ISLAM DAN RESILIENSI
Oleh: EVA ZULAIFAH
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Dalam perkembangan kehidupan
manusia selalu ada suatu keadaan yang menekan seperti peristiwa traumatis yang
dialami oleh manusia. Peristiwa traumatis tersebut bisa terjadi dalam bentuk
bencana, tragedi atau ancaman yang dapat menyebabkan manusia mengalami stress.
Ketika perubahan dan tekanan hidup berlangsung begitu intens dan cepat,
seseorang perlu mengembangkan kemampuan dirinya sedemikian rupa untuk mampu
melewati itu semua secara efektif (Sekarani, 2010). Pada dasarnya, setiap
manusia mempunyai kemampuan untuk pulih setelah mengalami perubahan besar dan
keadaan-keadaan yang tidak menguntungkan lainnya, tanpa mengganggu
keberfungsiannya sebagai individu seperti semula. Daya balik ini disebut dengan
resiliensi (Herlina, 2007).
Resiliensi
merupakan suatu proses adaptasi seseorang setelah mengalami peristiwa
traumatis, seperti bencana, tragedi, ancaman, ataupun peristiwa yang secara
signifikan menyebabkan stres misalnya perceraian, kematian dalam keluarga,
penyakit terminal, pemutusan hubungan kerja ataupun masalah finansial.
Resiliensi merupakan suatu proses yang dinamis dalam diri individu dalam
mengembangkan kemampuannya untuk menghadapi, mengatasi, memperkuat, dan
mentransformasikan pengalaman-pengalaman yang dialaminya pada situasi sulit
agar dapat beradaptasi secara positif
(Herlina, 2007).
Grotberg (1995),
menjelaskan bahwa resiliensi merupakan kapasitas yang bersifat universal dan
dengan kapasitas tersebut, individu, kelompok ataupun komunitas mampu mencegah,
meminimalisir ataupun melawan pengaruh yang bisa merusak saat mereka mengalami
musibah atau kemalangan. Resiliensi mengarah pada kekuatan individu atau
komunitas untuk mengatasi stres, menguasai kemalangan atau ketidakbaikan, atau
adaptasi secara positif untuk suatu perubahan (Kaplan, Varghese, dalam Hegney
D., et al, 2008). Menurut Dugan & Coles (1989, dalam Isaacson, 2002)
resiliensi merupakan kekuatan untuk bangkit kembali atau pulih dari kekecewaan,
rintangan, atau kemunduran.
Menurut Reivich
dan Shatte (2003) resiliensi berada di bawah kendali individu. Individu dapat
mengajarkan dirinya untuk menjadi resilien. Individu dapat melakukan perubahan
yang besar bagaimana menangani kemunduran dengan sangat baik, bagaimana
antusiasnya individu mendekati tantangan. Bahkan, individu mungkin perlu untuk belajar
bagaimana menjadi resilien. Meskipun sebagian dari individu harus belajar
bagaimana menghadapi kesulitan tanpa harus bersembunyi. Individu harus belajar
bagaimana berpikir tajam ketika terlibat dalam konflik, bagaimana untuk
memperoleh pengetahuan dan makna dari kemunduran dan kegagalannya. Individu pun
harus belajar bagaimana mendengarkan pikirannya, suara batinnya, yang dapat
membimbingnya untuk melalui kehidupan yang kadang-kadang membawa perubahan yang
tidak diinginkan.
Selain
resiliensi, agama juga berperan penting untuk dijadikan sebagai cara ketika
seseorang menghadapi sebuah rintangan atau masalah. Menurut Hardjana (dalam
Ghufron & Risnawita, 2010) religiusitas adalah perasaan dan kesadaran akan
hubungan dan ikatan kembali dengan Allah. Religiusitas menunjuk pada tingkat
ketertarikan individu terhadap agamanya dengan menghayati dan
menginternalisasikan ajaran agamanya sehingga berpengaruh dalam segala tindakan
dan pandangan hidupnya. Memiliki keimanan dan keyakinan kepada Tuhan dapat
menjadi sumber kekuatan untuk mengatasi masalah (Khalatbari & et al, 2008,
dalam Jomehri, Mojtabaei, & Hadadian, 2014). Agama dan religiusitas, baik
secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam kesehatan seseorang.
Keimanan, nilai-nilai agama, dan keyakinan agama merupakan elemen penting dari
karakter individu (Rashidpour, 2010, dalam Jomehri, Mojtabaei, & Hadadian,
2014).
Aturan-aturan
agama merupakan faktor-faktor yang dapat diterapkan dalam pencegahan gangguan
mental secara efektif dan akan menimbulkan kesehatan emosional dan spiritual, meningkatkan toleransi, dan
ketahanan dalam menghadapi kesulitan (Asemi, 2007, dalam Jomehri, Mojtabaei,
& Hadadian, 2014). Temperamen yang baik, menjadi religius, dan optimis merupakan
karakteristik individu yang taat kepada Tuhan. Resiliensi adalah bagaimana
seseorang berhasil menghadapi tantangan hidup dalam menghadapi stres atau
kerusakan (Meyeds, 2011, dalam Jomehri, Mojtabaei, & Hadadian, 2014).
Penelitian telah menunjukkan bahwa "Spiritualitas" adalah prediktor
kuat dari kesehatan umum positif, resiliensi, dan optimisme dalam kehidupan
seseorang (Pop, 2011, dalam Jomehri, Mojtabaei, & Hadadian, 2014).
Keyakinan pada agama memberikan kenyamanan kepada individu, menjamin keamanan
individu, memperkuat seseorang terhadap moral yang vakum, dasar emosional, dan
membuat manusia kuat terhadap kesulitan yang terjadi di dalam hidupnya.
Agama islam
memberikan perhatian khusus pada stres dan dampaknya pada kehidupan seseorang.
Dalam islam juga menyebutkan bahwa anak-anak muda merupakan faktor penting
dalam membangun masyarakat yang sehat. Secara praktis, islam menggunakan
kekuatan dari tiga prinsip yaitu pikiran, kesadaran, dan pikiran, dengan cara
mendorong seseorang untuk memberdayakan kekuatan batinnya untuk memiliki
kehidupan yang nyaman, dan tidak menunggu keadaan eksternal berubah. Islam
mengakui kekuatan spiritual sebagai alat yang berpengaruh dan dapat berdampak baik kesehatan mental dan
fisik (lamoshi, 2015). Muslim biasanya menggunakan dan menghargai keyakinan
mereka sebagai kekuatan untuk mengatasi masalah psikologisnya dengan mengubah
apa yang ada di dalam diri mereka (Laher dan Khan, 2011, dalam Lamoshi, 2015).
Pendekatan Islam untuk menghadapi kemalangan hidup meliputi strategi yang
berbeda untuk meringankan beban hidup dengan membantu beberapa orang, terutama
anak-anak muda yang terkadang suka melukai dirinya sendiri sehingga terkadang
mereka melakukan bunuh diri. Sedgman (2005, dalam Lamoshi, 2015) menyatakan
orang-orang yang memahami dasar dari alam pikiran mereka dan memiliki pikiran
yang sehat dapat menikmati hal-hal yang istimewa dari kebijaksanaan batin,
ketenangan, dan kesehatan. Oleh karena itu, dengan mengikuti prinsip islam,
anak-anak muda akan mampu mencapai
kesehatan yang ada di dalam diri mereka.
Di dalam islam
terdapat hukum dan aturan yang termuat didalamnya yang telah mengatur segala
tingkah laku manusia, tingkah laku perorangan hingga kelompok telah diatur oleh
islam agar setiap manusia menempuh jalan yang bisa mengantarkan seseorang untuk
memperoleh kebahagian dunia dan akhirat (Gunawan, 2014). Islam menampilkan
manusia sesuai dengan hakekatnya, menjelaskan asal-usulnya, keistimewaannya,
tugasnya, hubungannya dengan alam semesta, atau kesiapannya untuk menerima
kebaikan dan keburukan (Sugiyarto, 2014). Islam tidak memposisikan manusia
dalam kehinaan, kerendahan atau tidak berharga seperti binatang, benda mati,
atau makhluk lainnya. Untuk itu Allah berfirman:
“Apakah
kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan
bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. dan Dia menahan
(benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya
Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (Q.S.
al-Hajj: 65)
Allah telah
menganugerahkan manusia dengan kemampuan yang dengannya manusia dapat menguasai
semesta yang telah diperuntukkan Allah bagi manusia. Artinya Allah melarang
manusia menghinakan diri pada semesta ini. Dia telah memberikan keamanan kepada
manusia dalam menghadapi semesta karena manusia diberi kekuasaan untuk
menundukkan alam semesta demi kemaslahatan umat manusia. Itulah dasar
pendidikan Rabbani yang dengannya al-Qur’an menumbuhkan kehormatan dan harga
diri dalam diri manusia sekaligus juga menumbuhkan kesadaran terhadap karunia
Allah (Sugiyarto, 2014).
Salah satu
anugerah yang diberikan Allah kepada manusia adalah menjadikan manusia mampu
membedakan kebaikan dari kejahatan atau kedurhakaan dari ketakwaan. Ke dalam
naluri manusia, Allah menanamkan kesiapan dan kehendak untuk melakukan kebaikan
atau keburukan sehingga manusia mampu memilih jalan yang mampu mengantarkannya
kepada kebaikan dan kebahagiaan atau jalan yang menjerumuskannya pada
kebinasaan. Dengan jelas Allah menyebutkan bahwa dalam hidupnya, manusia harus
berupaya menyucikan, mengembangkan, dan meninggikan diri agar manusia terangkat
dalam keutamaan (Sugiyarto, 2014). Allah berfirman:
“Dan
jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa
itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Q.S.
asy-Syams: 7-10)
Berdasarkan latar belakang yang
telah penulis jelaskan di atas, penulis akan membahas keseluruhan mengenai
islam dan resiliensi yang akan dijelaskan pada bab-bab selanjutnya.
1.2
Perumusan Masalah
Agar permasalahan dalam makalah ini
lebih terarah, maka penulis merumuskan masalah yang diteliti sebagai berikut :
a.
Apa yang
dimaksud resiliensi?
b.
Bagaimana
karakteristik individu yang resilien?
c.
Apa
faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi?
d.
Bagaimana
resiliensi dalam perspektif islam?
e.
Bagaimana
bentuk karakter individu dalam psikologi islam?
1.3
Tujuan Penulisan
1.3.1
Tujuan umum
Untuk memberikan gambaran dan
pemahaman yang jelas mengenai islam dan resiliensi.
1.3.2
Tujuan Khusus
a.
Memahami
apa yang dimaksud resiliensi.
b.
Memahami
karakteristik individu yang resilien.
c.
Memahami
faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi.
d.
Memahami
bagaimana resiliensi dalam perspektif islam.
e.
Memahami
karakter individu dalam psikologi islam.
1.4
Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi dalam menambah wawasan serta sebagai salah satu rujukan
untuk memahami lebih lanjut dari sisi tema yang sama dalam konteks studi islam
komprehensif. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk seluruh
pembaca pada umumnya untuk meningkatkan pengetahuan tentang islam dan
resiliensi.
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
2.1
Resiliensi
2.1.1
Pengertian Resiliensi
Istilah resiliensi diformulasikan
pertama kali oleh Block (dalam Klohnen, 1996) dengan nama ego-resilience, yang
diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri
yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal.
Menurut Masten,
Best, dan Garmezy (1990, dalam Alvord dan Grados, 2005) resiliensi adalah
proses, kapasitas, atau hasil adaptasi yang berhasil dalam menghadapi kondisi
atau keadaan meskipun menantang atau mengancam. Definisi tersebut mengandung
tiga hal penting yaitu resiliensi sebagai proses adaptasi, resiliensi sebagai
kapasitas adaptasi, dan resiliensi sebagai hasil adaptasi yang berhasil dalam
menghadapi kondisi atau keadaan meskipun menantang atau mengancam.
Menurut Reivich
dan Shatté (2003) resiliensi adalah kemampuan untuk tetap gigih dan beradaptasi
dengan baik ketika segala sesuatunya tidak berjalan dengan baik. Connor (2006)
mengartikan resiliensi sebagai suatu cara untuk mengukur kemampuan individu
dalam mengatasi tekanan. Joseph (dalam Isaacson, 2002) menyatakan resiliensi sebagai
kemampuan untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri terhadap perubahan, tuntutan,
dan kekecewaan yang muncul dalam perjalanan hidup. Individu yang resilien
adalah seseorang yang mampu beradaptasi dengan baik pada saat pertama kali
mengalami kemalangan dan perubahan dalam hidupnya (Isaacson, 2002).
Resiliensi juga
didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengatasi masalah dan bangkit dari
masalah. Menurut Dugan dan Coles (dalam Isaacson, 2002) resiliensi merupakan
kekuatan untuk bangkit kembali atau pulih dari kekecewaan, rintangan, atau
kemunduran. Grotberg (1998) menyatakan resiliensi adalah kemampuan manusia
untuk menghadapi dan mengatasi masalah, yang selanjutnya, pengalaman akan
masalah itu sendiri selanjutnya akan memperkuat resiliensi.
2.1.2
Karakteristik Individu Resilien
Menurut Wolin dan Wolin (1999), ada
tujuh karakteristik utama yang dimiliki oleh individu yang resilien.
karakteristik-karakteristik inilah yang membuat individu mampu beradaptasi
dengan baik saat menghadapi masalah, mengatasi berbagai hambatan, serta
mengembangkan potensi yang dimilikinya secara maksimal, yaitu:
1.
Insight
Kemampuan untuk memahami dan
memberi arti pada situasi, orang-orang yang ada di sekitar, dan nuansa verbal
maupun nonverbal dalam komunikasi, individu yang memiliki insight mampu
menanyakan pertanyaan yang menantang dan menjawabnya dengan jujur. Hal ini
membantu mereka untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain serta dapat
menyesuaikan diri dalam berbagai situasi.
2.
Kemandirian
Kemampuan untuk mengambil jarak
secara emosional maupun fisik dari sumber masalah dalam hidup seseorang.
Kemandirian melibatkan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara jujur pada
diri sendiri dengan peduli pada orang lain. Orang yang mandiri tidak bersikap
ambigu dan dapat mengatakan “tidak” dengan tegas saat diperlukan. Ia juga
memiliki orientasi yang positif dan optimistik pada masa depan.
3.
Hubungan
Seseorang yang resilien dapat
mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi
kehidupan, ataupun memiliki role model yang sehat. Remaja mengembangkan
hubungan dengan melibatkan diri (recruiting)
dengan beberapa orang dewasa dan teman sebaya yang suportif dan penolong. Pada
masa dewasa, hubungan menjadi matang dalam bentuk kelekatan (attaching), yaitu ikatan personal yang
menguntungkan secara timbal balik dimana ada karakteristik saling memberi dan
menerima.
4.
Inisiatif
Individu yang resilien bersikap
proaktif, bukan reaktif, bertanggung jawab dalam pemecahan masalah, selalu
berusaha memperbaiki diri ataupun situasi yang dapat diubah, serta meningkatkan
kemampuan mereka menghadapi hal-hal yang tak dapat diubah. Mereka melihat hidup
sebagai rangkaian tantangan dimana mereka yang mampu mengatasinya. Anak-anak
yang resilien memiliki tujuan yang mengarahkan hidup mereka secara konsisten
dan mereka menunjukkan usaha yang sungguh-sungguh untuk berhasil di sekolah.
5.
Kreativitas
Kreativitas melibatkan kemampuan
memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi
tantangan hidup. Individu yang resilien tidak terlibat dalam perilaku negatif
sebab ia mampu mempertimbangkan konsekuensi dari tiap perilakunya dan membuat
keputusan yang benar.
Kreativitas juga melibatkan daya
imajinasi yang digunakan untuk mengekspresikan diri dalam seni, serta membuat
seseorang mampu menghibur dirinya sendiri saat menghadapi kesulitan. Anak yang
resilien mampu secara kreatif menggunakan apa yang tersedia untuk pemecahan
masalah dalam situasi sumber daya yang terbatas. Selain itu, bentuk-bentuk
kreativitas juga terlihat dalam minat, kegemaran, kegiatan kreatif dari
imajinatif.
6.
Humor
Humor adalah kemampuan untuk
melihat sisi terang dari kehidupan, menertawakan diri sendiri, dan menemukan
kebahagiaan dalam situasi apapun. Seseorang yang resilien menggunakan rasa humornya
untuk memandang tantangan hidup dengan cara yang baru dan lebih ringan. Rasa
humor membuat saat-saat sulit terasa lebih ringan.
7.
Moralitas
Moralitas atau orientasi pada
nilai-nilai ditandai dengan keinginan untuk hidup secara baik dan produktif.
Individu yang resilien dapat mengevaluasi berbagai hal dan membuat keputusan
yang tepat tanpa takut akan pendapat orang lain. Mereka juga dapat mengatasi
kepentingan diri sendiri dalam membantu orang yang membutuhkan. Moralitas
adalah kemampuan berperilaku atas dasar hati nurani.
2.1.3
Faktor-Faktor Yang Mepengaruhi Resiliensi
Grotberg (1995), mengemukakan faktor-faktor resiliensi
yang diidentifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk kekuatan
individu, dalam diri pribadi digunakan istilah ‘I Am’, untuk dukungan
eksternal dan sumber-sumbernya, digunakan istilah ‘I Have’, sedangkan
untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah ’I Can’. Faktor-faktor
tersebut adalah:
1.
I Am
Faktor I Am merupakan kekuatan
yang berasal dari dalam diri, seperti perasaan, tingkah laku dan kepercayaan
yang terdapat dalam diri seseorang. Berikut ini, akan dijelaskan satu persatu
mengenai bagian-bagian dari faktor I Am, yaitu:
a.
Perasaan
dicintai dan sikap yang menarik
Individu pasti mempunyai orang yang menyukai dan mencintainya.
Individu akan bersikap baik terhadap orang-orang yang menyukai dan
mencintainya. Seseorang dapat mengatur sikap dan perilakunya jika menghadapi
respon-respon yang berbeda ketika berbicara dengan orang lain.
b. Mencintai,
empati, altruistic
Yaitu
ketika seseorang mencintai orang lain dan mengekspresikan cinta itu dengan
berbagai macam cara. Individu peduli terhadap apa yang terjadi pada orang lain
dan mengekspresikan melalui berbagai perilaku atau kata-kata. Individu
merasakan ketidaknyamanan dan penderitaan orang lain dan ingin melakukan
sesuatu untuk menghentikan atau berbagi penderitaan atau memberikan kenyamanan.
c. Bangga
pada diri sendiri
Individu
tahu bahwa mereka adalah seorang yang penting dan merasa bangga akan siapakah
mereka itu dan apapun yang mereka lakukan atau akan dicapai. Individu itu tidak
akan membiarkan orang lain meremehkan atau merendahkan mereka. Ketika individu
mempunyai masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem membantu
mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut.
d. Mandiri
dan bertanggung jawab
Individu
dapat melakukan berbagai macam hal menurut keinginan mereka dan menerima
berbagai konsekuensi dan perilakunya. Individu merasakan bahwa ia bisa mandiri
dan bertanggung jawab atas hal tersebut. Individu mengerti batasan kontrol
mereka terhadap berbagai kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung
jawab.
e. Penuh
dengan harapan, iman, dan kepercayaan
Individu
percaya ada harapan bagi mereka, serta orang lain dan institusi yang dapat
dipercaya. Individu merasakan mana yang benar maupun salah, dan ingin ikut
serta di dalamnya. Individu mempunyai kepercayaan diri dan iman dalam moral dan
kebaikan, serta dapat mengekspresikannya sebagai kepercayaan terhadap Tuhan dan
manusia yang mempunyai spiritual yang lebih tinggi.
2. I Have
Aspek ini merupakan bantuan dan sumber
dari luar yang meningkatkan resiliensi. Sumber-sumbernya yaitu:
a. Mempunyai
hubungan
Orang-orang
terdekat dari individu seperti suami, anak, orang tua merupakan orang yang
mencintai dan menerima individu tersebut. Tetapi individu juga membutuhkan
cinta dan dukungan dari orang lain yang kadangkala dapat memenuhi kebutuhan
kasih sayang yang kurang dari orang terdekat mereka.
b. Struktur
dan aturan rumah
Setiap
keluarga mempunyai aturan-aturan yang harus diikuti, jika ada anggota keluarga
yang tidak mematuhi aturan tersebut maka akan diberikan penjelasan atau
hukuman. Sebaliknya jika anggota keluarga mematuhi aturan tersebut maka akan
diberikan pujian.
c. Role
Models
Merupakan
sumber dari faktor I Have yaitu orang-orang yang dapat menunjukkan apa
yang individu harus lakukan seperti informasi terhadap sesuatu dan memberi
semangat agar individu mengikutinya.
d. Memberi
semangat agar mandiri
Dimana
individu baik yang independen maupun masih tergantung dengan keluarga, secara
konsisten bisa mendapatkan pelayanan seperti rumah sakit, dokter, atau
pelayanan lain yang sejenis.
3. I Can
Faktor I Can adalah kompetensi
sosial dan interpersonal seseorang. Bagian-bagian dari faktor ini yaitu:
a. Keterampilan
berkomunikasi
Dimana
individu mampu mengekspresikan berbagai macam pikiran dan perasaan kepada orang
lain dan dapat mendengar apa yang orang lain katakan serta merasakan perasaan
orang lain.
b. Kemampuan
memecahkan masalah
Individu
dapat menilai suatu masalah secara alami serta mengetahui apa yang mereka
butuhkan agar dapat memecahkan masalah dan bantuan apa yang mereka butuhkan
dari orang lain. Individu dapat membicarakan berbagai masalah dengan orang lain
dan menemukan penyelesaian masalah yang paling tepat dan menyenangkan. Individu
terus-menerus bertahan dengan suatu masalah sampai masalah tersebut
terpecahkan.
c.
Mengatur
berbagai perasaan dan rangsangan
Dimana individu dapat mengenali perasaan mereka,
mengenali berbagai jenis emosi, dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan
tingkah laku namun tidak menggunakan kekerasan terhadap perasaan dan hak orang
lain maupun diri sendiri. Individu juga dapat mengatur rangsangan untuk
memukul, ‘kabur’, merusak barang, atau melakukan berbagai tindakan yang tidak
menyenangkan.
d.
Mengukur
temperamen diri sendiri dan orang lain
Dimana individu memahami temperamen mereka sendiri
(bagaimana bertingkah, merangsang, dan mengambil resiko atau diam, reflek dan
berhati-hati) dan juga terhadap temperamen orang lain. Hal ini menolong individu
untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi,
membantu individu untuk mengetahui kecepatan untuk bereaksi, dan berapa banyak
individu mampu sukses dalam berbagai situasi.
e.
Mencari
hubungan yang dapat dipercaya
Dimana individu dapat menemukan seseorang misalnya orang
tua, saudara, teman sebaya untuk meminta pertolongan, berbagi perasaan dan
perhatian, guna mencari cara terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan
masalah personal dan interpersonal.
2.1.4
Resiliensi Dalam Perspektif Islam
Konsep resiliensi senada dengan
ajaran Hijrah dalam Islam. Syahar (2011, dalam Uyun, 2012) menjelaskan secara
bahasa Hijrah berarti At-Tarku yang artinya berpindah atau meninggalkan, baik
meninggalkan tempat maupun meninggalkan sesuatu yang tidak baik. Secara
terminologi Hijrah mengandung dua makna, yaitu Hijrah Makaniyah (tempat/fisik)
dan Hjrah Maknawiyah (Hijrah mental) atau disebut juga hijrah qalbiyah (hijrah
hati).
Hijrah Makaniyah
artinya berpindah dari suatu tempat yang kurang baik menuju tempat yang lebih
baik, dari suatu negeri ke negeri lain yang lebih baik. Sedangkan Hijrah
Maknawiyah artinya berpindah dari nilai yang kurang baik menuju nilai yang
lebih baik, dari kebatilan menuju kebenaran. Perpindahan dari hal yang bersifat
negatif menuju hal yang bersifat positif. Lebih lanjut pengembangan resiliensi
dalam Islam didukung oleh beberapa faktor, antara lain: Ikhtiar, Tawakkal,
Sabar, Ikhlas, Syukur dan Istiqomah. Selain itu pengembangan resiliensi juga
dipengaruhi faktor eksternal, yang dalam Islam diajarkan kasih sayang,
keharmonisan dan kedamaian (Uyun, 2012).
Artinya
: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita
gembira kepada orang-orang yang sabar, (QS. Al-Baqarah: 155) (yaitu)
orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innaa lillahi wa
innaa ilaihi raaji’uun”. (QS. Al-Baqarah: 156) Mereka itulah yang mendapatkan
keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang
yang mendapat petunjuk. (QS. Al-Baqarah: 157)
Resiliensi
dibangun dari tujuh kemampuan yang berbeda dan hampir tidak ada satupun
individu yang secara keseluruhan memiliki kemampuan tersebut dengan baik
(Reivich & Shatté, 2003), yaitu:
1. Regulasi
emosi
Menurut Reivich dan Shatté (2003)
regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan. Individu
yang memiliki kemampuan meregulasi emosi dapat mengendalikan dirinya apabila
sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih, atau marah sehingga
mempercepat dalam pemecahan suatu masalah. Pengekspresian emosi, baik negatif
ataupun positif, merupakan hal yang sehat dan konstruktif asalkan dilakukan
dengan tepat. Pengekpresian emosi yang tepat merupakan salah satu kemampuan
individu yang resilien. Reivich dan Shatté (2003) mengemukakan dua hal penting
yang terkait dengan regulasi emosi, yaitu ketenangan (calming) dan fokus (focusing).
Individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini, dapat membantu meredakan
emosi yang ada, memfokuskan pikiran-pikiran yang mengganggu dan mengurangi
stress. Sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya
: “ Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami
jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang
luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang sombong lagi
membagakan diri “. (Q.S. Al-Hadid: 22-23)
2. Pengendalian
impuls
Reivich dan Shatté (2003)
mendefinisikan pengendalian impuls sebagai kemampuan mengendalikan keinginan,
dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang.
Individu dengan pengendalian impuls rendah sering mengalami perubahan emosi
dengan cepat yang cenderung mengendalikan perilaku dan pikiran mereka. Individu
seperti itu seringkali mudah kehilangan kesabaran, mudah marah, impulsif, dan
berlaku agresif pada situasi-situasi kecil yang tidak terlalu penting, sehingga
lingkungan sosial di sekitarnya merasa kurang nyaman yang berakibat pada
munculnya permasalahan dalam hubungan sosial. Sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya
: “ Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu sebuah kebajikan,
akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari
kemudian, malaikat-malakat, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin musafir (yang memerlukan
pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba
sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati
janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan, dan dalam peperangan.
Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang
yang bertakwa “.(Q.S. Al-Baqarah : 177)
3. Optimisme
Individu yang resilien adalah
individu yang optimis. Mereka memiliki harapan pada masa depan dan percaya
bahwa mereka dapat mengontrol arah hidupnya. Dalam penelitian yang dilakukan,
jika dibandingkan dengan individu yang pesimis, individu yang optimis lebih
sehat secara fisik, dan lebih jarang mengalami depresi, lebih baik di sekolah,
lebih peoduktif dalam kerja, dan lebih banyak menang dalam olahraga. Optimisme
mengimplikasikan bahwa individu percaya bahwa ia dapat menangani
masalah-masalah yang muncul pada masa yang akan datang. Sebagaimana firman
Allah SWT:
Artinya
: “ Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari
rahmat Allah. Sesungguhnya tiada
berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaun yang kafir. “ (Q.S. Yusuf : 87)
4. Empati
Empati merepresentasikan bahwa
individu mampu membaca tanda-tanda psikologis dan emosi dari orang lain. Empati
mencerminkan seberapa baik individu mengenali keadaan psikologis dan kebutuhan
emosi orang lain. Seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung
memiliki hubungan sosial yang positif (Reivich & Shatté, 2003). Sebagaimana
firman Allah SWT:
Artinya
: “ Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim, dan orang
miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada
mereka perkataan yang baik . “ (Q. S.
An-Nisa : 8)
5. Analisis
penyebab masalah
Seligman (dalam Reivich &
Shatté, 2003) mengungkapkan sebuah konsep yang berhubungan erat dengan analisis
penyebab masalah yaitu gaya berpikir. Gaya berpikir adalah cara yang biasa
digunakan individu untuk menjelaskan sesuatu hal yang baik dan buruk yang
terjadi pada dirinya.
Gaya berpikir dibagi menjadi tiga
dimensi, yaitu: 1) Personal (saya-bukan saya) individu dengan gaya berpikir
‘saya’ adalah individu yang cenderung menyalahkan diri sendiri atas hal yang
tidak berjalan semestinya. Sebaliknya, Individu dengan gaya berpikir ‘bukan
saya’, meyakini penjelasan eksternal (di luar diri) atas kesalahan yang
terjadi. 2) Permanen (selalu-tidak selalu) : individu yang pesimis cenderung
berasumsi bahwa suatu kegagalan atau kejadian buruk akan terus berlangsung.
Sedangkan individu yang. optimis cenderung berpikir bahwa ia dapat melakukan
suatu hal lebih baik pada setiap kesempatan dan memandang kegagalan sebagai
ketidakberhasilan sementara. 3) Pervasive (semua-tidak semua) : individu dengan
gaya berpikir ‘semua’, melihat kemunduran atau kegagalan pada satu area
kehidupan ikut menggagalkan area kehidupan lainnya. Individu dengan gaya
berpikir‘tidak semua’, dapat menjelaskan secara rinci penyebab dari masalah
yang ia hadapi. Individu yang paling resilien adalah individu yang memiliki
fleksibilitas kognisi dan dapat mengidentifikasi seluruh penyebab yang
signifikan dalam permasalahan yang mereka hadapi tanpa terperangkap dalam
explanatory style tertentu.
Sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya
: “ Sesungguhnya perumpamaan kehidupan
duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang kami turunkan dan langit, lalu
tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam tanaman bumi, diantaranya ada
yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah
sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemiliknya mengira
bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di
waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan tanam –tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit,
seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan
tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir.” (Q.S. Yunus : 24)
6. Efikasi
diri
Reivich dan Shatté (2003)
mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk
menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri juga berarti
meyakini diri sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri
tinggi memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah
ketika menemukan bahwa strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil.
Sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa):”Ya Rabb kami, janganlah Engkau
hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau
bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada
orang-orang yang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada
kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami;
dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum
yang kafir.” (Q.S. Al-Baqarah: 286)
7. Peningkatan
aspek positif
Menurut Reivich dan Shatté (2003),
resiliensi merupakan kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif dalam
hidup. Individu yang meningkatkan aspek positif dalam hidup, mampu melakukan
dua aspek ini dengan baik, yaitu: (1) mampu membedakan risiko yang realistis
dan tidak realistis, (2) memiliki makna dan tujuan hidup serta mampu melihat
gambaran besar dari kehidupan. Individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya
akan lebih mudah dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam
meningkatkan kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi.
2.1.5
Bentuk Karakter Individu Dalam Psikologi Islam
Menurut Mujib (2012) desain
karakter Islam dapat diturunkan dari tiga pola; yaitu (1) diturunkan dari
domain akhlak dalam trilogi ajaran Islam, yang tidak mencakup akidah dan
syariah (ibadahmuamalah); (2) diturunkan dari keselurusan domain dari ajaran
Islam, mencakup akidah/iman, syariah/islam dan akhlak/ihsan.
Pertama,
karakter diturunkan dari ajaran akhlak, yakni bagian esoteris dari komponen
ajaran Islam. Sebagaimana kita ketahui bahwa komponen Islam yang terdiri atas
akidah (keimanan), syariah (ibadah dan mu’amalah) dan akhlak (etika). Pola ini
tidak melibatkan akidah dan syariah sebagai konstruks dalam karakter, namunj
hanya akhlak saja. Melalui pola ini, bentuk-bentuk karakter Islam dibagi dua
bagian, yaitu:
1. Karakter
terpuji (akhlaq mahmudah)
Bentuk karakter ini seperti sabar,
syukur, ikhlas, qana’ah, rendah hati (tawadhu’), jujur (sidq), dermawan (jud),
amanah, pemaaf, lapang dada, dan sebagainya.
2.
Karakter tercela (akhlaq madzmumah)
Bentuk karakter ini seperti gampang
marah (ghadhab), kufur nikmat, riya’, rakus (thama’),sombong (takabur), dusta
(kidb), pelit (syukh), khianat, dendam, dengki, dan sebagainya.
Dua karakter
tersebut merupakan kebalikan atau lawan yang jelas, baik dilihat dari perilaku
eksoteris maupun esoterisnya, seperti sabar versus marah, syukur versus kufur,
ikhlash versus riya’, qana’ah versus thama’, tawadhu’ versus takabur, jujur
versur dusta dan seterusnya. Karena perbedaan itu jelas maka model karakter ini
mudah diukur.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Resiliensi adalah faktor penting
dalam kehidupan manusia. Menurut Dugan dan Coles (dalam Isaacson, 2002)
resiliensi merupakan kekuatan untuk bangkit kembali atau pulih dari kekecewaan,
rintangan, atau kemunduran. Grotberg (1998) menyatakan resiliensi adalah
kemampuan manusia untuk menghadapi dan mengatasi masalah, yang selanjutnya,
pengalaman akan masalah itu sendiri selanjutnya akan memperkuat resiliensi.
Ketika perubahan dan tekanan hidup berlangsung begitu intens dan cepat, maka
seseorang perlu mengembangkan kemampuan dirinya sedemikian rupa untuk mampu
melewati itu semua secara efektif. Untuk mampu menjaga kesinambungan hidup yang
optimal, maka kebutuhan akan kemampuan untuk menjadi resilien sungguh menjadi
makin tinggi. Orang-orang dengan resiliensi yang tinggi, akan mampu keluar dari
masalah dengan cepat dan tak terbenam dengan perasaan sebagai korban lingkungan
atau keadaan (Rohmah, 2012).
Problem atau
masalah merupakan bagian dari hidup. Kehadiran masalah bukan yang menentukan
kebahagiaan dan ketentraman hidup. Kebahagiaan dan ketentraman hidup lebih
ditentukan oleh bagaimana manusia bertindak dan menghadapi masalah. Masalah
bukan untuk dihindari, tapi masalah merupakan tantangan yang harus dicari jalan
keluarnya. Karena apabila masalah itu dibiarkan, maka masalah itu akan membuat
manusia mengalami gangguan kecemasan. Gangguan kecemasan yang sangat parah
sebagai akibat dari peristiwa traumatik bisa menjadikan sebagian orang tidak
bisa meresponnya dengan efektif. Resiliensi merupakan pertahanan psikologis
seseorang yang akan membantunya menjalani hidup dengan sehat. Kepemilikan
ketrampilan resiliensi sangat urgen bagi tiap individu untuk menghadapi problem
kehidupan, termasuk gangguan kecemasan post traumatik. Hidup yang sehat tidak
sekedar sehat secara fisik, tetapi hidup yang sehat adalah meliputi juga mental
yang sehat (Rohmah, 2012).
Sesungguhnya
manusia dibekali berbagai potensi untuk memecahkan problema hidup dan sejatinya
Allah tidak membebani hamba-Nya melainkan sesuai dengan kapasitasnya (Q.S.
al-Mukminun : 62; al-Baqarah: 286). Artinya, setiap manusia punya potensi mampu
menyelesaikan problem kehidupan. Dan tidak ada manusia yang tidak lulus dari
ujian kehidupan. Ketika rasa cemas, khawatir, dan was-was manusia harus segera
sadar dan kembali mengingat Allah (dzikrullâh) sehingga segala kekuatan dan
potensinya akan berfungsi normal lagi. Manusia harus menyadari bahwa masalah
itu datangnya dari Allah dan kembalikan masalah itu kepada Allah (Rohmah,
2012). Dalam pengembangan resiliensi dalam Islam didukung oleh beberapa faktor,
antara lain: Ikhtiar, Tawakkal, Sabar, Ikhlas, Syukur dan Istiqomah. Selain itu
pengembangan resiliensi juga dipengaruhi faktor eksternal, yang dalam Islam
diajarkan kasih sayang, keharmonisan dan kedamaian (Uyun, 2012). Di dalam islam
terdapat hukum dan aturan yang termuat didalamnya yang telah mengatur segala
tingkah laku manusia, tingkah laku perorangan hingga kelompok telah diatur oleh
islam agar setiap manusia menempuh jalan yang bisa mengantarkan seseorang untuk
memperoleh kebahagian dunia dan akhirat (Gunawan, 2014). Islam juga menampilkan
manusia sesuai dengan hakekatnya, menjelaskan asal-usulnya, keistimewaannya,
tugasnya, hubungannya dengan alam semesta, atau kesiapannya untuk menerima
kebaikan dan keburukan (Sugiyarto, 2014).
DAFTAR
PUSTAKA
Alvord, M. K. & Grados, J. J. (2005). Enhancing resilience in children: A
proactive approach. American
Journal Association of Professional Psychology: Research & Practice,
Vol. 36, Iss. 3, p. 238-245
Connor, K. M. (2006). Assesment of resilience in the aftermath of trauma. American Journal Association of Clinical
Psychiatry, Vol. 67, Suppl 2, p. 46-49
Ghufron & Risnawati. (2010). Teori-teori psikologi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Gunawan, Eko.(2014). Islam dan resiliensi. Retrieved February, 18. 2016, from http://ekookeg.blogspot.co.id/2014/01/islam-dan-resiliensi.htm
Grotberg, E. (1995).
A guide to promoting resilience in children: strengthening the human
spirit. Benard Van Leer Fondation.
Retrieved June, 20, 2009, from the Bernard Van Leer website: http://www.bernardvanleer.org/publication_store/publication_store_publications/a_guide_to_promoting_resilience_in_children_strengthening_the_human_spirit/file
Grotberg, E. H. (1998). The international resilience
project: full text publications. Retrieved June, 20, 2009, from the Civitan
International Research Center, UAB website: http://www.resilnet.uiuc.edu/library/grotbg8a.html
Hegney, D. et al. (2008). Building resilience in
rural communities toolkit. Toowoomba, Queensland: The University of
Queensland and University of Southern Queensland. Retrieved June, 20, 2009,
from the learning for sustain ability website: http://learningforsustainability.net/pubs/Building%20Resilience%20in%20Rural%20Communities%20Toolkit.pdf
Herlina, M. (2007). Manusia dan bencana: bukan
korban, tetapi orang yang berhasil selamat (survivor). Retrieved May, 5,
2009, from http://mariaherlina.multiply.com/journal/item/13/Bukan_korban_tetapi_orang_yang_berhasil_selamat_Survivor
Isaacson, B. (2002). Characteristics
and enhancement of resiliency in young people: A research paper. Retrieved
May, 5, 2009, from the University of Winconsin-Stout website: http//www.uwstout.ede/lib/thesis/2002/2002isaacsonb.pdf
Jomehri, F., Mojtabaei, M., Hadadian, M. (2014).
Relationship of religious beliefs with general health and resilience in
students of Islamic Azad Universities in West Mazandaran Province. Singaporean Journal of Business Economics
& Management Studies, Vol. 3, No. 2, p. 1-13
Klohnen, E. C. (1996). Conceptual analysis and measurement of the construct of ego-resiliency.
American Journal Association of
Personality and Social Psychology, Vol. 70, Iss. 5, p. 1067-1079
Lamoshi, Abdulraouf Y. (2015). Religion as a
resilience tool to manage stress in adolescents: islamic approach. Global Journal of Human Social Science: H
Interdisciplinary, Vol. 15, Iss. 3, Ver. 1, P. 4-8
Mujib, Prof. Dr. Abdul. (2012). Konsep pendidikan
karakter berbasis psikologi islam. Seminar
Nasional Islami 21 April 2012, p. 1-10
Reivich, K. & Shatte, A. (2003). The resilience
factor: 7 keys to finding your inner strength and overcoming life’s hurdless
(first trade paperback edition). USA: Broadway Books
Rohmah, Umi. (2012). Resiliensi dan sabar sebagai
respon pertahanan psikologis dalam menghadapi post-traumatic. Jurnal Ilmu
Dakwah, Vol. 6, No. 20, Ed. Juli-Des 2012, p. 312-330
Sekarani, Rima. (2010). Aku bisa bertahan dan bangkit kembali: Resiliensi Diri. Retrieved
February, 18, 2016, from https://rimuu.wordpress.com/2010/05/26/aku-bisa-bertahan-dan-bangkit-kembali-resiliensi-diri/
Sugiyarto, Eko. (2014). Manusia menurut pandangan islam. Retrieved February, 18, 2016,
from https://alquranmulia.wordpress.com/2014/01/03/manusia-menurut-pandangan-islam/
Uyun, Zahrotul. (2012). Resiliensi dalam pendidikan
karakter. Seminar Nasional Islami 21
April 2012, p. 200-208
Wolin, S., Wolin, S.
(1999). Resilience among youth growing up in substance-abusing families. The Pediatric Clinics of North America,
vol. 42 no. 2. , hlm. 415-429.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar