Kamis, 25 Februari 2016

ETOS KERJA ISLAMI (SANDRA JATI P)

ETOS KERJA ISLAMI

Oleh :
SANDRA JATI P
21150700000008

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Setiap manusia diwajibkan untuk melakukan usaha dan berperilaku baik. Usaha yang dilakukan haruslah sungguh-sungguh dengan niat ikhlas, dalam Islam juga diwajibkan untuk berikhtiar dan tidak hanya pasrah. Meski makhluk hidup di bumi sudah mendapat jaminan rezeki dari Allah, namun kemalasan tidak punya tempat dalam Islam. Fatalisme atau paham nasib tidak dikenal dalam Islam. Firman Allah”, maka carilah rezeki di sisi Allah, kemudian beribadah dan bersyukurlah kepada Allah. Hanya kepada Allah kamu akan dikembalikan” (Qs Al-Ankabut: 17). Allah akan memberikan karunia terhadap setiap usaha yang dikerjakan dan juga disertai dengan doa. Rasulullah SAW bersabda: “bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya, dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati besok.”
Rezeki harus diusahakan, firman Allah di ayat lain tegas menyatakan, cara mendapat rezeki adalah dengan bekerja. “Jika shalat telah ditunaikan, maka menyebarlah kalian di muka bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kalian beruntung” (Qs Al-Jumu’ah: 10). Ayat lain juga menyatakan, dijadikannya siang terang agar manusia mencari rezeki dari Allah (Qs Al-Isra: 12), terlihatnya bahtera berlayar di lautan agar manusia mencari karunia Allah (Qs An-Nahl: 14), adanya malam dan siang agar manusia beristirahat pada waktu malam dan bekerja pada waktu siang (Qs Al-Qashash: 73). Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dipaparkan mengenai pentingnya penerapan etos kerja dalam aktivitas bekerja.

BAB II
ISI
2.1 Kerja
Bekerja adalah segala aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani), dan di dalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian dirinya kepada Allah SWT.

 “Dan Katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. At-Taubah [9];105)
Ayat tersebut menjadi dasar diperintahkannya manusia supaya bekerja, apapun jenisnya selama tidak melanggar syariat Islam. Dalam siklus hidup manusia, pasti akan bertemu dengan yang disebut “bekerja”. Dalam Islam, bekerja adalah kewajiban yang mesti dijunjung tinggi oleh setiap muslim dengan cara yang makruf. Agar hidup terus berlangsung, bisa beribadah, serta beramal shalih, maka manusia mesti bekerja untuk memenuhi sandang, pangan, dan papan yang menjadi bagian dari kehidupan.
Secara lebih hakiki, bekerja bagi seorang muslim merupakan “ibadah”, bukti pengabdian dan rasa syukurnya untuk mengolah dan memenuhi panggilan Ilahi agar mampu menjadi yang terbaik karena mereka sadar bahwa bumi diciptakan sebagai ujian bagi mereka yang memiliki etos terbaik, sesuai dengan sabda Allah swt:

“Sesungguhnya, Kami telah menciptakan apa-apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, supaya Kami menguji mereka siapakah yang terbaik amalnya”. (QS. Al-Kahfi ayat 7)
Rasulullah Saw.bersabda:
“Tidaklah seseorang makan lebih baik dari hasil usahanya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud, makan dari hasil usahanya sendiri”. (HR.Bukhari)
Di dalam hadits lain, Rasulullah Saw.bersabda:
“Barang yang paling bagus dimakan seseorang adalah merupakan hasil kerjanya”. (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)
Kedua hadits tersebut menegaskan bahwa bekerja dan hasil pekerjaan termasuk perbuatan mulia, karena jerih payah yang dilakukan mencerminkan kemandirian dan upaya keras untuk menjauhkan diri dari perbuatan bergantung kepada orang lain. Berpangku tangan seperti malas-malasan dan meminta-minta dapat membuka pintu kemiskinan dan kefakiran yang berlipat-lipat. Hal ini seperti yang disabdakan oleh Rasulullah Saw.:
“Barang siapa membuka dirinya pintu meminta-minta, maka Allah membukakan atasnya 70 (tujuh puluh) pintu kefakiran”. (HR.Tirmidzi)
Dalam bekerja, kita harus mengutamakan kejujuran dan ketepatan meletakkan tujuan pekerjaan. Itulah prinsip kerja yang diperintahkan oleh Allah Swt dan rasul-Nya yang harus kita junjung. Mengenai hal ini, Rasulullah saw bersabda:
“Seandainya salah seorang di antara kalian beramal di dalam batu yang keras dan kokoh yang tidak berpintu dan tidak berlubang, niscaya Allah akan menampakkan amalannya kepada manusia sebagaimana adanya”.(HR. Ahmad)
Dengan kata lain, tidak ada suatu amal dan pekerjaan manusia yang dapat disembunyikan, apalagi terkait dengan pekerjaan yang melanggar perintah Allah swt. Oleh karena itu, dalam bekerja manusia harus mengutamakan kejujuran dan ketepatan meletakkan tujuan  pekerjaan.
Allah Swt.berfirman :

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”(QS. Al-Jumu’ah [62]10)
Berkaitan dengan hal tersebut, Rasulullah Saw.bersabda:
“Mencari rezeki yang halal itu wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa, dan sebagainya”. (HR. Thabrani dan Baihaqi)
Sehingga, bekerja sebagai sifat kewajiban itu berlaku jika kita sudah memenuhi tanggung jawab fardhu. Jangan sampai kita melupakan yang fardhu dengan alasan kewajiban bekerja karena Allah Swt menciptakan waktu-waktu tertentu untuk bekerja bagi makhluk-nya. Berdasarkan surat An-Nahl ayat 14, Allah Swt memberikan waktu (untuk beribadah, bekerja, dan beristirahat), menundukkan lautan sehingga manusia dapat berlayar, mencari ikan-ikan  (untuk dikonsumsi), dan berbagai permata (untuk perhiasan). Semua itu diperuntukkan bagi manusia. Seseorang yang hanya beribadah tanpa didukung usaha atau seseorang yang bekerja saja tanpa ibadah, belum disebut sebagai hamba yang tunduk terhadap perintah Allah Swt. Sehingga ibadah dan bekerja harus dilakukan secara proporsional untuk mendapat kualitas seorang hamba yang dicintai oleh-Nya. Singkatnya, beribadahlah ketika tiba saatnya beribadah dan bekerjalah ketika tiba saatnya bekerja.
Dalam bekerja, kita harus mengerjakan pekerjaan halal dan memantapkan tujuan hasil pekerjaan. Selain itu, harus menguasai atau memiliki keahlian terhadap bidang yang dikerjakan. Hal tersebut senada dengan sabda Rasulullah Saw.berikut:
“Sesungguhnya, Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barang siapa bersusah-payah mencari nafkah bagi keluarganya maka ia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Swt.” (HR.Ahmad)
Rasulullah juga bersabda:
“Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah jihad di jalan Allah; kalau ia bekerja untuk menghidupi orang tuanya yang sudah lanjut usia, itu adalah jihad di jalan Allah; kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, itu juga jihad di jalan Allah; kalau ia bekerja karena riya’ dan sombong itu jalan setan”. (HR. Thabrani).
Melalui hadits tersebut, Rasulullah Saw.menunjukkan bahwa Allah swt menyukai seorang hamba yang bekerja (berkarya), dan professional dalam pekerjaannya, yakni yang memiliki komitmen dalam pekerjaanya.. Bekerja di hadapan Allah swt bernilai ibadah yang sama dengan jihad. Bekerja, khususnya bekerja untuk menghidupi keluarga merupakan jihad keluarga, yakni berjuang melawan keterbelakangan ekonomi yang bisa menyebabkan kemiskinan dan meminta-minta.
Jihad merupakan bagian dari tiga rangkaian mutiara yang secara berulang disebutkan di dalam Al-Qur’an, yaitu rangkaian: iman, hijrah, dan jihad. Iman harus dihidupkan dalam bentuk adanya perubahan (hijrah). Seorang yang beriman tidak mungkin merasa puas dengan keadaan yang statis (status quo). Sehingga ingin selalu menunjukkan perbaikan dari waktu ke waktu. Kualitas iman dan semangat perubahan (spirit of change) tidak mungkin terwujud kecuali dengan adanya jihad, yaitu kesungguhan untuk membuktikannya dalam kehidupan yang nyata.
Oleh karena itu, bekerja dan memantapkan arah tujuan bekerja harus diperhatikan agar terhindar dari kerja yang sia-sia atau terhindar dari pekerjaan yang tergolong jalan setan. Sehingga, manusia harus menjadikan kerja sebagai lading beramal dan sebagai jihad hidup untuk menafkahi keluarga. Pekerjaan yang dilandasi niat beribadah akan mengubah rasa lelah, letih, dan susah payah menjadi berkah. Rasulullah saw bersabda:
“Barang siapa pada malam hari merasakan kelelahan karena bekerja pada siang hari, maka pada malam itu ia diampuni Allah”. (HR. Ahmad dan Ibnu Asakir)
2.2 Etos Kerja
Etos berasal dari bahasa Yunani (ethos) yang memberikan arti sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Dari kata Etos ini, dikenal pula kata Etika, Etiket yang hampir mendekati pada pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik buruk (moral), sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuatu secara optimal, lebih baik, dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin. Ketika pekerjaan dilandasi etos kerja, maka kita akan melakukan pekerjaan dengan sepenuh hati dan berupaya mencapai target yang telah ditentukan.
Etos kerja berkaitan erat dengan ketaatan kepada Allah swt., khususnya dalam menjunjung tinggi prinsip-prinsip kerja. Dengan kata lain, bekerja menjadi implementasi keimanan dan ketakwaan. Itulah alasannya etos kerja tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai yang melan dasi seseorang dalam bekerja. Esensi etos kerja adalah cara kita menghayati aktivitas dan cara kita memaknai kerja dan hasilnya. Hal ini akan menumbuhkan prinsip-prinsip tertentu dalam bekerja, serta sepatutnya prinsip kerja sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Allah swt berfirman:

“Dan, di antara mereka ada orang yang berdoa, “Ya tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS. Al-Baqarah [2]: 201)
Dalam konteks bekerja, ayat tersebut mengandung makna dan tujuan kita bekerja, yakni mencapai kebaikan di dunia dan akhirat, yang nantinya melahirkan etos kerja islami. Dengan etos kerja islami, manusia akan selalu terhubung dengan Allah swt, artinya kita menyadari bahwa Allah swt melihat dan mengetahui apa yang dikerjakan. Sehingga, tidak akan berbuat sesuatu yang menyalahi aturan Allah swt, tidak meninggalkan kewajiban ibadah pada-Nya saat bekerja, dan akan senantiasa berupaya ikhlas dalam bekerja. Terkait keikhlasan tersebut, Rasulullah saw bersabda:
“Sebaik-baiknya pekerjaan adalah usaha seorang pekerja yang dilakukannya secara tulus”.
(HR. Hambali)
2.3. Dimensi Etos Kerja
Dalam dunia barat, etos kerja lebih dikenal dengan etika kerja (work ethics). Miller, Woehr,dan Hudspeth (2002) mendefinisikan etos adalah seperangkat kepercayaan dan sikap yang mencerminkan nilai pokok kerja.  Etos kerja bukanlah suatu kesatuan konsep yang tunggal, melainkan suatu kumpulan sikap dan kepercayaan mengenai perilaku kerja. Miller, mengidentifikasikan etos kerja ke dalam 7 (tujuh) dimensi, yaitu:
  1. Kemandirian (self reliance), yaitu keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain.
  2. Moralitas/etika (morality/ethics), yaitu keyakinan terhadap cara/jalan yang menunjuk kepada persoalan-persoalan yang mana orang bertindak atau diharapkan untuk bertindak.
  3. Waktu luang (leisure), yaitu keyakinan terhadap pentingnya menempatkan aktivitas-aktivitas pada waktu bukan kerja.
  4. Kerja keras (hard work), yaitu keyakinan bahwa seseorang dapat menjadi pribadi yang lebih baik dan mencapai tujuan-tujuannya melalui suatu komitmen terhadap nilai dan pentingnya pekerjaan.
  5. Sentralitas pekerjaan (centrality of work), yaitu menunjuk kepada pentingnya seseorang menggunakan kesempatannya untuk bekerja.
  6. Waktu yang terbuang (wasted time), yaitu menunjuk kepada komitmen yang tinggi untuk mengelola waktu sehingga memaksimalkan produktivitas.
  7. Penundaan pemuasan (delay of gratification), yaitu kemampuan untuk melupakan penghargaan jangka pendek agar mendapat keuntungan di masa yang akan datang.
Tidak bisa dibantah kehidupan bangsa Barat jelas lebih maju. Hasil yang dicapai oleh bangsa Barat ini adalah dampak positif dari kerja keras yang mereka lakukan karena memiliki etos kerja yang tinggi, bahkan dikalangan mereka sampai mengidap penyakit ‘Workaholic’ (candu kerja). Ketertinggalan umat Islam dibandingkan bangsa Barat tidak ragu pula bukan sekedar karena takdir Allah malainkan memiliki kaitan yang sangat erat dengan etos kerja mereka. Berkenan degan hal tersebut, di masyarakat luas memang terdapat dua pandangan:
Pertama, ada orang yang berpendapat bahwa faktor utama yang paling menentukan kesuksesan seseorang adalah usaha dan kerja kerasnya sendiri. Bukan faktor lain, apalagi Tuhan. Semakain seseorang bekerja keras,  orang itu akan semakin sukses. Sebaliknya, kalau seseorang bekerja seadanya, maka hasil juga seadanya. Jadi, menurut pandangan ini, kunci sukses orang dalam hidupnya adalah kerjanya sendiri. Pandangan ini dipegang oleh banyak orang yang hidup di dunia Barat. Pandangan ini sayangnya menimbulkan implikasi tidak diakuinya Tuhan sebagai zat Yang Maha Kuasa dan Maha Menentukan.
 Kedua, ada juga yang berpandangan sebaliknya, bahwa segala sesuatu-termasuk nasib dan kehidupan umat manusia telah ditentukan sebelumnya oleh Tuhan, dan tugas manusia hanya menjalani saja. Pandangan kedua ini justru menegaskan, bahwa Tuhanlah yang paling menentukan semua, termasuk nasib  dan kehidupan umat manusia. Pandangan ini sayangnya menafikan potensi dan kekuatan yang dimiliki oleh manusia, dan dampak lanjutnya adalah bahwa manusia menjadi makhluk sia-sia yang diciptakan Allah. Padahal tidak ada satu pun yang sia-sia yang diciptakan Allah.
Kedua pandangan yang dikemukakan di atas bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Islam tentang kehidupan umat manusia dan kaitannya dengan kekuasaan Allah. Menurut akidah Islam, Allah adalah zat yang Maha Pencipta, Maha Kuasa, Maha Menentukan, Maha Pemurah, Maha Pemberi Rahmat, Maha Pengasih dan Penyayang.  Disisi lain, manusia adalah makhluk terbaik yang diciptakan Allah dengan segenap kelebihan dan potensi mereka, untuk dirinya maupun untuk kehidupan di bumi. Tujuan itu adalah sebagi khalifah di bumi. Berdasarkan kepada hal ini, sangat logis manakala Allah membebani manusia dengan tugas dan tanggungjawab. Dalam rangka inilah, manusia dituntut untuk bekerja dan kerjanya itulah yang menjadi salah satu faktor utama kesuksesannya.
Dalam buku “Membudayakan Etos Kerja Islami”, ditulis oleh Toto Tasmara, terkait etos kerja atau cara pandang dalam melaksanakan suatu pekerjaan harus didasarkan pada 3 (tiga) dimensi kesadaran, yaitu:
  1. Dimensi ma’rifat (aku tahu)
Dimensi ma’rifat didasarkan pada kemampuan seseorang untuk mampu memahami tanda-tanda yang telah ditebarkan Allah swt sebagai rahmat makhluk ciptaan-Nya. Hanya orang yang mampu menerjemahkan tanda-tanda itulah yang akan mampu tampil sebagai innovator melalui hipotesis keilmuannya. Pribadi yang memiliki etos kerja menampilkan dirinya sebagai sosok yang sangat tajam penglihatan intelektual dan mata batinnya. Sehingga, Al-Qur’an memberikan motivasi yang sangat kuat untuk mendayagunakan daya nalar agar mampu membedah rahasia dan potensi alam semesta, sebagaimana beberapa ayat dibawah ini:
“Dan, apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah….?” (Al-A’raaf:185)
  1. Dimensi hakikat (aku berharap)
Dimensi hakikat (aku berharap) adakah sikap diri untuk menetapkan sebuah tujuan kemana arah tindakan dia langkahkan, dan sadar bahwa tujuan teramat penting dalam kehidupan karena sikap tingkah laku seseorang sangat ditentukan oleh kemana dia mengarah, apa cita-citanya, dan apa yang akan diperbuatnya. Setiap pribadi muslim telah meyakimi bahwa niat atau dorongan untuk menetapkan cita-cita merupakan ciri bahwa dirinya hidup. Oleh karena itu, ditanamkan dalam diri kita untuk tetap memiliki niat yang baik sebagai salah satu cara untuk menumbuhkan cara berpikir yang positif pada setiap pribadi muslim. Tentang niat ini Rasulullah bersabda,
“Allah Azza wa Jalla berfirman (kepada malaikat pencatat amal), “Bila hamba-Ku berniat melakukan perbuatan jelek, janganlah kalian catat dulu. Jika dia telah mengerjakannya, barulah kalian tulis sebagai satu kejelekan. Bila hamba-Ku berniat melakukan perbuatan baik, tapi tidak jadi melaksanakannya, catatlah sebagai satu kebaikan. Jika dia mengamalkannya, catatlah kebaikan itu sepuluh kali lipat”. (HR Abu Hurairah r.a.)
  1. Dimensi syari’at (aku berbuat)
Penegetahuan tentang peran dan potensi diri, tujuan, serta harapan-harapan tidak mempunyai arti kecuali dipraktikkan dalam bentuk tindakan nyata. Tindakan nyata itu adalah bekerja. Bekerja adalah manifestasi kekuatan iman karena dorongan firman Allah swt,

“Katakanlah, “Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui”. (QS. Az-Zumar 39)
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya, Allah sangat senang jika salah seorang di antara kamu mengerjakan sesuatu pekerjaan yang dilakukannya dengan tekun dan sangat bersungguh-sungguh”. (HR Muslim)
Bila kita mengaku mencintai Rasulullah, kita seharusnya mengikuti sunnah beliau, sehingga bekerja dengan tekun dan bersungguh-sungguh adalah ciri seorang pengikut Rasulullah, atau dapat dikatakan bahwa seorang muslim itu identik dengan pekerja yang tekun dan penuh kesungguhan. Seorang muslim itu identik dengan kualitas dan kejujuran.
2.4. Kaitan Iman dan Etos Kerja
Dalam Islam, iman banyak dikaitkan dengan amal. Dengan kata lain, kerja yang merupakan bagian dari amal tak lepas dari kaitan iman seseorang. Idealnya, semakin tinggi iman itu maka semangat kerjanya juga tidak rendah. Setiap pekerja, terutama yang beragama islam, harus dapat menumbuhkan etos kerja secara Islami, karena pekerjaan yang ditekuni bernilai ibadah. Hasil yang diperoleh dari pekerjaannya juga dapat digunakan untuk kepentingan ibadah, termasuk didalamnya menghidupi ekonomi keluarga. Oleh karena itu seleksi memililih pekerjaan menumbuhkan etos kerja yang islami menjadi suatu keharusan bagi semua pekerjaan.
Toto Tasmara, dalam bukunya Etos Kerja Pribadi Muslim, menyatakan bahwa “bekerja” bagi seorang Muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh asset, fakir dan zikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khaira ummah), atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya. 
Menurut riwayat Al-Baihaqi dalam ‘Syuab Al Iman’ ada empat prinsip etos kerja yang diajarkan Rasulullah. Pertama, bekerja secara halal (thalaba ad-dunya halalan). Halal dari segi jenis pekerjaan sekaligus cara menjalankannya. Kedua, bekerja demi menjaga diri supaya tidak menjadi beban hidup orang lain (ta’affufan an al-mas’alah). Kaum beriman dilarang menjadi benalu bagi orang lain. Rasulullah pernah menegur seorang sahabat yang muda dan kuat tetapi pekerjaannya mengemis. Beliau kemudian bersabda, “Sungguh orang yang mau membawa tali atau kapak kemudian mengambil kayu bakar dan memikulnya di atas punggung lebih baik dari orang yang mengemis kepada orang kaya, diberi atau ditolak” (HR Bukhari dan Muslim).
Ketiga, bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga (sa’yan ala iyalihi). Mencukupi kebutuhan keluarga hukumnya fardlu ain. Tidak dapat diwakilkan, dan menunaikannya termasuk kategori jihad. Hadis Rasulullah yang cukup populer, “Tidaklah seseorang memperoleh hasil terbaik melebihi yang dihasilkan tangannya. Dan tidaklah sesuatu yang dinafkahkan seseorang kepada diri, keluarga, anak, dan pembantunya kecuali dihitung sebagai sedekah” (HR Ibnu Majah).
Keempat, bekerja untuk meringankan beban hidup tetangga (ta’aththufan ala jarihi). Penting dicatat, Islam mendorong kerja keras untuk kebutuhan diri dan keluarga, tetapi Islam melarang kaum beriman bersikap egois. Islam menganjurkan solidaritas sosial, dan mengecam keras sikap tutup mata dan telinga dari jerit tangis lingkungan sekitar. “Hendaklah kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian harta yang Allah telah menjadikanmu berkuasa atasnya.” (QS. Al-Hadid: 7).
Keimanan merupakan landasan, dasar, pondasi  yang paling penting bagi seseorang dalam menghadapi kehidupan ini. Iman yang diartikan percaya pada Allah swt menjadi sumber dan lentera yang akan menerangi perjalanan hidup manusia. Dalam istilah motivasi, iman juga bisa diartikan sebagai rasa percaya pada diri sendiri dan percaya pada alam semesta, bahwa diri sendiri telah dianugerahi kelebihan-kelebihan positif oleh Yang Maha Kuasa yang bisa dimaksimalkan dalam bentuk kerja nyata dan bahwa alam semesta akan mendukung dan menyediakan apa yang kita butuhkan dalam hidup ini.
Bekerja atau beramal (a’milu sholiha) bisa juga kita maknai sebagai sebuah profesionalisme. Bekerja dengan sebaik-baiknya, melampaui kemampuan rata-rata kita, mengikuti disipilin, menerapkan etos kerja terbaik hingga menyusun rencana dan target yang ingin dicapai adalah sebagian dari aspek-aspek yang menjadi indikator profesionalisme seseorang.
2.5. Motivasi Berprestasi dan Etos Kerja
Etos kerja yang diterapkan seseorang dalam menjalankan aktivitas kerja dapat menghasilkan prestasi yang baik. Sehingga pencapaian hasil kerja dapat dipengaruhi oleh etos kerja. Mathis & Jackson (2008: 113) menjelaskan factor yang mempengaruhi individu bekerja, yakni kemampuan individual (bakat, minat, kepribadian): tingkat usaha yang dilakukan (motivasi, etika, kehadiran): dan dukungan organisasi (budaya, peralatan dan teknologi). Dessler (1986) faktor yang mempengaruhi kinerja, antara lain: motivasi, kondisi kerja, kesempatan berkembang, ketentraman, rasa ikut memiliki, hakhaknya diperhatikan, ruang kerja dan relevansi sosial.
Etos kerja seorang muslim membuat dia tidak ingin berhenti dalam mencapai keberhasilan. Apa yang sudah dicapai merupakan sesuatu yang harus disyukuri, tapi dia tidak puas sampai disitu. Kepuasan terhadap sesuatu yang telah dicapai membuat seseorang berhenti sampai disitu, bahkan bila kepuasan tanpa iman bisa membawa kepada riya dan lengah sehingga dia hanya bertahan sampai disitu tanpa ada niat untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kerjanya. Seorang muslim selalu dituntut untuk meraih yang terbaik, ilmu yang banyak harus terus diperbanyak, prestasi yang tinggi harus disempurnakan dan begitulah seterusnya. Allah berfirman yang artinya: Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain (QS 94:7).

"Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain," – (QS.94:7)
Menurut Mujib (2012), sebab dalam motivasi berprestasi tergambar indikator orientasi untuk sukses, memiliki standar unggul, lebih cepat dan lebih baik, respon positif terhadap prestasinya, mempergunakan kemampuan yang unik dalam berkompetisi, menyukai pekerjaan yang moderat, penuh tanggung jawab dan kesungguhan, bukan asal-asalan dan umpan balik menjadi penting untuk sukses, bukan untuk mendapatkan pujian maka hal itu dapat mempengaruhi secara kausalitas terhadap kepuasan kerja. Indikator yang disebutkan tersebut dapat terlihat dari orang yang memiliki etos kerja. Etos kerja seorang muslim memacu semangat kompetitif sehingga seorang muslim itu sangat dituntut untuk ber-fastabikul khairat (berpacu dalam kebaikan).  Oleh karena itu, seorang muslim sangat dituntut untuk mengenal potensi diri, melatih dan mengembangkannya sehingga dia nanti dapat menentukan bidang apa saja yang harus digelutinya agar dia dapat berkarya dan berprestasi meskipun hanya dalam satu bidang. Berprestasi merupakan syarat dalam rangka mereali-sasikan amanah Allah SWT untuk menjadi khalifah-Nya di muka bumi. Kualitas hidup dalam perspektif agama dapat dilihat dari prestasi yang disumbangkannya. Berprestasi seperti itu dimulai dari niat atau dorongan dan keinginan yang kokoh untuk sukses. Niat baik inilah yang kemudian dalam bahasa psikologi disebut dengan motivasi berprestasi.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Etos kerja mengandung makna bahwa bekerja bukan saja untuk memuliakan diri sendiri, melainkan juga sebagai suatu manifestasi dari amal saleh dan mempunyai nilai ibadah. Jika setiap pribadi muslim mamahami, menghayati, dan kemudian mengaktualisasikannya dalam kehidupan, akan tampak pengaruhnya pada lingkungan yaitu membudayakan kebiasaan bekerja keras.

  
DAFTAR PUSTAKA

Dessler, Gary.1986.Organization Theory, Integrating Structure and Behavior. Second Edition, Englewood Cliffs, NewJersey: Prentice-Hall, Inc.


Mathis, R.L., & Jackson, J.H. (2008). Human Resource management (12th ed.). South-Western: Thomson.

Miller, M. J., Woehr, D. and Hudspeth, N. 2002. “The Meaning and Measurement of Work Ethic: Construction and Initial Validation of a Multidimensional Inventory.” Journal of Vocational Behavior 60: 451-489.

Tasmara, Toto. 1995. Etos Kerja Pribadi Muslim. Dana Bahkti Wakaf: Yogyakarta






Tidak ada komentar:

Posting Komentar