Kamis, 25 Februari 2016

ISLAM DAN RESILIENSI (EVA ZULAIFAH)

ISLAM DAN RESILIENSI
Oleh: EVA ZULAIFAH

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam perkembangan kehidupan manusia selalu ada suatu keadaan yang menekan seperti peristiwa traumatis yang dialami oleh manusia. Peristiwa traumatis tersebut bisa terjadi dalam bentuk bencana, tragedi atau ancaman yang dapat menyebabkan manusia mengalami stress. Ketika perubahan dan tekanan hidup berlangsung begitu intens dan cepat, seseorang perlu mengembangkan kemampuan dirinya sedemikian rupa untuk mampu melewati itu semua secara efektif (Sekarani, 2010). Pada dasarnya, setiap manusia mempunyai kemampuan untuk pulih setelah mengalami perubahan besar dan keadaan-keadaan yang tidak menguntungkan lainnya, tanpa mengganggu keberfungsiannya sebagai individu seperti semula. Daya balik ini disebut dengan resiliensi (Herlina, 2007).
Resiliensi merupakan suatu proses adaptasi seseorang setelah mengalami peristiwa traumatis, seperti bencana, tragedi, ancaman, ataupun peristiwa yang secara signifikan menyebabkan stres misalnya perceraian, kematian dalam keluarga, penyakit terminal, pemutusan hubungan kerja ataupun masalah finansial. Resiliensi merupakan suatu proses yang dinamis dalam diri individu dalam mengembangkan kemampuannya untuk menghadapi, mengatasi, memperkuat, dan mentransformasikan pengalaman-pengalaman yang dialaminya pada situasi sulit agar dapat beradaptasi secara positif  (Herlina, 2007).
Grotberg (1995), menjelaskan bahwa resiliensi merupakan kapasitas yang bersifat universal dan dengan kapasitas tersebut, individu, kelompok ataupun komunitas mampu mencegah, meminimalisir ataupun melawan pengaruh yang bisa merusak saat mereka mengalami musibah atau kemalangan. Resiliensi mengarah pada kekuatan individu atau komunitas untuk mengatasi stres, menguasai kemalangan atau ketidakbaikan, atau adaptasi secara positif untuk suatu perubahan (Kaplan, Varghese, dalam Hegney D., et al, 2008). Menurut Dugan & Coles (1989, dalam Isaacson, 2002) resiliensi merupakan kekuatan untuk bangkit kembali atau pulih dari kekecewaan, rintangan, atau kemunduran.
Menurut Reivich dan Shatte (2003) resiliensi berada di bawah kendali individu. Individu dapat mengajarkan dirinya untuk menjadi resilien. Individu dapat melakukan perubahan yang besar bagaimana menangani kemunduran dengan sangat baik, bagaimana antusiasnya individu mendekati tantangan. Bahkan, individu mungkin perlu untuk belajar bagaimana menjadi resilien. Meskipun sebagian dari individu harus belajar bagaimana menghadapi kesulitan tanpa harus bersembunyi. Individu harus belajar bagaimana berpikir tajam ketika terlibat dalam konflik, bagaimana untuk memperoleh pengetahuan dan makna dari kemunduran dan kegagalannya. Individu pun harus belajar bagaimana mendengarkan pikirannya, suara batinnya, yang dapat membimbingnya untuk melalui kehidupan yang kadang-kadang membawa perubahan yang tidak diinginkan.
Selain resiliensi, agama juga berperan penting untuk dijadikan sebagai cara ketika seseorang menghadapi sebuah rintangan atau masalah. Menurut Hardjana (dalam Ghufron & Risnawita, 2010) religiusitas adalah perasaan dan kesadaran akan hubungan dan ikatan kembali dengan Allah. Religiusitas menunjuk pada tingkat ketertarikan individu terhadap agamanya dengan menghayati dan menginternalisasikan ajaran agamanya sehingga berpengaruh dalam segala tindakan dan pandangan hidupnya. Memiliki keimanan dan keyakinan kepada Tuhan dapat menjadi sumber kekuatan untuk mengatasi masalah (Khalatbari & et al, 2008, dalam Jomehri, Mojtabaei, & Hadadian, 2014). Agama dan religiusitas, baik secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam kesehatan seseorang. Keimanan, nilai-nilai agama, dan keyakinan agama merupakan elemen penting dari karakter individu (Rashidpour, 2010, dalam Jomehri, Mojtabaei, & Hadadian, 2014).
Aturan-aturan agama merupakan faktor-faktor yang dapat diterapkan dalam pencegahan gangguan mental secara efektif dan akan menimbulkan kesehatan emosional dan  spiritual, meningkatkan toleransi, dan ketahanan dalam menghadapi kesulitan (Asemi, 2007, dalam Jomehri, Mojtabaei, & Hadadian, 2014). Temperamen yang baik, menjadi religius, dan optimis merupakan karakteristik individu yang taat kepada Tuhan. Resiliensi adalah bagaimana seseorang berhasil menghadapi tantangan hidup dalam menghadapi stres atau kerusakan (Meyeds, 2011, dalam Jomehri, Mojtabaei, & Hadadian, 2014). Penelitian telah menunjukkan bahwa "Spiritualitas" adalah prediktor kuat dari kesehatan umum positif, resiliensi, dan optimisme dalam kehidupan seseorang (Pop, 2011, dalam Jomehri, Mojtabaei, & Hadadian, 2014). Keyakinan pada agama memberikan kenyamanan kepada individu, menjamin keamanan individu, memperkuat seseorang terhadap moral yang vakum, dasar emosional, dan membuat manusia kuat terhadap kesulitan yang terjadi di dalam hidupnya.
Agama islam memberikan perhatian khusus pada stres dan dampaknya pada kehidupan seseorang. Dalam islam juga menyebutkan bahwa anak-anak muda merupakan faktor penting dalam membangun masyarakat yang sehat. Secara praktis, islam menggunakan kekuatan dari tiga prinsip yaitu pikiran, kesadaran, dan pikiran, dengan cara mendorong seseorang untuk memberdayakan kekuatan batinnya untuk memiliki kehidupan yang nyaman, dan tidak menunggu keadaan eksternal berubah. Islam mengakui kekuatan spiritual sebagai alat yang berpengaruh dan  dapat berdampak baik kesehatan mental dan fisik (lamoshi, 2015). Muslim biasanya menggunakan dan menghargai keyakinan mereka sebagai kekuatan untuk mengatasi masalah psikologisnya dengan mengubah apa yang ada di dalam diri mereka (Laher dan Khan, 2011, dalam Lamoshi, 2015). Pendekatan Islam untuk menghadapi kemalangan hidup meliputi strategi yang berbeda untuk meringankan beban hidup dengan membantu beberapa orang, terutama anak-anak muda yang terkadang suka melukai dirinya sendiri sehingga terkadang mereka melakukan bunuh diri. Sedgman (2005, dalam Lamoshi, 2015) menyatakan orang-orang yang memahami dasar dari alam pikiran mereka dan memiliki pikiran yang sehat dapat menikmati hal-hal yang istimewa dari kebijaksanaan batin, ketenangan, dan kesehatan. Oleh karena itu, dengan mengikuti prinsip islam, anak-anak muda  akan mampu mencapai kesehatan yang ada di dalam diri mereka.
Di dalam islam terdapat hukum dan aturan yang termuat didalamnya yang telah mengatur segala tingkah laku manusia, tingkah laku perorangan hingga kelompok telah diatur oleh islam agar setiap manusia menempuh jalan yang bisa mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagian dunia dan akhirat (Gunawan, 2014). Islam menampilkan manusia sesuai dengan hakekatnya, menjelaskan asal-usulnya, keistimewaannya, tugasnya, hubungannya dengan alam semesta, atau kesiapannya untuk menerima kebaikan dan keburukan (Sugiyarto, 2014). Islam tidak memposisikan manusia dalam kehinaan, kerendahan atau tidak berharga seperti binatang, benda mati, atau makhluk lainnya. Untuk itu Allah berfirman:
“Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (Q.S. al-Hajj: 65)
Allah telah menganugerahkan manusia dengan kemampuan yang dengannya manusia dapat menguasai semesta yang telah diperuntukkan Allah bagi manusia. Artinya Allah melarang manusia menghinakan diri pada semesta ini. Dia telah memberikan keamanan kepada manusia dalam menghadapi semesta karena manusia diberi kekuasaan untuk menundukkan alam semesta demi kemaslahatan umat manusia. Itulah dasar pendidikan Rabbani yang dengannya al-Qur’an menumbuhkan kehormatan dan harga diri dalam diri manusia sekaligus juga menumbuhkan kesadaran terhadap karunia Allah (Sugiyarto, 2014).
Salah satu anugerah yang diberikan Allah kepada manusia adalah menjadikan manusia mampu membedakan kebaikan dari kejahatan atau kedurhakaan dari ketakwaan. Ke dalam naluri manusia, Allah menanamkan kesiapan dan kehendak untuk melakukan kebaikan atau keburukan sehingga manusia mampu memilih jalan yang mampu mengantarkannya kepada kebaikan dan kebahagiaan atau jalan yang menjerumuskannya pada kebinasaan. Dengan jelas Allah menyebutkan bahwa dalam hidupnya, manusia harus berupaya menyucikan, mengembangkan, dan meninggikan diri agar manusia terangkat dalam keutamaan (Sugiyarto, 2014). Allah berfirman:
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Q.S. asy-Syams: 7-10)
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis jelaskan di atas, penulis akan membahas keseluruhan mengenai islam dan resiliensi yang akan dijelaskan pada bab-bab selanjutnya.


1.2 Perumusan Masalah
Agar permasalahan dalam makalah ini lebih terarah, maka penulis merumuskan masalah yang diteliti sebagai berikut :
a.    Apa yang dimaksud resiliensi?
b.    Bagaimana karakteristik individu yang resilien?
c.    Apa faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi?
d.   Bagaimana resiliensi dalam perspektif islam?
e.    Bagaimana bentuk karakter individu dalam psikologi islam?

1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan umum
Untuk memberikan gambaran dan pemahaman yang jelas mengenai islam dan resiliensi.
1.3.2 Tujuan Khusus
a.    Memahami apa yang dimaksud resiliensi.
b.    Memahami karakteristik individu yang resilien.
c.    Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi.
d.   Memahami bagaimana resiliensi dalam perspektif islam.
e.    Memahami karakter individu dalam psikologi islam.

1.4 Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam menambah wawasan serta sebagai salah satu rujukan untuk memahami lebih lanjut dari sisi tema yang sama dalam konteks studi islam komprehensif. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk seluruh pembaca pada umumnya untuk meningkatkan pengetahuan tentang islam dan resiliensi.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Resiliensi
2.1.1 Pengertian Resiliensi
Istilah resiliensi diformulasikan pertama kali oleh Block (dalam Klohnen, 1996) dengan nama ego-resilience, yang diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal.
Menurut Masten, Best, dan Garmezy (1990, dalam Alvord dan Grados, 2005) resiliensi adalah proses, kapasitas, atau hasil adaptasi yang berhasil dalam menghadapi kondisi atau keadaan meskipun menantang atau mengancam. Definisi tersebut mengandung tiga hal penting yaitu resiliensi sebagai proses adaptasi, resiliensi sebagai kapasitas adaptasi, dan resiliensi sebagai hasil adaptasi yang berhasil dalam menghadapi kondisi atau keadaan meskipun menantang atau mengancam.
Menurut Reivich dan Shatté (2003) resiliensi adalah kemampuan untuk tetap gigih dan beradaptasi dengan baik ketika segala sesuatunya tidak berjalan dengan baik. Connor (2006) mengartikan resiliensi sebagai suatu cara untuk mengukur kemampuan individu dalam mengatasi tekanan. Joseph (dalam Isaacson, 2002) menyatakan resiliensi sebagai kemampuan untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri terhadap perubahan, tuntutan, dan kekecewaan yang muncul dalam perjalanan hidup. Individu yang resilien adalah seseorang yang mampu beradaptasi dengan baik pada saat pertama kali mengalami kemalangan dan perubahan dalam hidupnya (Isaacson, 2002).
Resiliensi juga didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengatasi masalah dan bangkit dari masalah. Menurut Dugan dan Coles (dalam Isaacson, 2002) resiliensi merupakan kekuatan untuk bangkit kembali atau pulih dari kekecewaan, rintangan, atau kemunduran. Grotberg (1998) menyatakan resiliensi adalah kemampuan manusia untuk menghadapi dan mengatasi masalah, yang selanjutnya, pengalaman akan masalah itu sendiri selanjutnya akan memperkuat resiliensi.

2.1.2 Karakteristik Individu Resilien
Menurut Wolin dan Wolin (1999), ada tujuh karakteristik utama yang dimiliki oleh individu yang resilien. karakteristik-karakteristik inilah yang membuat individu mampu beradaptasi dengan baik saat menghadapi masalah, mengatasi berbagai hambatan, serta mengembangkan potensi yang dimilikinya secara maksimal, yaitu:
1. Insight
Kemampuan untuk memahami dan memberi arti pada situasi, orang-orang yang ada di sekitar, dan nuansa verbal maupun nonverbal dalam komunikasi, individu yang memiliki insight mampu menanyakan pertanyaan yang menantang dan menjawabnya dengan jujur. Hal ini membantu mereka untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain serta dapat menyesuaikan diri dalam berbagai situasi.
2. Kemandirian
Kemampuan untuk mengambil jarak secara emosional maupun fisik dari sumber masalah dalam hidup seseorang. Kemandirian melibatkan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara jujur pada diri sendiri dengan peduli pada orang lain. Orang yang mandiri tidak bersikap ambigu dan dapat mengatakan “tidak” dengan tegas saat diperlukan. Ia juga memiliki orientasi yang positif dan optimistik pada masa depan.
3. Hubungan
Seseorang yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan, ataupun memiliki role model yang sehat. Remaja mengembangkan hubungan dengan melibatkan diri (recruiting) dengan beberapa orang dewasa dan teman sebaya yang suportif dan penolong. Pada masa dewasa, hubungan menjadi matang dalam bentuk kelekatan (attaching), yaitu ikatan personal yang menguntungkan secara timbal balik dimana ada karakteristik saling memberi dan menerima.
4. Inisiatif
Individu yang resilien bersikap proaktif, bukan reaktif, bertanggung jawab dalam pemecahan masalah, selalu berusaha memperbaiki diri ataupun situasi yang dapat diubah, serta meningkatkan kemampuan mereka menghadapi hal-hal yang tak dapat diubah. Mereka melihat hidup sebagai rangkaian tantangan dimana mereka yang mampu mengatasinya. Anak-anak yang resilien memiliki tujuan yang mengarahkan hidup mereka secara konsisten dan mereka menunjukkan usaha yang sungguh-sungguh untuk berhasil di sekolah.
5. Kreativitas
Kreativitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Individu yang resilien tidak terlibat dalam perilaku negatif sebab ia mampu mempertimbangkan konsekuensi dari tiap perilakunya dan membuat keputusan yang benar.
Kreativitas juga melibatkan daya imajinasi yang digunakan untuk mengekspresikan diri dalam seni, serta membuat seseorang mampu menghibur dirinya sendiri saat menghadapi kesulitan. Anak yang resilien mampu secara kreatif menggunakan apa yang tersedia untuk pemecahan masalah dalam situasi sumber daya yang terbatas. Selain itu, bentuk-bentuk kreativitas juga terlihat dalam minat, kegemaran, kegiatan kreatif dari imajinatif.
6. Humor
Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang dari kehidupan, menertawakan diri sendiri, dan menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun. Seseorang yang resilien menggunakan rasa humornya untuk memandang tantangan hidup dengan cara yang baru dan lebih ringan. Rasa humor membuat saat-saat sulit terasa lebih ringan.
7. Moralitas
Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai ditandai dengan keinginan untuk hidup secara baik dan produktif. Individu yang resilien dapat mengevaluasi berbagai hal dan membuat keputusan yang tepat tanpa takut akan pendapat orang lain. Mereka juga dapat mengatasi kepentingan diri sendiri dalam membantu orang yang membutuhkan. Moralitas adalah kemampuan berperilaku atas dasar hati nurani.

2.1.3 Faktor-Faktor Yang Mepengaruhi Resiliensi
Grotberg (1995), mengemukakan faktor-faktor resiliensi yang diidentifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah ‘I Am’, untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya, digunakan istilah ‘I Have’, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah ’I Can’. Faktor-faktor tersebut adalah:
1.      I Am
Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri, seperti perasaan, tingkah laku dan kepercayaan yang terdapat dalam diri seseorang. Berikut ini, akan dijelaskan satu persatu mengenai bagian-bagian dari faktor I Am, yaitu:
a.       Perasaan dicintai dan sikap yang menarik
Individu pasti mempunyai orang yang menyukai dan mencintainya. Individu akan bersikap baik terhadap orang-orang yang menyukai dan mencintainya. Seseorang dapat mengatur sikap dan perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda ketika berbicara dengan orang lain.
b.      Mencintai, empati, altruistic
Yaitu ketika seseorang mencintai orang lain dan mengekspresikan cinta itu dengan berbagai macam cara. Individu peduli terhadap apa yang terjadi pada orang lain dan mengekspresikan melalui berbagai perilaku atau kata-kata. Individu merasakan ketidaknyamanan dan penderitaan orang lain dan ingin melakukan sesuatu untuk menghentikan atau berbagi penderitaan atau memberikan kenyamanan.
c.       Bangga pada diri sendiri
Individu tahu bahwa mereka adalah seorang yang penting dan merasa bangga akan siapakah mereka itu dan apapun yang mereka lakukan atau akan dicapai. Individu itu tidak akan membiarkan orang lain meremehkan atau merendahkan mereka. Ketika individu mempunyai masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem membantu mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut.
d.      Mandiri dan bertanggung jawab
Individu dapat melakukan berbagai macam hal menurut keinginan mereka dan menerima berbagai konsekuensi dan perilakunya. Individu merasakan bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hal tersebut. Individu mengerti batasan kontrol mereka terhadap berbagai kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab.
e.       Penuh dengan harapan, iman, dan kepercayaan
Individu percaya ada harapan bagi mereka, serta orang lain dan institusi yang dapat dipercaya. Individu merasakan mana yang benar maupun salah, dan ingin ikut serta di dalamnya. Individu mempunyai kepercayaan diri dan iman dalam moral dan kebaikan, serta dapat mengekspresikannya sebagai kepercayaan terhadap Tuhan dan manusia yang mempunyai spiritual yang lebih tinggi.
2.      I Have
Aspek ini merupakan bantuan dan sumber dari luar yang meningkatkan resiliensi. Sumber-sumbernya yaitu:
a.       Mempunyai hubungan
Orang-orang terdekat dari individu seperti suami, anak, orang tua merupakan orang yang mencintai dan menerima individu tersebut. Tetapi individu juga membutuhkan cinta dan dukungan dari orang lain yang kadangkala dapat memenuhi kebutuhan kasih sayang yang kurang dari orang terdekat mereka.
b.      Struktur dan aturan rumah
Setiap keluarga mempunyai aturan-aturan yang harus diikuti, jika ada anggota keluarga yang tidak mematuhi aturan tersebut maka akan diberikan penjelasan atau hukuman. Sebaliknya jika anggota keluarga mematuhi aturan tersebut maka akan diberikan pujian.
c.       Role Models
Merupakan sumber dari faktor I Have yaitu orang-orang yang dapat menunjukkan apa yang individu harus lakukan seperti informasi terhadap sesuatu dan memberi semangat agar individu mengikutinya.

d.      Memberi semangat agar mandiri
Dimana individu baik yang independen maupun masih tergantung dengan keluarga, secara konsisten bisa mendapatkan pelayanan seperti rumah sakit, dokter, atau pelayanan lain yang sejenis.
3.      I Can
Faktor I Can adalah kompetensi sosial dan interpersonal seseorang. Bagian-bagian dari faktor ini yaitu:
a.       Keterampilan berkomunikasi
Dimana individu mampu mengekspresikan berbagai macam pikiran dan perasaan kepada orang lain dan dapat mendengar apa yang orang lain katakan serta merasakan perasaan orang lain.
b.      Kemampuan memecahkan masalah
Individu dapat menilai suatu masalah secara alami serta mengetahui apa yang mereka butuhkan agar dapat memecahkan masalah dan bantuan apa yang mereka butuhkan dari orang lain. Individu dapat membicarakan berbagai masalah dengan orang lain dan menemukan penyelesaian masalah yang paling tepat dan menyenangkan. Individu terus-menerus bertahan dengan suatu masalah sampai masalah tersebut terpecahkan.
c.       Mengatur berbagai perasaan dan rangsangan
Dimana individu dapat mengenali perasaan mereka, mengenali berbagai jenis emosi, dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan tingkah laku namun tidak menggunakan kekerasan terhadap perasaan dan hak orang lain maupun diri sendiri. Individu juga dapat mengatur rangsangan untuk memukul, ‘kabur’, merusak barang, atau melakukan berbagai tindakan yang tidak menyenangkan.
d.      Mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain
Dimana individu memahami temperamen mereka sendiri (bagaimana bertingkah, merangsang, dan mengambil resiko atau diam, reflek dan berhati-hati) dan juga terhadap temperamen orang lain. Hal ini menolong individu untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, membantu individu untuk mengetahui kecepatan untuk bereaksi, dan berapa banyak individu mampu sukses dalam berbagai situasi.
e.       Mencari hubungan yang dapat dipercaya
Dimana individu dapat menemukan seseorang misalnya orang tua, saudara, teman sebaya untuk meminta pertolongan, berbagi perasaan dan perhatian, guna mencari cara terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah personal dan interpersonal.

2.1.4 Resiliensi Dalam Perspektif Islam
Konsep resiliensi senada dengan ajaran Hijrah dalam Islam. Syahar (2011, dalam Uyun, 2012) menjelaskan secara bahasa Hijrah berarti At-Tarku yang artinya berpindah atau meninggalkan, baik meninggalkan tempat maupun meninggalkan sesuatu yang tidak baik. Secara terminologi Hijrah mengandung dua makna, yaitu Hijrah Makaniyah (tempat/fisik) dan Hjrah Maknawiyah (Hijrah mental) atau disebut juga hijrah qalbiyah (hijrah hati).
Hijrah Makaniyah artinya berpindah dari suatu tempat yang kurang baik menuju tempat yang lebih baik, dari suatu negeri ke negeri lain yang lebih baik. Sedangkan Hijrah Maknawiyah artinya berpindah dari nilai yang kurang baik menuju nilai yang lebih baik, dari kebatilan menuju kebenaran. Perpindahan dari hal yang bersifat negatif menuju hal yang bersifat positif. Lebih lanjut pengembangan resiliensi dalam Islam didukung oleh beberapa faktor, antara lain: Ikhtiar, Tawakkal, Sabar, Ikhlas, Syukur dan Istiqomah. Selain itu pengembangan resiliensi juga dipengaruhi faktor eksternal, yang dalam Islam diajarkan kasih sayang, keharmonisan dan kedamaian (Uyun, 2012).
Artinya : “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (QS. Al-Baqarah: 155) (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. (QS. Al-Baqarah: 156) Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-Baqarah: 157)
Resiliensi dibangun dari tujuh kemampuan yang berbeda dan hampir tidak ada satupun individu yang secara keseluruhan memiliki kemampuan tersebut dengan baik (Reivich & Shatté, 2003), yaitu:
1.    Regulasi emosi
Menurut Reivich dan Shatté (2003) regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan. Individu yang memiliki kemampuan meregulasi emosi dapat mengendalikan dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih, atau marah sehingga mempercepat dalam pemecahan suatu masalah. Pengekspresian emosi, baik negatif ataupun positif, merupakan hal yang sehat dan konstruktif asalkan dilakukan dengan tepat. Pengekpresian emosi yang tepat merupakan salah satu kemampuan individu yang resilien. Reivich dan Shatté (2003) mengemukakan dua hal penting yang terkait dengan regulasi emosi, yaitu ketenangan (calming) dan fokus (focusing). Individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini, dapat membantu meredakan emosi yang ada, memfokuskan pikiran-pikiran yang mengganggu dan mengurangi stress. Sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya : “ Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah  tidak menyukai setiap  orang yang sombong lagi membagakan diri “. (Q.S. Al-Hadid: 22-23)

2.    Pengendalian impuls
Reivich dan Shatté (2003) mendefinisikan pengendalian impuls sebagai kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang. Individu dengan pengendalian impuls rendah sering mengalami perubahan emosi dengan cepat yang cenderung mengendalikan perilaku dan pikiran mereka. Individu seperti itu seringkali mudah kehilangan kesabaran, mudah marah, impulsif, dan berlaku agresif pada situasi-situasi kecil yang tidak terlalu penting, sehingga lingkungan sosial di sekitarnya merasa kurang nyaman yang berakibat pada munculnya permasalahan dalam hubungan sosial. Sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya : “ Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu sebuah kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malakat, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan,  dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa “.(Q.S. Al-Baqarah : 177)
3.    Optimisme
Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Mereka memiliki harapan pada masa depan dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol arah hidupnya. Dalam penelitian yang dilakukan, jika dibandingkan dengan individu yang pesimis, individu yang optimis lebih sehat secara fisik, dan lebih jarang mengalami depresi, lebih baik di sekolah, lebih peoduktif dalam kerja, dan lebih banyak menang dalam olahraga. Optimisme mengimplikasikan bahwa individu percaya bahwa ia dapat menangani masalah-masalah yang muncul pada masa yang akan datang. Sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya : “ Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan  saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat  Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaun yang kafir. “ (Q.S. Yusuf : 87)
4.    Empati
Empati merepresentasikan bahwa individu mampu membaca tanda-tanda psikologis dan emosi dari orang lain. Empati mencerminkan seberapa baik individu mengenali keadaan psikologis dan kebutuhan emosi orang lain. Seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif (Reivich & Shatté, 2003). Sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya : “ Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim, dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang  baik . “ (Q. S. An-Nisa : 8)
5.    Analisis penyebab masalah
Seligman (dalam Reivich & Shatté, 2003) mengungkapkan sebuah konsep yang berhubungan erat dengan analisis penyebab masalah yaitu gaya berpikir. Gaya berpikir adalah cara yang biasa digunakan individu untuk menjelaskan sesuatu hal yang baik dan buruk yang terjadi pada dirinya.
Gaya berpikir dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu: 1) Personal (saya-bukan saya) individu dengan gaya berpikir ‘saya’ adalah individu yang cenderung menyalahkan diri sendiri atas hal yang tidak berjalan semestinya. Sebaliknya, Individu dengan gaya berpikir ‘bukan saya’, meyakini penjelasan eksternal (di luar diri) atas kesalahan yang terjadi. 2) Permanen (selalu-tidak selalu) : individu yang pesimis cenderung berasumsi bahwa suatu kegagalan atau kejadian buruk akan terus berlangsung. Sedangkan individu yang. optimis cenderung berpikir bahwa ia dapat melakukan suatu hal lebih baik pada setiap kesempatan dan memandang kegagalan sebagai ketidakberhasilan sementara. 3) Pervasive (semua-tidak semua) : individu dengan gaya berpikir ‘semua’, melihat kemunduran atau kegagalan pada satu area kehidupan ikut menggagalkan area kehidupan lainnya. Individu dengan gaya berpikir‘tidak semua’, dapat menjelaskan secara rinci penyebab dari masalah yang ia hadapi. Individu yang paling resilien adalah individu yang memiliki fleksibilitas kognisi dan dapat mengidentifikasi seluruh penyebab yang signifikan dalam permasalahan yang mereka hadapi tanpa terperangkap dalam explanatory style tertentu.
Sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya : “ Sesungguhnya  perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam tanaman bumi, diantaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan tanam –tanamannya)  laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir.”  (Q.S. Yunus : 24)

6.    Efikasi diri
Reivich dan Shatté (2003) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah ketika menemukan bahwa strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil. Sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa):”Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (Q.S. Al-Baqarah: 286)
7.    Peningkatan aspek positif
Menurut Reivich dan Shatté (2003), resiliensi merupakan kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif dalam hidup. Individu yang meningkatkan aspek positif dalam hidup, mampu melakukan dua aspek ini dengan baik, yaitu: (1) mampu membedakan risiko yang realistis dan tidak realistis, (2) memiliki makna dan tujuan hidup serta mampu melihat gambaran besar dari kehidupan. Individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan lebih mudah dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam meningkatkan kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi.
2.1.5 Bentuk Karakter Individu Dalam Psikologi Islam
Menurut Mujib (2012) desain karakter Islam dapat diturunkan dari tiga pola; yaitu (1) diturunkan dari domain akhlak dalam trilogi ajaran Islam, yang tidak mencakup akidah dan syariah (ibadahmuamalah); (2) diturunkan dari keselurusan domain dari ajaran Islam, mencakup akidah/iman, syariah/islam dan akhlak/ihsan.
Pertama, karakter diturunkan dari ajaran akhlak, yakni bagian esoteris dari komponen ajaran Islam. Sebagaimana kita ketahui bahwa komponen Islam yang terdiri atas akidah (keimanan), syariah (ibadah dan mu’amalah) dan akhlak (etika). Pola ini tidak melibatkan akidah dan syariah sebagai konstruks dalam karakter, namunj hanya akhlak saja. Melalui pola ini, bentuk-bentuk karakter Islam dibagi dua bagian, yaitu:
1.    Karakter terpuji (akhlaq mahmudah)
Bentuk karakter ini seperti sabar, syukur, ikhlas, qana’ah, rendah hati (tawadhu’), jujur (sidq), dermawan (jud), amanah, pemaaf, lapang dada, dan sebagainya.
2. Karakter tercela (akhlaq madzmumah)
Bentuk karakter ini seperti gampang marah (ghadhab), kufur nikmat, riya’, rakus (thama’),sombong (takabur), dusta (kidb), pelit (syukh), khianat, dendam, dengki, dan sebagainya.
Dua karakter tersebut merupakan kebalikan atau lawan yang jelas, baik dilihat dari perilaku eksoteris maupun esoterisnya, seperti sabar versus marah, syukur versus kufur, ikhlash versus riya’, qana’ah versus thama’, tawadhu’ versus takabur, jujur versur dusta dan seterusnya. Karena perbedaan itu jelas maka model karakter ini mudah diukur.

 BAB III
             PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Resiliensi adalah faktor penting dalam kehidupan manusia. Menurut Dugan dan Coles (dalam Isaacson, 2002) resiliensi merupakan kekuatan untuk bangkit kembali atau pulih dari kekecewaan, rintangan, atau kemunduran. Grotberg (1998) menyatakan resiliensi adalah kemampuan manusia untuk menghadapi dan mengatasi masalah, yang selanjutnya, pengalaman akan masalah itu sendiri selanjutnya akan memperkuat resiliensi. Ketika perubahan dan tekanan hidup berlangsung begitu intens dan cepat, maka seseorang perlu mengembangkan kemampuan dirinya sedemikian rupa untuk mampu melewati itu semua secara efektif. Untuk mampu menjaga kesinambungan hidup yang optimal, maka kebutuhan akan kemampuan untuk menjadi resilien sungguh menjadi makin tinggi. Orang-orang dengan resiliensi yang tinggi, akan mampu keluar dari masalah dengan cepat dan tak terbenam dengan perasaan sebagai korban lingkungan atau keadaan (Rohmah, 2012).
Problem atau masalah merupakan bagian dari hidup. Kehadiran masalah bukan yang menentukan kebahagiaan dan ketentraman hidup. Kebahagiaan dan ketentraman hidup lebih ditentukan oleh bagaimana manusia bertindak dan menghadapi masalah. Masalah bukan untuk dihindari, tapi masalah merupakan tantangan yang harus dicari jalan keluarnya. Karena apabila masalah itu dibiarkan, maka masalah itu akan membuat manusia mengalami gangguan kecemasan. Gangguan kecemasan yang sangat parah sebagai akibat dari peristiwa traumatik bisa menjadikan sebagian orang tidak bisa meresponnya dengan efektif. Resiliensi merupakan pertahanan psikologis seseorang yang akan membantunya menjalani hidup dengan sehat. Kepemilikan ketrampilan resiliensi sangat urgen bagi tiap individu untuk menghadapi problem kehidupan, termasuk gangguan kecemasan post traumatik. Hidup yang sehat tidak sekedar sehat secara fisik, tetapi hidup yang sehat adalah meliputi juga mental yang sehat (Rohmah, 2012).
Sesungguhnya manusia dibekali berbagai potensi untuk memecahkan problema hidup dan sejatinya Allah tidak membebani hamba-Nya melainkan sesuai dengan kapasitasnya (Q.S. al-Mukminun : 62; al-Baqarah: 286). Artinya, setiap manusia punya potensi mampu menyelesaikan problem kehidupan. Dan tidak ada manusia yang tidak lulus dari ujian kehidupan. Ketika rasa cemas, khawatir, dan was-was manusia harus segera sadar dan kembali mengingat Allah (dzikrullâh) sehingga segala kekuatan dan potensinya akan berfungsi normal lagi. Manusia harus menyadari bahwa masalah itu datangnya dari Allah dan kembalikan masalah itu kepada Allah (Rohmah, 2012). Dalam pengembangan resiliensi dalam Islam didukung oleh beberapa faktor, antara lain: Ikhtiar, Tawakkal, Sabar, Ikhlas, Syukur dan Istiqomah. Selain itu pengembangan resiliensi juga dipengaruhi faktor eksternal, yang dalam Islam diajarkan kasih sayang, keharmonisan dan kedamaian (Uyun, 2012). Di dalam islam terdapat hukum dan aturan yang termuat didalamnya yang telah mengatur segala tingkah laku manusia, tingkah laku perorangan hingga kelompok telah diatur oleh islam agar setiap manusia menempuh jalan yang bisa mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagian dunia dan akhirat (Gunawan, 2014). Islam juga menampilkan manusia sesuai dengan hakekatnya, menjelaskan asal-usulnya, keistimewaannya, tugasnya, hubungannya dengan alam semesta, atau kesiapannya untuk menerima kebaikan dan keburukan (Sugiyarto, 2014).

 DAFTAR PUSTAKA

Alvord, M. K. & Grados, J. J. (2005). Enhancing resilience in children: A proactive approach. American Journal Association of Professional Psychology: Research & Practice, Vol. 36, Iss. 3, p. 238-245

Connor, K. M. (2006). Assesment of resilience in the aftermath of trauma. American Journal Association of Clinical Psychiatry, Vol. 67, Suppl 2, p. 46-49

Ghufron & Risnawati. (2010). Teori-teori psikologi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media

Gunawan, Eko.(2014). Islam dan resiliensi. Retrieved February, 18. 2016, from http://ekookeg.blogspot.co.id/2014/01/islam-dan-resiliensi.htm

Grotberg, E. (1995).  A guide to promoting resilience in children: strengthening the human spirit.  Benard Van Leer Fondation. Retrieved June, 20, 2009, from the Bernard Van Leer website:  http://www.bernardvanleer.org/publication_store/publication_store_publications/a_guide_to_promoting_resilience_in_children_strengthening_the_human_spirit/file

Grotberg, E. H. (1998). The international resilience project: full text publications. Retrieved June, 20, 2009, from the Civitan International Research Center, UAB website: http://www.resilnet.uiuc.edu/library/grotbg8a.html

Hegney, D. et al. (2008). Building resilience in rural communities toolkit. Toowoomba, Queensland: The University of Queensland and University of Southern Queensland. Retrieved June, 20, 2009, from the learning for sustain ability website: http://learningforsustainability.net/pubs/Building%20Resilience%20in%20Rural%20Communities%20Toolkit.pdf

Herlina, M. (2007). Manusia dan bencana: bukan korban, tetapi orang yang berhasil selamat (survivor). Retrieved May, 5, 2009, from http://mariaherlina.multiply.com/journal/item/13/Bukan_korban_tetapi_orang_yang_berhasil_selamat_Survivor

Isaacson, B. (2002). Characteristics and enhancement of resiliency in young people: A research paper. Retrieved May, 5, 2009, from the University of Winconsin-Stout website: http//www.uwstout.ede/lib/thesis/2002/2002isaacsonb.pdf

Jomehri, F., Mojtabaei, M., Hadadian, M. (2014). Relationship of religious beliefs with general health and resilience in students of Islamic Azad Universities in West Mazandaran Province. Singaporean Journal of Business Economics & Management Studies, Vol. 3, No. 2, p. 1-13

Klohnen, E. C. (1996). Conceptual analysis and measurement of the construct of ego-resiliency. American Journal Association of Personality and Social Psychology, Vol. 70, Iss. 5, p. 1067-1079

Lamoshi, Abdulraouf Y. (2015). Religion as a resilience tool to manage stress in adolescents: islamic approach. Global Journal of Human Social Science: H Interdisciplinary, Vol. 15, Iss. 3, Ver. 1, P. 4-8

Mujib, Prof. Dr. Abdul. (2012). Konsep pendidikan karakter berbasis psikologi islam. Seminar Nasional Islami 21 April 2012, p. 1-10

Reivich, K. & Shatte, A. (2003). The resilience factor: 7 keys to finding your inner strength and overcoming life’s hurdless (first trade paperback edition). USA: Broadway Books

Rohmah, Umi. (2012). Resiliensi dan sabar sebagai respon pertahanan psikologis dalam menghadapi post-traumatic. Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 6, No. 20, Ed. Juli-Des 2012, p. 312-330

Sekarani, Rima. (2010). Aku bisa bertahan dan bangkit kembali: Resiliensi Diri. Retrieved February, 18, 2016, from https://rimuu.wordpress.com/2010/05/26/aku-bisa-bertahan-dan-bangkit-kembali-resiliensi-diri/

Sugiyarto, Eko. (2014). Manusia menurut pandangan islam. Retrieved February, 18, 2016, from https://alquranmulia.wordpress.com/2014/01/03/manusia-menurut-pandangan-islam/

Uyun, Zahrotul. (2012). Resiliensi dalam pendidikan karakter. Seminar Nasional Islami 21 April 2012, p. 200-208

Wolin, S., Wolin, S. (1999). Resilience among youth growing up in substance-abusing families. The Pediatric Clinics of North America, vol. 42 no. 2. , hlm. 415-429.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar