ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR (OCB) DALAM
PERSPEKTIF ISLAM
Oleh :
DHARA NATASYA RAKHMAT
21150700000023
BAB I
1.1. Pendahuluan
Secara bahasa Hablumminallah
itu adalah hubungan dengan Allah, dan Hablumminannas adalah
hubungan dengan manusia. Hubungan vertikal manusia dengan Allah S.W.T (Hablumminallah) dan hubungan horizontal
antar manusia (Hablumminannas) diharapkan
dapat berjalan secara seimbang dan berkesinambungan.
Karyawan yang
menjaga hubungan antar manusianya dengan baik, cenderung memiliki Organizational Citizenship Behavior
(OCB) yang baik pula. OCB adalah perilaku positif dalam dunia kerja yang membuat
seseorang sanggup melakukan pekerjaan di luar pekerjaan formalnya tanpa
mengharapkan reward dari organisasi.
Hal ini diwujudkan melalui semangat untuk membantu rekan kerja dan mengusahakan
pencapaian organisasi dengan bekerja sama mewujudkan tujuan kelompoknya, dan sangat relevan dengan perilaku ikhlas Lillahi
Ta’ala dalam bekerja tanpa mengharapkan reward dari organisasi. Dalam sebuah hadist
yang disampaikan oleh sahabat Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahua’laihi
wasallam bersabda:
إنما الأ عمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى
“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya dan seseorang akan
mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan” (HR Bukhari & Muslim)
Mujib (2012) menyatakan bahwa
Islam tidak menghendaki keterpisahan antara ilmu dan sistem nilai seperti yang
terjadi di Barat. Membumikan karakter Islam akan memberi implikasi positif bagi
kehidupan manusia, karena sifatnya jalb al-mashalih (menarik yang baik) dan dar’u al-mafasid (menolak yang merusak). Hal ini didukung oleh Huda (2011) bahwa ilmu
adalah fungsionalisasi ajaran wahyu, yang merupakan hasil dialog antara ilmuwan
dengan realitas yang diarahkan perkembangannya oleh wahyu al-Qur’an. Oleh
karena itu, seorang individu muslim, dalam menjalankan interaksi dengan sesama
di dunia kerja, diharapkan dapat menerapkan nilai filosofis digali dari sumber
Islam itu sendiri, dengan teknik-operasional yang merujuk langsung dari
teori-teori psikologi yang sudah ada.
Sesuai
penjelasan di atas, maka dapat kita lihat
bagaimana implementasi nilai-nilai keislaman dapat diterapkan pada hubungan
antar manusia dalam konteks Organizational
Citizenship Behavior (OCB) yang
perlu dibudayakan dalam organisasi.
1.2. Tujuan
Sesuai penjelasan di
atas, maka makalah ini disusun untuk melihat bagaimana implementasi nilai-nilai
keislaman dapat diterapkan pada hubungan antar manusia dalam konteks Organizational Citizenship Behavior
(OCB).
1.3. Rumusan
Masalah
Bagaimana pengaruh Hablumminannas yang dapat diterapkan
karyawan, khususnya seorang muslim/muslimah pada konsep Organizational Citizenship Behavior (OCB).
1.4. Definisi
Operasional
Hubungan dengan
sesama manusia (Hablumminannas)
berkaitan langsung dengan akhlak manusia. Betapa pentingnya permasalahan akhlak
ini hingga Allah S.W.T mengutus seorang Rasul untuk menyempurnakan akhlak
manusia serta menjadi memberi contoh langsung dan nyata kepada para pengikutnya
mengenai panutan akhlak mulia:
كان احسن الناس خلقا
“Nabi S.A.W. adalah manusia dengan akhlak yang terbaik”. (HR: Muslim dan Abu Dawud).
“Nabi S.A.W. adalah manusia dengan akhlak yang terbaik”. (HR: Muslim dan Abu Dawud).
OCB juga
merupakan perilaku dan sikap yang menguntungkan organisasi yang tidak dapat
tumbuh melalui tugas formal maupun kompensasi (Organ, 1988).
1.5. Tujuan
Penulisan
1.5.1. Tujuan
umum
Untuk
memberikan gambaran dan pemahaman yang jelas mengenai Hablumminannas diterapkan pada konsep Organizational Citizenship
Behavior (OCB)
i.
Tujuan Khusus
a.
Pengertian
Hablumminannas.
b.
Pengertian
Organizational Citizenship Behavior
(OCB).
c.
Organizational Citizenship Behavior (OCB) dalam perspektif
Islam.
d. Dimensi Organizational
Citizenship Behavior (OCB) dalam
perspektif Islam.
1.6. Manfaat
Penulisan
Makalah ini
diharapkan dapat memberi kontribusi dalam menambah wawasan serta sebagai salah
satu rujukan untuk memahami lebih lanjut sisi tema yang sama dalam konteks Hablumminannas diterapkan pada konsep Organizational Citizenship Behavior
(OCB).
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1.
HABLUMMINALLAH dan HABLUMMINANNAS
2.1.1. Pengertian
Hablumminallah dan Hablumminannas
Menurut Prof. Dr.
Hamka, urusan pergaulan atau hubungan dapat dibagi menjadi dua, yaitu Hablumminallah
(hubungan dengan Allah), dan Hablumminannas (hubungan
dengan manusia). Kedua hal ini harus berjalan beriringan, dan diperhatikan
secara seimbang jika ingin baik hidupnya.
Hablumminallah
menyinggung mengenai permasalahan tauhid (mengesakan Tuhan), artinya hanya
Allah saja yang Maha Kuasa atas segala hal. Hubungan ini memberikan pemahaman
dan keyakinan bahwa semua yang terjadi adalah atas ijin Allah, dan segala amal
ibadah yang dilakukan karena ikhlas mengharap ridho-Nya. Sementara itu,
Hablumminannas memberikan pemahaman bahwa dalam hubungan dengan sesama manusia
harus menjunjung tinggi keadilan. Setiap orang harus mematuhi hak dan kewajiban
terhadap sesamanya, sehingga akan tercapai pergaulan yang sempurna di dalam
bermasyarakat dan berbangsa.
2.1.2. Dalil-dalil
Hablumminallah dan Hablumminannas
Manusia adalah makhluk
sosial yang tidak mampu untuk hidup sendiri. Pada praktiknya, kehidupan manusia
tidak hanya bergantung pada masalah urusan sosialnya saja. Akan tetapi, ada
sebuah kebutuhan dasar yang dirasakan dalam hidupnya, yaitu interaksinya dengan
tuhannya (Hablumminallah). Hubungan
vertikal manusia dengan Allah S.W.T (Hablumminallah)
dan hubungan horizontal antar manusia (Hablumminannas)
diharapkan dapat berjalan secara seimbang dan berkesinambungan.
Ketergantungan manusia
pada Allah S.W.T, secara sadar melahirkan kepatuhan dan rasa tanggung jawab
untuk mengabdi dan beribadah pada Allah S.W.T, sebagaimana tercantum pada ayat
berikut ini:
Dan
aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.
(Q.S.Az-Zariyat,
51: 56)
Ayat mengenai Hablumminannas banyak disebutkan di
dalam Al-Quran. Hal ini menyiratkan betapa pentingnya menjaga hubungan yang
baik diantara sesama manusia. Pada awalnya, manusia diciptakan secara
berpasangan, bahkan dalam sejarah tercatat bahwa adam diturunkan ke bumi pun
bersama hawa. Dengan perkembangan zaman, manusia kemudian berinteraksi dan
membentuk kelompoknya sendiri. Allah S.W.T dengan tegas menyatakan bahwa:
Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
(Q.S. Al-Hujurat, 49 : 13)
(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan
bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang
ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan
jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha
Mendengar dan Melihat. (Q.S. Asy-Syura, 42:
11)
Ayat di atas ditafsirkan
sebagai pijakan pendapat bahwa sejak awal penciptaan manusia tidak dapat hidup
sendiri, dan secara naluriah hidup secara berkelompok dengan tujuan dan
kepentingan tertentu. Lebih jauh lagi, keberadaan manusia dianggap sebagai
pengganti kaum yang telah musnah yang pada sebagiannya diberi kemampuan untuk
memimpin manusia yang lainnya (khalifah).
Hubungan dengan sesama
manusia (Hablumminannas) berkaitan
langsung dengan akhlak manusia. Betapa pentingnya permasalahan akhlak ini
hingga Allah S.W.T mengutus seorang Rasul untuk menyempurnakan akhlak manusia
serta menjadi memberi contoh langsung dan nyata kepada para pengikutnya
mengenai panutan akhlak mulia:
“Nabi S.A.W. adalah
manusia dengan akhlak yang terbaik”. (HR: Muslim dan Abu Dawud).
”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang
sholeh”.
(HR:
Bukhari dalam shahih Bukhari kitab adab, Baihaqi dalam kitab syu’bil Iman dan
Hakim).
Rasulullah
S.A.W juga bersabda: “Bukanlah termasuk
golongan kami siapa saja yang tidak menghormati orang yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda dan mengenal hak orang ‘alim kita.” (HR Ahmad
dan Hakim, dihasankan oleh Al-Albani di dalam Shahihul Jami’ no. 4319)
2.2.
ORGANIZATIONAL
CITIZENSHIP BEHAVIOR (OCB)
2.2.1. Pengertian
Organizational Citizenship Behavior
(OCB)
Dalam dunia kerja,
seringkali individu dihadapkan pada realita bahwa ia harus bekerja di luar
tugas utamanya. Tempat kerja yang merupakan wadah bagi kesatuan kelompok kecil
dari masyarakat menuntut anggotanya untuk saling berkomunikasi agar memperoleh
hubungan yang baik. Menurut Hofstede (1991), Indonesia adalah salah satu negara
yang mempunyai nilai kolektivistik tinggi dimana kepentingan kelompok berada di
atas kepentingan individu, sehingga dapat dikatakan sistem tim kerja berkembang
dengan baik di Indonesia.
Kemampuan interpersonal
seperti di atas sangat diperlukan agar seseorang dapat diterima di
lingkungannya untuk saling memberikan timbal balik yang positif di antara
individu, baik itu yang berhubungan langsung dengan pekerjaan, ataupun seputar
kehidupan sosial secara personal atau yang disebut sebagai perilaku extra role. Perilaku extra-role adalah perilaku dalam bekerja
yang tidak tercantum dalam deskripsi kerja formal namun sangat dihargai jika
ditampilkan karena akan meningkatkan efektivitas dan kelangsungan hidup
organisasi (Katz, 1964). Perilaku ini juga dikenal dengan istilah Organizational
Citizenship Behavior (OCB), dan orang yang
menampilkan perilaku OCB disebut sebagai karyawan yang baik (good citizen).
OCB adalah perilaku
positif tanpa syarat yang ditunjukan oleh individu diluar tanggung jawab
pekerjaannya dengan membantu orang lain untuk bersama mencapai tujuan
organisasi (Bateman & Organ, 1983). Misalnya membantu rekan kerja
meringankan beban kerja mereka, atau membantu menyelesaikan permasalahan ketika
ia tidak masuk kerja tanpa mengharap imbalan apapun. OCB juga merupakan
perilaku dan sikap yang menguntungkan organisasi yang tidak dapat tumbuh
melalui tugas formal maupun kompensasi Organ (1988).
Dari
penjelasan diatas dapat disimpulkan Organizational
Citizenship Behavior (OCB) merupakan :
1. Perilaku yang bersifat
sukarela, dan tidak ada paksaan dalam mengedepankan kepentingan organisasi.
2. Perilaku individu yang tidak
saja berkaitan dengan tugas formal tetapi juga di luar tugas formal.
3. Tidak berkaitan secara
langsung dan terang-terangan dengan sistem reward
yang formal.
2.2.2. Dimensi Organizational Citizenship Behavior
(OCB)
Dimensi pada OCB berdasarkan Organ,
Podsakoff, dan Mackenzie (2006) adalah:
1.
Altruism
Altruism adalah perilaku karyawan untuk
membantu ataupun menolong rekan kerjanya yang mengalami kesulitan dalam situasi
yang sedang dihadapi tanpa memikirkan keuntungan pribadi.
2. Courtesy
Memperhatikan dan menghormati orang
lain, juga sifat menjaga hubungan baik dengan rekan kerja agar terhindar dari
masalah interpersonal, atau membuat langkah-langkah untuk meredakan atau
mengurangi suatu masalah.
3.
Conscientiousness
Perilaku yang menunjukkan sebuah usaha
agar melebihi harapan dari organisasi. Perilaku sukarela atau yang bukan
merupakan kewajiban dari seorang karyawan.
4.
Sportsmanship
Menekankan pada aspek-aspek perilaku
positif terhadap keadaan yang kurang ideal dalam organisasi tanpa menyampaikan
keberatan, seperti tidak suka protes, tidak suka mengeluh walaupun berada dalam
situasi yang kurang nyaman, dan tidak membesar-besarkan masalah yang kecil.
5. Civic
Virtue
Karyawan berpartisipasi aktif dalam
memikirkan kehidupan organisasi atau perilaku yang menunjukkan tanggung jawab
pada kehidupan organisasi untuk meningkatkan kualitas pekerjaaan yang ditekuni.
Contoh perilakunya adalah ketika karyawan mau terlibat dalam permasalahan yang
ada di organisasi dan tetap up to date
dalam perkembangan organisasi. Karyawan yang bertindak secara proaktif untuk
mencegah situasi negatif yang dapat mempengaruhi organisasi maka dapat
dikatakan menampilkan civic virtue.
6.
Cheerleading
Karyawan terlibat atau mengikuti
perayaan prestasi dari rekan kerjanya (rendah hati). Dampaknya yaitu untuk
memberikan penguatan positif bagi kontribusi positif, yang pada gilirannya akan
membuat kontribusi tersebut lebih mungkin terjadi di masa depan.
7.
Peacemaking
Karyawan menyadari adanya masalah
atau konflik yang akan memunculkan perselisihan antara dua atau lebih
partisipan. Seorang peacemaker akan masuk kedalam permasalahan, memberikan
kesempatan pada orang yang sedang memiliki masalah untuk berpikir jernih, dan
membantu mencari solusi dari permasalahan.
Organ; Podsakoff; dan
Mackenzie (2006), berpendapat bahwa dimensi altruism,
courtesy, cheerleading, dan peacemaking
dapat digabung menjadi satu dimensi yaitu dimensi helping behavior karena berkaitan dengan perilaku menolong orang
lain dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada serta menyangkut
pekerjaan di organisasi. Oleh karena itu maka pengukuran OCB dapat dilakukan
dengan menggunakan empat dimensi saja yaitu helping behavior, conscientiousness, sportsmanship, dan civic virtue.
Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Organizational Citizenship
Behavior (OCB) diantaranya:
1.
Kepuasan
Kerja
Seorang karyawan yang merasa puas
terhadap pekerjaan serta komitmennya kepada organisasi tempatnya bekerja akan
cenderung menunjukkan performa kerja yang lebih baik dibandingkan karyawan yang
merasa tidak puas terhadap pekerjaan dan organisasinya. Penelitian ini juga
menunjukkan bahwa ada korelasi yang negatif antara OCB dengan perilaku counter productive karyawan (Robbins
& Judge, 2007). OCB hanya dapat dicapai jika didukung oleh kepuasan kerja
yang dirasakan oleh karyawan selama bekerja dalam organisasi. Dennis Organ
sebagai tokoh penting yang mengemukakan OCB, menyatakan bahwa karyawan yang
merasa puas akan membalas kenyamanan bekerja yang dirasakannya kepada
organisasi yang telah memperlakukan dirinya dengan baik dan memenuhi
kebutuhannya selama ini dengan cara melaksanakan tugasnya secara ekstra
melebihi standar yang ada. Hal ini ditunjukkan dengan kesediaan karyawan dalam
berbagai bentuk perilaku OCB secara sukarela demi kemajuan perusahaannya
(George & Jones, 2002).
Melalui sejumlah riset,
OCB diyakini dan terbukti dapat memberikan manfaat yang besar terhadap organisasi,
diantaranya adalah berikut ini, yaitu (Organ ,dkk, 2006):
2.
OCB juga
mampu meningkatkan produktivitas manajer
3.
OCB dapat
menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan organisasi secara keseluruhan
4.
OCB menjadi
sarana yang efektif untuk mengkordinasi kegiatan tim kerja secara efektif
5.
OCB
meningkatkan kemampuan organisasi untuk merekrut dan mempertahankan karyawan
dengan kualitas performa yang baik
6.
OCB dapat
mempertahankan stabilitas kinerja organisasi
7.
OCB
membantu kemampuan organisasi untuk bertahan dan beradaptasi dengan perubahan
lingkungan.
2.3.
ORGANIZATIONAL
CITIZENSHIP BEHAVIOR
(OCB) dalam Perspektif ISLAM
Dalam
pendidikan Islam, seluruh sendi kehidupan seorang muslim akan bernilai ibadah
jika diniatkan demikian. Mulai dari permasalahan ritual ibadah secara personal,
hingga pendidikan dan politik sudah diberikan tuntunannya. Termasuk juga
mengenai hubungan dengan sesama manusia (Hablumminannas). Rasulullah
S.A.W merupakan teladan yang diutus Allah S.W.T untuk menyempurnakan akhlak
manusia, sehingga terbentuk manusia-manusia unggulan yang siap untuk mewujudkan
Islam menjadi sebuah agama yang Rahmatan
lil Aalamin. Manusia yang telah mengikrarkan dirinya menjadi seorang muslim
dengan bersyahadat, dituntut untuk mengamalkan apa yang Beliau lakukan dan
wajibkan. Hal tersebut melingkupi dunia profesional. Rasulullah S.A.W
mengajarkan bagaimana menjalankan perannya dalam dunia politik, memimpin orang
lain, bahkan hubungan antar sesama manusia. Dalam dunia kerja, hubungan antar
sesama manusia merupakan satu hal utama yang mendukung efektivitas pencapaian
tujuan organisasi, terutama dalam perspektif Organizational Citizenship Behavior (OCB) dalam teori modern ini sesuai dengan nilai
diajarkan dalam Islam yaitu Hablumminallah dan Hablumminannas yang didalamnya terdapat nilai keikhlasan. yang diajarkan ini sesuai dari
teori perilaku citizenship (OCB). Organisasi yang
memiliki karyawan dengan OCB yang baik akan mendapatkan karyawan dapat
diandalkan baik itu dalam profesionalisme kerja ataupun sebagai individu.
Mereka tidak hanya mampu bekerja ekstra tanpa pamrih, namun juga mampu menjaga
interaksi dan kerja sama tim dengan rekan kerjanya.
Menurut Syeh Ruwaim Ikhlas adalah mengerjakan suatu
perkara tanpa mengharapkan imbalan apapun baik didunia maupun
akhirat (al-Ghazali, dalam Diana 2012). Al-Sadid juga (dalam Diana 2012) menjelaskan
bahwa seorang yang beramal murni atas keikhlasan yang sempurna karena Allah
SWT, jika dia mengambil imbalan yang dianggap muqobalah atau Ju’lu
(Imbalan) sebagai sarana dalam pekerjaan dan agamanya, atau mendapatkan bagian
dari harta rampasan (Ghonimah) bagi para prajurit muslim yang berperang atau dari
imbalan merawat dan menjaga harta yang diwakafkan untuk masjid, madrasah dan
Instansi-instansi Islam lainnya, maka hal ini diperbolehkan tanpa mengurangi
keihlasan, iman dan tauhid orang-orang tersebut (Soleh bin Aziz, 2003 dalam
Diana 2012).
Seseorang
berperilaku OCB semata-mata ingin mendapatkan ridha
Allah. Perilaku saling menolong, berkomunikasi dengan baik, bekerjasama dan
berpartisipasi muncul atas kesadaran berlomba-lomba dalam kebaikan dan balasan yang besar dari Allah
SWT. Bahkan Nabi pernah menyatakan perbuatan yang lebih mulia dari jihad:
Nabi bersabda :
Amal apakah di hari ini yang paling mulia? Mereka menjawab
“jihad”, Nabi bersabda, “bukan jihad” tetapi seseorang yang keluar dengan mengorbankan diri dan hartanya dengan tanpa mengharapkan imbalan apapun.
Dari hadits
tersebut dapat dipahami bahwa pengorbanan
jiwa, atau harta demi tanpa
mengharapkan imbalan atau reward apapun, nilainya
lebih mulia dari berjihad atau perang di
jalan Allah. Padahal jihad merupakan perbuatan yang paling mulia
yang setara dengan keimanan itu sendiri, dan haji yang mabrur (H.R. Bukhari: 25). Hadits tersebut di atas dapat dijadikan landasan bagi seorang muslim/muslimah dalam mengamalkan perilaku citizenship. Dengan demikian motif
seorang muslim melakukan OCB adalah karena niat ikhlas mencari Ridha Allah SWT
semata.
Demikian pula di dalam organisasi, seseorang
melakukan OCB bukan hanya karena menginginkan reward
saja, tetapi dengan
tujuan mendapat keuntungan di akhirat atau balasan
dari Allah SWT. Karena, jika hanya menginginkan keuntungan dunia saja, maka
Allah SWT hanya akan memberinya sebagian keuntungan dunia, sedangkan jika
mengharapkan keuntungan akhirat maka Allah SWT menjanjikan kebaikan yang
berlipat ganda. Ini tercantum dalam al-Quran:
Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan
Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan
di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada
baginya suatu bahagianpun di akhirat.(QS. Al-Syuraa,42:20).
Ayat tersebut di
atas menganjurkan agar seorang muslim dalam berbuat kebaikan kepada orang lain
hendaknya mengharap imbalan akhirat. Allah SWT akan mencatat setiap perbuatan yang dilakukan hambanya
sekecil apapun. Setiap kebaikan akan dibalas dengan kebaikan. Sepanjang ajaran
ini diingat oleh setiap muslim, maka seorang muslim/muslimah akan selalu
melakukan OCB, karena inti dari OCB adalah kebaikan yang dilakukan menyangkut
hubungan dengan sesama yang harus disertai dengan niat ikhlas karena mengejar
ridho Allah, dan hal ini sangat selaras dengan ajaran Islam (Diana, 2012).
2.4.
Dimensi-dimensi ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR (OCB) dalam Perspektif ISLAM
Jika
tuntunan mengenai Hablumminallah dan Hablumminannas dihubungkan dengan
dimensi yang terdapat pada teori Organizational
Citizenship Behavior (OCB), maka perusahaan akan memperoleh manfaat sebagai
berikut:
1.
Helping behavior (Taawun)
Di
dalam Al-Quran dan Hadits anjuran untuk saling tolong menolong disebutkan
beberapa kali. Diantaranya adalah:
Hai orang- orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi`ar-
syiar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan- bulan haram, jangan
(mengganggu) binatang- binatang had-ya, dan binatang- binatang qalaa-id, dan
jangan (pula) mengganggu orang- orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka
mencari karunia dan keridaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan
ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali- kali kebencian (mu)
kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang- halangi kamu dari Masjidil haram,
mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong- menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong- menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah
amat berat siksa-Nya. (Al – Maidah, 5: 2)
Ayat
di atas menganjurkan seorang muslim untuk dapat membantu sesamanya. Terutama
jika pertolongan itu ditujukan bagi kebaikan. Bahkan Nabi S.A.W bersabda bahwa
Allah akan menolong siapa pun yang meringankan beban saudaranya.
Dan berpeganglah kamu
semuanya kepada tali( agama )Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan
ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu ( masa Jahiliah )
bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena
nikmat Allah orang- orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang
neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat- ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (Ali Imran: 103)
“Sesungguhnya Allah akan menolong seorang hamba-Nya
selama hamba itu menolong orang yang
lain“.
(Hadits
muslim, abu daud dan tirmidzi)
Dalam
konteks pekerjaan, setiap individu yang memiliki OCB yang baik akan mengamalkan
perilaku seperti yang dianjurkan dalam ayat di atas. Ia melakukannya tanpa
mengharapkan penghargaan apapun dari orang yang dibantu ataupun dari
organisasi. Karena semua tindakan yang ia lakukan atas dasar niat lillahita’ala.
2.
Conscientiousness (Mujahadah)
Karyawan
yang memiliki OCB yang baik bersedia melakukan pekerjaan ekstra diluar tanggung
jawabnya. Ia bersedia bekerja lembur demi membantu tercapainya tujuan
organisasi. Dalam islam, setiap muslim dituntut untuk mengusahakan yang
terbaik.
Rasulullah bersabda: “sesungguhnya
setiap perbuatan tergantung pada keteguhan niatnya, barang siapa yang hijrah
karena Allah dan Rasulnya maka hijrahnya adalah Allah dan Rasulnya, barang
siapa yang hijrahnya karena dunia atau wanita yang ingin dinikahinya, maka
hijrahnya tergantung pada niatnya”. (HR. Bukhari: 916).
Hadits
tersebut menerangkan bahwa dalam melakukan sesuatu harus didasari niat yang
teguh dan sungguh-sungguh, meskipun dengan pengorbanan waktu, tenaga dan harta.
Karena yang demikian tersebut dipandang sebagai perbuatan yang lebih mulia dari
jihad6.
3.
Sportsmanship (Sportif)
Sportif diartikan sebagai kemauan
mempertahankan sikap positif ketika sesuatu tidak sesuai, tidak sakit hati
ketika orang lain tidak mengikuti sarannya, mau mengorbankan kepentingan
pribadi demi organisasi dan tidak menolak ide orang lain. Al-Quran menganjurkan
untuk saling menasihati satu sama lain, dan mengingatkan jika terjadi kesalahan
atau kealpaan sebagai manusia (Q.S.al-Ashr:13)
Rasulullah bersabda: “aku diutus untuk menegakkan sholat,
mengeluarkan zakat dan saling menasihati sesama saudara sesama muslim”.
(HR.Bukhari)
Hadits di atas menganjurkan perbuatan
saling menasihati dengan perintah solat dan zakat. Begitu pentingnya perilaku
ini, sehingga Jarir bin Abdillah mempunyai komitmen besar kepada nabi untuk
melaksanakan solat, mengeluarkan zakat dan menasihati kepada setiap muslim.
Menasihati dalam hadits tersebut dapat diartikan memberikan masukan demi
kebaikan orang lain ataupun organisasi.
Nabi juga menyarankan saling
mempermudah, saling memberi masukan, dan tidak marah atau emosi ada sesuatu
yang sesuai dengan harapan. Hal ini dapat diartikan bahwa seseorang tidak boleh
mengedepankan emosinya dalam bergaul atau berperilaku, tetapi harus positif,
saling menghargai dan memberikan jalan buat orang lain. Seperti pada hadist
berikut ini:
Nabi bersabda: “ajarkanlah, permudahlah, jangan mempersulit orang lain, ketika salah
satu di antara kamu marah, maka kamu diamlah”. (HR.Ahmad)
Perilaku positif lainnya terkait sportsmanship adalah keterbukaan dan
kejujuran, yang mana kejujuran merupakan kata kunci kebahagiaan seorang yang
abadi, yaitu surga.
Nabi bersabda; “kejujuran mendatangkan kebaikan, kebaikan menunjukkan ke surga, maka
hendaknya seseorang berbuat jujur hingga menjadi orang yang jujur. Kebohongan
menunjukkan kejelekan, kejelekan menunjukkan ke neraka, orang yang berbohong
ditulis oleh Allah sebagai pembohong”. (HR.Bukhori)
4.
Civic virtue
Setiap
muslim harus peduli orang lain dan juga mendatangi setiap ada undangan
pertemuan ilmiah atau rapat. Ini sebagai bentuk kecintaan terhadap organisasi.
Seperti pada hadist di bawah ini:
Nabi
memerintahkan 7 hal dan juga melarang 7 hal, yaitu sambang orang sakit, merawat
jenazah, mendoakan orang yang bersin, menjawab salam, menolong orang yang
teraniaya, memenuhi undangan, menepati janji (HR. Bukhari).
Dari
hadits tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa empati atau peduli orang lain
merupakan karakter seorang muslim, mulai dari hal terkecil seperti mendoakan
orang yang bersin, sampai pada hal besar seperti memenuhi undangan apapun dan
oleh siapapun baik mahasiswa, masyarakat khususnya pertemuan-pertemuan penting
organisasi, juga seperti menepati janji yang hal ini dapat kita artikan dengan
disiplin waktu.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1.
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai keislaman terkait Hablumminannas
yang dicontohkan oleh Rasulullah S.A.W apabila diaplikasikan dalam hubungan
sesama manusia pada kehidupan profesional melalui konteks Organizational
Citizenship Behavior (OCB) akan mendukung efektivitas pencapaian tujuan
organisasi karena karyawan tidak hanya mampu bekerja ekstra tanpa pamrih, namun
juga mampu menjaga interaksi dan kerja sama tim dengan rekan kerjanya.
3.2.
SARAN
Setiap manusia sebaiknya berusaha
menjaga hubungan baik dengan sesama manusia. Agar menjadi nilai ibadah bagi
umat muslim, maka harus diniatkan sebagai ibadah. Sehingga, sekecil apapun hal
yang dilakukan memiliki nilai di hadapan Allah S.W.T.
DAFTAR PUSTAKA
Debora., E.P & Ali, N.L.S. Pengaruh Kepribadian dan Komitmen Organisasi Terhadap Organizational
Citizenzhip Behavior
Hamka. Lembaga Hidup. Republika. Edisi XII.
2015
Herminingsih Spiritualitas dan Kepuasan Kerja Sebagai Faktor Organizational
Citizenship Behavior (OCB)
Ilfi., N.D. Organizational Citizenship
Behavior (OCB) Dalam Islam. Jurnal Ilmu Ekonomi dan Sosial, Jilid 1, Nomor
2, November 2012
Huda. M.S MF. Psikologi Alternatif (Islami): Menemukan dan Merumuskan Khazanah
Intelektual Islami
Prabowo, Arief Tri. Pengaruh Religiusitas Terhadap
Organizational Citizenship Behavior (OCB) Pada Guru Muslim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar