sepuluh kali lipat”. (HR Abu Hurairah
r.a.)
- Dimensi syari’at (aku berbuat)
Penegetahuan tentang peran dan
potensi diri, tujuan, serta harapan-harapan tidak mempunyai arti kecuali
dipraktikkan dalam bentuk tindakan nyata. Tindakan nyata itu adalah bekerja.
Bekerja adalah manifestasi kekuatan iman karena dorongan firman Allah swt,
“Katakanlah, “Hai kaumku, bekerjalah
sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu
akan mengetahui”. (QS. Az-Zumar 39)
Rasulullah
bersabda, “Sesungguhnya, Allah sangat
senang jika salah seorang di antara kamu mengerjakan sesuatu pekerjaan yang
dilakukannya dengan tekun dan sangat bersungguh-sungguh”. (HR Muslim)
Bila
kita mengaku mencintai Rasulullah, kita seharusnya mengikuti sunnah beliau,
sehingga bekerja dengan tekun dan bersungguh-sungguh adalah ciri seorang
pengikut Rasulullah, atau dapat dikatakan bahwa seorang muslim itu identik
dengan pekerja yang tekun dan penuh kesungguhan. Seorang muslim itu identik
dengan kualitas dan kejujuran.
2.4. Kaitan Iman dan Etos Kerja
Dalam
Islam, iman banyak dikaitkan dengan amal. Dengan kata lain, kerja yang
merupakan bagian dari amal tak lepas dari kaitan iman seseorang. Idealnya,
semakin tinggi iman itu maka semangat kerjanya juga tidak rendah. Setiap pekerja, terutama yang beragama islam, harus dapat menumbuhkan
etos kerja secara Islami, karena pekerjaan yang ditekuni bernilai ibadah. Hasil
yang diperoleh dari pekerjaannya juga dapat digunakan untuk kepentingan ibadah,
termasuk didalamnya menghidupi ekonomi keluarga. Oleh karena itu seleksi
memililih pekerjaan menumbuhkan etos kerja yang islami menjadi suatu keharusan
bagi semua pekerjaan.
Toto Tasmara, dalam bukunya Etos Kerja Pribadi Muslim, menyatakan bahwa “bekerja” bagi seorang Muslim adalah suatu upaya yang
sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh asset, fakir dan zikirnya untuk
mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus
menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang
terbaik (khaira ummah), atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya.
Menurut riwayat Al-Baihaqi dalam
‘Syuab Al Iman’ ada empat prinsip etos kerja yang diajarkan Rasulullah.
Pertama, bekerja secara halal (thalaba ad-dunya halalan). Halal dari segi jenis pekerjaan sekaligus cara menjalankannya. Kedua,
bekerja demi menjaga diri supaya tidak menjadi beban hidup orang lain (ta’affufan an al-mas’alah). Kaum beriman dilarang menjadi benalu bagi orang lain. Rasulullah
pernah menegur seorang sahabat yang muda dan kuat tetapi pekerjaannya mengemis.
Beliau kemudian bersabda, “Sungguh orang yang mau membawa tali atau kapak
kemudian mengambil kayu bakar dan memikulnya di atas punggung lebih baik dari
orang yang mengemis kepada orang kaya, diberi atau ditolak” (HR Bukhari dan
Muslim).
Ketiga, bekerja demi mencukupi
kebutuhan keluarga (sa’yan ala iyalihi). Mencukupi kebutuhan
keluarga hukumnya fardlu ain. Tidak dapat diwakilkan, dan menunaikannya
termasuk kategori jihad. Hadis Rasulullah yang cukup populer, “Tidaklah
seseorang memperoleh hasil terbaik melebihi yang dihasilkan tangannya. Dan
tidaklah sesuatu yang dinafkahkan seseorang kepada diri, keluarga, anak, dan
pembantunya kecuali dihitung sebagai sedekah” (HR Ibnu Majah).
Keempat, bekerja untuk meringankan
beban hidup tetangga (ta’aththufan ala jarihi). Penting dicatat, Islam mendorong kerja keras untuk kebutuhan diri dan
keluarga, tetapi Islam melarang kaum beriman bersikap egois. Islam menganjurkan
solidaritas sosial, dan mengecam keras sikap tutup mata dan telinga dari jerit
tangis lingkungan sekitar. “Hendaklah kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
dan nafkahkanlah sebagian harta yang Allah telah menjadikanmu berkuasa
atasnya.” (QS. Al-Hadid: 7).
Keimanan merupakan landasan, dasar,
pondasi yang paling penting bagi seseorang dalam menghadapi kehidupan
ini. Iman yang diartikan percaya pada Allah swt menjadi sumber dan lentera yang
akan menerangi perjalanan hidup manusia. Dalam istilah motivasi, iman juga bisa
diartikan sebagai rasa percaya pada diri sendiri dan percaya pada alam semesta,
bahwa diri sendiri telah dianugerahi kelebihan-kelebihan positif oleh Yang Maha
Kuasa yang bisa dimaksimalkan dalam bentuk kerja nyata dan bahwa alam semesta
akan mendukung dan menyediakan apa yang kita butuhkan dalam hidup ini.
Bekerja atau beramal (a’milu sholiha) bisa juga kita maknai sebagai sebuah
profesionalisme. Bekerja dengan sebaik-baiknya, melampaui kemampuan rata-rata
kita, mengikuti disipilin, menerapkan etos kerja terbaik hingga menyusun
rencana dan target yang ingin dicapai adalah sebagian dari aspek-aspek yang
menjadi indikator profesionalisme seseorang.
2.5. Motivasi Berprestasi dan Etos Kerja
Etos
kerja yang diterapkan seseorang dalam menjalankan aktivitas kerja dapat
menghasilkan prestasi yang baik. Sehingga pencapaian hasil kerja dapat
dipengaruhi oleh etos kerja. Mathis & Jackson (2008: 113) menjelaskan
factor yang mempengaruhi individu bekerja, yakni kemampuan individual (bakat,
minat, kepribadian): tingkat usaha yang dilakukan (motivasi, etika, kehadiran):
dan dukungan organisasi (budaya, peralatan dan teknologi). Dessler (1986)
faktor yang mempengaruhi kinerja, antara lain: motivasi, kondisi kerja,
kesempatan berkembang, ketentraman, rasa ikut memiliki, hakhaknya diperhatikan,
ruang kerja dan relevansi sosial.
Etos
kerja seorang muslim membuat dia tidak ingin berhenti dalam mencapai
keberhasilan. Apa yang sudah dicapai merupakan sesuatu yang harus disyukuri,
tapi dia tidak puas sampai disitu. Kepuasan terhadap sesuatu yang telah dicapai
membuat seseorang berhenti sampai disitu, bahkan bila kepuasan tanpa iman bisa
membawa kepada riya dan lengah sehingga dia hanya bertahan sampai disitu tanpa
ada niat untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kerjanya. Seorang muslim
selalu dituntut untuk meraih yang terbaik, ilmu yang banyak harus terus
diperbanyak, prestasi yang tinggi harus disempurnakan dan begitulah seterusnya.
Allah berfirman yang artinya: Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu
urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain (QS 94:7).
"Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu
urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain," – (QS.94:7)
Menurut
Mujib (2012), sebab dalam motivasi berprestasi
tergambar indikator orientasi untuk sukses, memiliki standar unggul, lebih
cepat dan lebih baik, respon positif terhadap prestasinya, mempergunakan
kemampuan yang unik dalam berkompetisi, menyukai pekerjaan yang moderat, penuh
tanggung jawab dan kesungguhan, bukan asal-asalan dan umpan balik menjadi
penting untuk sukses, bukan untuk mendapatkan pujian maka hal itu dapat
mempengaruhi secara kausalitas terhadap kepuasan kerja. Indikator yang
disebutkan tersebut dapat terlihat dari orang yang memiliki etos kerja. Etos kerja seorang muslim memacu semangat kompetitif
sehingga seorang muslim itu sangat dituntut untuk ber-fastabikul khairat (berpacu dalam kebaikan). Oleh
karena itu, seorang muslim sangat dituntut untuk mengenal potensi diri, melatih
dan mengembangkannya sehingga dia nanti dapat menentukan bidang apa saja yang
harus digelutinya agar dia dapat berkarya dan berprestasi meskipun hanya dalam satu bidang. Berprestasi merupakan
syarat dalam rangka mereali-sasikan amanah Allah SWT untuk menjadi khalifah-Nya
di muka bumi. Kualitas hidup dalam perspektif agama dapat dilihat dari prestasi
yang disumbangkannya. Berprestasi seperti itu dimulai dari niat atau dorongan
dan keinginan yang kokoh untuk sukses. Niat baik inilah yang kemudian dalam
bahasa psikologi disebut dengan motivasi berprestasi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Etos kerja mengandung makna bahwa
bekerja bukan saja untuk memuliakan diri sendiri, melainkan juga sebagai suatu
manifestasi dari amal saleh dan mempunyai nilai ibadah. Jika setiap pribadi
muslim mamahami, menghayati, dan kemudian mengaktualisasikannya dalam
kehidupan, akan tampak pengaruhnya pada lingkungan yaitu membudayakan kebiasaan
bekerja keras.
DAFTAR
PUSTAKA
Dessler,
Gary.1986.Organization Theory,
Integrating Structure and Behavior. Second Edition, Englewood Cliffs,
NewJersey: Prentice-Hall, Inc.
Mujib.
A. 2012. Motivasi Berprestasi sebagai
Mediator Kepuasan Kerja. Jurnal Psikologi UGM, Vol 39 (2).
Mathis, R.L., & Jackson, J.H.
(2008). Human Resource management (12th ed.). South-Western:
Thomson.
Miller,
M. J., Woehr, D. and Hudspeth, N. 2002. “The
Meaning and Measurement of Work Ethic: Construction and Initial Validation of a
Multidimensional Inventory.” Journal
of Vocational Behavior 60: 451-489.
Tasmara,
Toto. 1995. Etos Kerja Pribadi Muslim.
Dana Bahkti Wakaf: Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar