Kamis, 25 Februari 2016

PERSEPSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM OLEH: MUHAMMAD DWIRIFQI KHARISMA PUTRA

PERSEPSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Dahulu sekali, psikologi pernah berinteraksi dengan agama. Psikologi, sebenarnya, lahir dari kalangan umat beragama. Pada setiap bangsa, selalu ada sekelompok orang yang punya keahlian untuk menyembuhkan hal-hal yang berkaitan dengan penyakit-penyakit kejiwaan. Dalam budaya bangsa Mesir, misalnya, para pemuka agama sekaligus bertindak sebagai dokter rohani (physicians of soul). Dan pada abad pertengahan, memang psikologi berada dalam rangkaian ilmu-ilmu agama.
Dalam sejarahnya, psikologi berasal dan merupakan bagian dari agama. Dengan kata lain, pada masa yang awal sekali, psikologi dan agama itu belum terpisah. Pada abad ke-16 terdapat bidang keilmuan yang bernama pneumatologi (ilmu tentang roh). Pneumatologi atau ilmu tentang roh tersebut terbagi dalam 3 bagian; ilmu tentang Tuhan (Roh) yang dikenal dengan sebutan teologia, ilmu tentang roh-roh perantara (seperti malaikat dan setan) yang disebut angelologi atau demonologi, dan ilmu tentang roh manusia yang disebut psikologi.
Jadi, pada awalnya, ilmu psikologi adalah ilmu yang berkaitan dengan pembicaraan tentang roh manusia. Dalam perkembangannya, psikologi tidak mempelajari roh lagi. Seiring dengan perubahan zaman memasuki dunia modern era Renaissance: sebuah era tatkala manusia berupaya membebaskan diri dari belenggu tahayul, tradisi dan dogma agama. Sehingga menyebabkan penyelidikan psikologi dilandasi oleh upaya untuk menemukan kondisi bagi terciptanya kebahagiaan manusia. Roh tinggal hanya pada namanya saja, yakni para arti kata psikologi (pada kata psyche, yang berarti atman, atau spirit). Namun dalam kenyataannya, psikologi itu tidak pernah lagi berbicara tentang roh manusia. Psikologi (akademik) mengadaptasi pendekatan ilmu-ilmu alam (metode laboratorium) dalam menguji, mengukur dan memverifikasi. Implikasinya adalah ia membatasi segenap aspek manusia yang hanya dapat diuji di laboratorium serta mengklaim bahwa kesadaran, nurani, pengetahuan tentang baik dan buruk adalah konsep metafisis yang berada di luar kajian psikologi. Selanjutnya, psikologi menjadi suatu ilmu pengetahuan yang kehilangan obyek kajiannya, yakni roh (soul) kecuali bagi para psikoanalisa seperti Erich Fromm. Dalam perkembangan berikutnya, roh manusia dibicarakan di dalam agama.
Dalam sejarah perkembangan sains, suatu saat terjadi perseteruan antara psikologi dan agama. Psikologi menganggap agama sebagai gangguan kejiwaan. Bahkan Freud mengatakan bahwa misi kita adalah menyelamatkan umat manusia dari gangguan kejiwaan yang bernama agama. Menurut Freud, agama adalah ilusi. Pada saat yang sama, pada akhirnya, agama juga memberikan reaksi yang keras terhadap psikologi. Psikologi, menurut para agamawan, merupakan kearifan yang diciptakan manusia yang sangat bertentangan dengan kearifan yang berasal dari Tuhan. Di kalangan kaum Muslim sendiri, masih ada anggapan yang mempertanyakan buat apa mempelajari psikologi. Cukuplah Al-Qur’an sebagai pedoman hidup kita. Para agamawan juga menganggap bahwa psikologi sebagai pesaing besar di dalam membimbing umat manusia. Agama sumbernya adalah wahyu, sementara psikologi sumbernya adalah penelitian-penelitian empiris terhadap perilaku dan jiwa manusia.
Mengapa agama dan psikologi hingga sekarang ini bersiteru? Jawabannya adalah karena keduanya punya pandangan dunia (world view) yang berbeda. Cara melihat masalah berbeda dan cara memecahkan masalah juga berbeda. Psikologi didasarkan pada falsafah hidup yang kita sebut “naturalisme”. Naturalisme adalah sebuah isme yang berpandangan bahwa “natura” (alam) sebagai keseluruhan realitas. Artinya, apapun yang terjadi dalam kehidupan kita bisa dijelaskan melalui penjelasan yang terdapat di dunia alamiah ini. Lawan dari naturalisme adalah supernaturalisme yang menganut pandangan dualistik terhadap alam dengan adanya kekuatan atau wujud di luar alam.
Kita bisa memberikan penjelasan untuk berbagai kejadian dengan penjelasan naturalistik. Misalnya, sebuah contoh kasus, suatu ketika seorang guru kebatinan bercerita bahwa ia memperoleh ilmu laduni. Setelah menjalani puasa, dengan tidak makan lebih dari sepuluh hari (hanya minum saja), kemudian ia mendengar suara-suara dan melihat serpihan-serpihan cahaya dihadapannya. Jika kita bertanya pada psikologi, maka psikologi tidak akan memberikan penjelasan dengan mengatakan bahwa serpihan cahaya itu adalah cahaya Ilahi yang datang dari langit dan suara-suara itu datang dari makhluk-makhluk ghaib. Ini bukan penjelasan naturalistik, melainkan penjelasan yang berada di luar alam ini.
Psikologi berusaha memberikan penjelasan pada gejala tersebut dari apa yang ada dalam alam ini. Psikologi akan menjawab bahwa ketika ia melihat cahaya-cahaya itu sebenarnya adalah sebuah ilusi lantaran kelaparan. Karena ia sudah cukup lama dilaparkan, dan mungkin juga kekurangan oksigen yang masuk ke dalam otaknya, lalu mengalami pengalaman yang seperti itu. Hal ini bisa dibuktikan. Tatkala orang tersebut melihat cahaya berkunang-kunang sebenarnya sedang mengalami penurunan glukosa (lantaran kurang makan). Dan terjadilah pengalaman yang disebutnya sebagai “spiritual”. Pada saat itu lah juga ia mengklaim telah ditunjuk Tuhan sebagai rasul untuk menyelamatkan umat manusia.
Berkaitan dengan pengembangan teori psikologi Islami ini, ada satu hal yang sebenarnya menjadi sejenis kesepemahaman antar pengkaji psikologi Islami, yaitu meletakkan kitab suci atau wahyu (al-Qur’an dan al-Hadits) sebagai sumber pengembangan ilmu. Perbedaan utama antara sains Islam atau studi Islam dengan sains sekuler adalah posisi kitab suci. Sains Islam jelas-jelas meletakkan wahyu (al-Qur’an dan al-hadits) sebagai sumber untuk perumusan ilmu. Baik Abdul Mujib (2005) maupun Hanna Djumhana Bastaman (2005) berpandangan sepaham bahwa ayat-ayat kauniyah, wahyu, atau al-Qur’an dan al-Hadists adalah sumber penting bagi pengembangan psikologi Islami.
Dalam tulisannya yang berjudul “Pengembangan Psikologi Islami dengan Pendekatan Studi Islam”,  Abdul Mujib (2005) berpandangan bahwa pola-pola yang sejauh ini direkomendasikan Hanna Djumhana Bastaman (2005), di antaranya similarisasi, paralelisasi, komplementasi dan komparasi, ditinggalkan.
Dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan dua konsep yang salah satu berasal dari psikologi dan yang lainnya mengenai perspektif islam dalam membahas teori barat, konsep yang dimaksud adalah persepsi. Persepsi adalah fungsi psikis yang penting yang menjadi jendela pemahaman bagi peristiwa dan realitas kehidupan yang dihadapi manusia. Manusia sebagai makhluk yang diberikan amanah kekhalifahan diberikan berbagai macam keistimewaan yang salah satunya adalah proses dan fungsi persepsi yang lebih rumit dan lebih kompleks dibanidngkan dengan makhluk Allah yang lainnya. Dalam bahasa Al-Qur’an, beberapa proses dan fungsi persepsi dimulai dari proses penciptaan. Dalam QS. Al-Mukminun ayat 12-24, disebutkan proses penciptaan manusia dilengkapi dengan penciptaan fungsi-fungsi pendengaran dan penglihatan. Dalam ayat ini tidak disebutkan telingan dan mata, tetapi sebuah fungsi. Kedua fungsi ini merupakan fungsi vital bagi manusia dan disebutkan selalu dalam keadaan bersamaan. Sehingga perlu dijelaskan dengan rinci kaitan antara teori persepsi dan juga penjelasannya dari sudut pandang islam serta dilengkapi dengan contoh pengukurannya.
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka dalam kesempatan kali ini penulis menyusun makalah yang berjudul “Persepsi Dalam Perspektif Islam” yang selanjutnya akan dibahas mendalam bab-bab berikutnya. 
  
ISI

2.1 Persepsi
2.1.1 Definisi Persepsi
Persepsi berasal dari bahasa Inggris “perception” yang berarti “penglihatan, tanggapan, daya memahami/menanggapi” lalu Jalaludin Rakhmat mengatakan persepsi merupakan pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Rakhmad, 2007).  Dengan kata lain persepsi dapat dikatakan sebagai segala sesuatu yang dialami individu. Hilgard dan Atkinson (1983) mendefinisikan persepsi sebagai proses dimana kita mengorganisasikan dan menafsirkan pola stimulus dalam lingkungan. Persepsi berbeda dengan sensasi karena di dalam sensasi tidak ada proses interpretasi atau pemberian arti terhadap stimulus. Pada persepsi, pemberian arti ini menjadi hal yang paling utama. Pemberian arti juga dikaitkan dengan pengalaman individu. Seseorang menafsirkan stimulus berdasarkan minat, harapan dan keterkaitannya dengan pengalaman yang dimilikinya. Jadi persepsi bisa dikatakan sebagai suatu proses untuk menginterpretasikan stimulus berdasarkan pengalaman individu. 

2.1.2 Hakikat Persepsi
a. Persepsi Merupakan Kemampuan Kognitif
Persepsi banyak melibatkan kegiatan kognitif. Pada awal pembentukan persepsi, seseorang telah menentukan apa yang akan diperhatikan. Semakin besar perhatian seseorang maka orang tersebut akan memperoleh makna dari sesuatu yang dia perhatikan yang kemudian dihubungkan dengan pengalaman.
b. Peran Atensi dalam Persepsi
Atensi adalah pemusatan pada aspek-aspek tertentu dari pengalaman yang sedang terjadi dan tidak menghiraukan yang lain (Morgan, 1981). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh para psikolog, diajukan pendapat bahwa atensi selalu aktif pada waktu-waktu tertentu, yaitu ketika menerima masukan dari dugaan indera, kemudian ketika harus memilih dan menginterpretasikan data sensorik dan menentukan apakah akan memberikan respons terhadap rangsangan tersebut.
2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perspesi
a. Perhatian yang Selektif
Individu menerima banyak sekali stimulus dari lingkungannya. Tetapi individu tidak harus menanggapi semua stimulus yang diterimanya. Untuk itu individu memusatkan perhatiannya pada stimulus tertentu saja.
b. Ciri-ciri Stimulus
Stimulus yang bergerak akan lebih menarik perhatian dari stimulus yang diam. Demikian juga stimulus yang paling besar di antara stimulus yang kecil; yang kontras dengan latar belakangnya dan intensitas rangsangnya yang paling kuat.
c. Nilai dan Kebutuhan Individu
Setiap orang mempunyai pola dan cita rasa yang berbeda dalam mengamati sesuatu. Dalam suatu penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dari golongan ekonomi rendah melihat uang koin lebih besar daripada anak-anak dari golongan ekonomi tinggi.
d. Pengalaman Masa Lalu
Pengalaman masa lalu sangat memengaruhi seseorang dalam mempersepsi dunianya. Komputer sudah menjadi barang yang biasa bagi kita tetapi belum tentu bagi orang yang berada di pulau yang sangat terpencil atau orang yang berada di pedalaman.
2.1.4 Perspesi dalam Perspektif Hadits
Allah swt menganugerahkan alat indera kepada makhluk-Nya untuk mengetahui segala sesuatu di luar dirinya. Melalui alat indera manusia dan hewan bisa menjaga dirinya dan mempertahankan kehidupannya. Beberapa bentuk emosi bisa memengaruhi persepsi. Misalkan seorang anak yang takut berada di kamar yang gelap akan mempersepsi kamar tersebut banyak sesuatu yang menakutkan. Kecintaan kita pada seseorang pun menjadikan diri kita lupa untuk mengetahui kekurangan yang ada pada orang yang kita cintai. Begitu juga dengan kebencian pada seseorang menyebabkan kita hanya memerhatikan kejelekannya saja tanpa melihat kebaikannya. Rasulullah saw mengisyaratkan bahwa semua dorongan dan emosi yang terdapat dalam diri kita dapat menghalangi persepsi dan pikiran secara benar.
Sabda Rasulullah saw:
Hubbu dunyaa rasu kulli khathiiatin wa hubbuka syaia yu‟mii wa yushmii (Cinta kepada dunia merupakan pangkal setiap kesalahan dan cintamu kepada sesuatu akan menjadikan dirimu buta dan tuli) Diriwayatkan oleh Anas ra. Hadits ini mengisyaratkan bahwa kecintaan kepada dunia dapat memperlambat cara berpikir yang benar dan menghalangi persepsi kita secara tepat. Mencintai sesuatu secara berlebihan dapat menyebabkan buta dan tuli karena panca indera dan cara berpikir cenderung akan keliru.
Persepsi Eksternal Terkadang sebagian orang mampu melihat sesuatu yang berada di luar pengaruh rasa yang terlepas dari segala sesuatu yang ditangkap oleh pancainderanya secara langsung. Seperti mengetahui sesuatu yang keberadaannya sangat jauh. Fenomena ini sering disebut extrasensory perception, yakni persepsi yang muncul di luar pancaindera (indera keenam). Fenomena ini menjadi perdebatan di antara ahli kejiwaan modern. Sebagian dari mereka ada yang meragukan dan memungkirinya. Sebagian lagi ada yang berkeyakinan bahwa persepsi eksternal ini benar-benar terjadi. Ahli kejiwaan yang membenarkan persepsi eksternal berusaha untuk membuktikannya melalui penelitian eksperimen. Namun hasil yang mereka peroleh tetap tidak memuaskan. Dalam Al-Quran dan hadits terdapat petunjuk tentang persepsi eksternal ini. Dalam Q.S. Yusuf ayat 94 menyatakan bahwa Nabi Ya‟qub as dapat mencium bau anaknya dari jarak jauh. Ini terjadi ketika kendaraan yang membawa pakaian Nabi Yusuf as dari Mesir yang tengah menuju ke sebuah negeri dimana Nabi Ya‟qub as tinggal. Wa lammaa fashalatil „iiru qaala abuu hum innii laajidu riiha yuusufa lawlaa an tufannidnuun (Tatkala kafilah itu telah keluar (dari Mesir) ayah mereka berkata, “Sesungguhnya aku mencium bau Yusuf, sekiranya kamu tidak menuduhku lemah akal (tentu kamu membenarkan aku)”. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas ra, terdapat peristiwa persepsi eksternal. Rasulullah saw bisa melihat para sahabtnya dari belakang punggungnya. Ayyuhan naasu innii imaamikum falaa tusbiquunii bi rrukuu‟I wa laa bi ssujuudi wa laa bil qiyaami wa laa bil inshiraafi fainnii araakum amaamii wa min khalfii…al hadits “Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah imam kalian semua. Janganlah kalian mendahuluiku ketika ruku, sujud, berdiri dan pergi. Karena sesungguhnya aku melihat kalian semua, baik kalian berada di depan mataku atau kalian berada di belakangku.” Penglihatan seseorang terhadap sesuatu yang berada di belakang dirinya merupakan jenis persepsi eksternal karena mata sesungguhnya tidak dapat menangkap pengaruh apa pun yang wujudnya berada di belakang dirinya. Rasulullah saw juga pernah mendengar suara orang yang disiksa dalam kubur. Diriwayatkan Ibnu Abbas, ia berkata bahwa Nabi saw pernah melewati dua kuburan, kemudian beliau berkata, “Sesungguhnya kedua orang yang berada di dalam kubur itu pasti sedang disiksa, mereka tidak disiksa karena perbuatan dosa besar.” Kemudian para sahabat menjawab, “Benar, salah satu dari mereka suka menyebar fitnah, sedangkan yang satunyatidak pernah membersihkan dirinya setelah buang air kecil.”
Rasulullah saw diberi kemampuan yang luar biasa dalam penglihatan dan pendengarannya. Beliau bisa melihat sesuatu dari belakang punggungnya dan mendengar orang yang sedang disiksa dalam kuburnya. Hadits-hadits tadi menunjukkan fenomena persepsi eksternal. Beliau juga diberi kemampuan melihat hal metafisik.
Diriwayatkan oleh Aqabah bin Amir ra, bahwa Rasulullah saw keluar pada suatu hari kemudian mendirikan shalat jenazah. Beliau lalu bergegas ke mimbar dan berkata, “Sesungguhnya aku pernah bersikap berlebihan terhadap kalian semua, padahal aku adalah saksi atas kalian semua. Demi Allah swt, sesungguhnya aku melihat danau dan sesungguhnya aku telah diberi kunci pembuka isi bumi atau alat pembuka pintu bumi. Demi Allah swt sesungguhnya aku tidak takut kalian semua berbuat syirik. Sebab yang aku takutkan adalah bahwa kalian nanti suka berlombalomba mengejar kunci isi bumi.” Hadits ini menunjukkan Rasulullah saw pernah melihat perkara metafisika. Beliau melihat danau yang di hari kiamat nanti danau tersebut menunggu kedatangan umatnya. Beliau juga melihat sesuatu yang akan terjadi pada umatnya di masa yang akan datang yang menaklukkan Kerajaan Parsi dan Romawi. Oleh karena itu beliau menyatakan dirinya takut jika kaum muslimin berlomba mengejar dan menimbun harta benda. Berlomba mengejar harta benda akan membinasakan mereka semua seperti umat terdahulu.
Diriwayatkan oleh Abu Dzarr ra, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya aku melihat sesuatu yang tidak dapat kalian lihat dan mendengar sesuatu yang tidak dapat kalian dengar, langit bergemuruh dan bersuara, saat itu hanya ada tempat yang dapat digunakan malaikat untuk meletakkan keningnya bersujud kepada Allah swt karena tempat itu selebar empat jari.” Karena kesucian hati Rasulullah saw, Allah menganugerahi beliau dengan kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan hewan seperti takut, sedih dan yang lainnya.
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ja’far ra, Rasulullah saw pernah memasuki kebun milik seseorang dari kaum Anshar. Tiba-tiba ada seekor unta yang terlihat sedih dan merintih. Kemudian Rasulullah saw mendatanginya dan mengusap kelopak matanya. Unta itu akhirnya terdiam. Lalu Rasulullah saw bertanya, “Siapa pemilik unta ini?” Seorang pemuda datang dan menjawab, “Unta itu milikku wahai Rasulullah saw”. Kemudian Rasulullah saw berkata, “Apakah kamu tidak takut kepada Allah swt yang telah memberikan hewan ini kepadamu? Unta itu mengadu kepadaku bahwa kamu menelantarkan dan menyiksanya.” Jadi Rasulullah saw bisa merasakan apa yang dirasakan hewan. Mulai dari rasa sakitnya sampai kondisi kejiwaannya.
2.1.5 Persepsi Dalam Islam
Persepsi adalah fungsi psikis yang penting yang menjadi jendela pemahaman bagi peristiwa dan realitas kehidupan yang dihadapi manusia. Manusia sebagai makhluk yang diberikan amanah kekhalifahan diberikan berbagai macam keistimewaan yang salah satunya adalah proses dan fungsi persepsi yang lebih rumit dan lebih kompleks dibanidngkan dengan makhluk Allah yang lainnya. Dalam bahasa Al-Qur‟an, beberapa proses dan fungsi persepsi dimulai dari proses penciptaan. Dalam QS. Al-Mukminun ayat 12-24, disebutkan proses penciptaan manusia dilengkapi dengan penciptaan fungsi-fungsi pendengaran dan penglihatan. Dalam ayat ini tidak disebutkan telingan dan mata, tetapi sebuah fungsi. Kedua fingsu ini merupakan fungsi vital bagi manusia dan disebutkan selalu dalam keadaan bersamaan.
Proses persepsi didahului dengan proses penerimaan stimulus pada reseptor, yaitu indera. Fungsi indera manusia sendiri tidak langsung berfungsi setelah ia lahir, akan tetapi ia akan berfungsi sejalan dengan perkembangan fisiknya. Sehingga ia dapat merasa atas apa yang terjadi padanya dari pengaruh-pengaruh eksternal yang baru dan mengandung perasaan-perasaan yang akhirnya membentuk persepsi dan pengetahuannya terhadap alam luar (Najati, 2005).
Alat indera yang dimiliki oleh manusia berjumlah lima macam yang bisa disebut dengan panca indera. Panca indera merupakan suatu alat yang berperan penting dalam melakukan persepsi, karena dengan panca indera inilah incividu dapat memahami informasi menjadi sesuatu yang bermakna.
Proses persepsi dilalui dengan proses penerimaan stimulus pada reseptor yaitu indera, yang tidak langsung berfungsi setelah dia lahir, tetapi akan berfungsi sejalan dengan perkembangan fisiknya (Najati, 2005). Di dalam Al-Qur‟an terdapat terdapat beberapa ayat yang maknanya berkaitan dengan panca indera yang dimiliki manusia, antara lain dalam QS. An-Nahl ayat 78 dan As-Sajdah ayat 9, yaitu :

Ayat tersebut memberikan gambaran bahwa manusia dilahirkan dengan tidak mengetahui sesuatu apapun, maka Allah melengkapi manusia dengan alat indera untuk manusia sehingga manusia dapat merasa atas apa yang terjadi padanya dari pengaruh-pengaruh luar yang baru dan mengandung perasaan-perasaan yang berbeda sifatnya antara sau dengan yang lainnya. Dengan alat indera tersebut, manusia akan mengenali lingkungannya dan hidup di dalam lingkungan tersebut.
Kemudian, ada beberapa ayat di bawah ini mewakili tentang panca indera yang berperan dalam proses persepsi, antara lain:
a. Penglihatan
Artinya: “Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, Maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, Maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu Hampir-hampir menghilangkan penglihatan.” (QS. An-Nuur. 43)
b. Pendengaran

[1311] Maksudnya ialah mereka yang mendengarkan ajaran-ajaran Al Quran dan ajaran-ajaran yang lain, tetapi yang diikutinya ialah ajaran-ajaran Al Quran karena ia adalah yang paling baik.
c. Penciuman

d. Perasaan
Perasaan merupakan gejala psikis dengan tiga sifat khans, yaitu:
1.      Dihayati secara subyektif
2.      Pada umumnya berkaitan dengan gejala pengenalan
3.      Dialami oleh individu dengan rasa suka atau tidak suka (Kartono, 1996).
Persepsi dalam pandangan Islam adalah suatu proses kognitif yang dialami individu dalam memahami informasi baik melalui panca indera, seperti mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, hidung untuk penciuman, hati untuk merasakan, dan pemahaman dengan indera mata maupun pemahaman dengan hati dan akal.
2.2 Pengukuran Persepsi Manusia Menggunakan Pendekatan Islam dan Psikologi
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna yang ditugaskan sebagai khalifah di muka bumi ini yang mana akan dimintai pertanggung jawabannya kelak di akhirat. Agar tugas sebagai khalifah di bumi dapat terealisasi dengan baik maka Allah menciptakan manusia yang tersusun atas beberapa komponen. Menurut Mujib (2006) dalam buku Kepribadian dalam Psikologi Islam, menyebutkan bahwa stuktur tubuh manusia terdiri atas tiga komponen, yaitu:
a. Struktur Jasmani
Jasad adalah substansi manusia yang terdiri atas struktur organ fisik. Setiap makhluk hidup memiliki unsur material yang sama, yakni terbuat dari tanah, api, udara dan air. Keempat unsur tersebut merupakan unsur abiotik (mati). Ia akan hidup jika diberi energi kehidupan yang bersifat fisik. (Hartati, 2004).
b. Stuktur Rohani
Struktur rohani merupakan aspek psikologi dari kepribadian manusia. Aspek ini tercipta dari alam amar Allah yang sifatnya gaib. Ia diciptakan untuk menjadi substansi sekaligus esensi kepribadian manusia. Eksistensinya tidak hanya di alam imateri tapi juga di alam materi (setelah bergabung dengan fisik) sehingga ia lebih dulu dan lebih abadi adanya dari struktur jasmani.
Penciptaan dan pengaturan struktur rohani telah ditetapkan di alam perjanjian (mitsāq) sebelum kejadian material ada. Tujuan penciptaannya adalah untuk merealisasikan perjanjian dengan-Nya. Allah-lah yang menjadi tujuan hakiki kehidupan manusia. (Mujib, 2006).
Fitrah roh multidimensi yang tidak dibatasi ruang dan waktu. Roh dapat ke luar masuk tubuh manusia. Kematian tubuh bukan berarti kematian roh. Roh masuk ke tubuh manusia ketika tubuh tersebut siap menerimanya. (Hartati, 2004).
c. Struktur Nafsani
Struktur nafsanai merupakan struktur psikofisik dari kepribadian manusia. Struktur ini diciptakan untuk mengaktualisasikan semua rencana dan perjanjian Allah kepada manusia di alam arwah. Aktualisasi itu berwujud tingkah laku atau kepribadian. Struktur nafsani merupakan perpaduan antara struktur jasmani dan stuktur rohani. Kehidupan dunia terwujud apabila ada interaksi aktif antara aspek fisik dan aspek psikis dari stuktur nafsani.
Mengingat struktur nafsani tersusun dari struktur jasmani dan rohani yang mana memiliki natur yang berlawanan yaitu baik dan buruk maka pada struktur nafsani terdapat tarik-menarik antara natur yang buruk dan yang baik. Apabila kecenderungan struktur nafsani mengikuti natur jasmani maka kepribadiannya menjadi buruk tapi bila sebaliknya maka kepribadiannya menjadi baik. (Mujib, 2006).
Berdasarkan tiga struktur tubuh manusia yang telah dijelaskan oleh Mujib (2006), ketiga hal tersebut dapat dijadikan acuan untuk melengkapi teori mengenai persepsi manusia. Nata (2011) mengutip pendapat Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani yang mengatakan bahwa ilmu atau pengetahuan adalah segala sesuatu yang dicapai atau didapatkan lewat panca indera, akal manusia, atau diperoleh melalui intuisi dan ilham. Seperti dijelaskan oleh tokoh-tokoh dari barat mengenai persepsi, terdapat sebuah hal yang kurang yaitu struktur rohani. Hal tersebut tentunya menjadi sebuah kekeliruan dimana seluruh panca indera yang kita miliki sesungguhnya merupakaan penciptaan yang dilakukan Allah SWT, sehingga perlu kesadaran dari setiap manusia dimana persepsi dan indera tidak hanya semata-mata urusan jasmani, melainkan rohani juga. Oleh karena itu dibawah ini akan dipaparkan pengukuran persepsi manusia dikaitkan dengan struktur rohani, sebagai berikut:
Tabel 2.1 Alat Ukur Persepsi Manusia Dengan Struktur Rohani
No.
Aspek
Item
1
Pengelihatan
·         Lihatlah apa yang baik-baik bagi diri kita, karena apa yang kita lihat akan diminta pertanggung jawabannya kelak


·         Pengelihatan yang ada dalam diri kita adalah titipan yang diberikan oleh Allah SWT.
2
Pendengaran
·         Mendengar tidak hanya semata-mata urusan jasmani, tetapi rohani pun ikut di dalamnya.


·         Sesungguhnya Allah SWT maha mendengar dan mengetahui apapun yang dilakukan hambanya
3
Penciuman
·         Wewangian yang harum baunya telah tertulis sejak zaman jauh sebelum kita lahir.


·         Penciuman adalah indera yang melengkapi manusia dan mengingatkan kita agar senantiasa bersyukur kepada-Nya.
4
Perasaan
·         Apa yang dirasakan seseorang terjadi karena pengalaman yang telah dilalui baik fisik ataupun rohani.


·         Mengenali apa yang ada di dunia dan tidak lupa juga untuk mengenal lebih dekat dengan penciptanya


BAB III
PENUTUP

Pada bab tiga penulis akan memaparkan lebih lanjut hasil dari pembahasan yang telah dilakukan. Bab ini terdiri dari dua bagian yaitu kesimpulan, dan saran.
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian literatur dan diskusi maka kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Persepsi dalam pandangan Islam adalah suatu proses kognitif yang dialami individu dalam memahami informasi baik melalui panca indera, seperti mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, hidung untuk penciuman, hati untuk merasakan, dan pemahaman dengan indera mata maupun pemahaman dengan hati dan akal.
2.      Berdasarkan tiga struktur tubuh manusia yang telah dijelaskan oleh Mujib (2006) ketiga hal tersebut dapat dijadikan acuan untuk melengkapi teori mengenai persepsi manusia. Seperti dijelaskan oleh tokoh-tokoh dari barat mengenai persepsi, terdapat sebuah hal yang kurang yaitu struktur rohani. Hal tersebut tentunya menjadi sebuah kekeliruan dimana seluruh panca indera yang kita miliki sesungguhnya merupakaan penciptaan yang dilakukan Allah SWT, sehingga perlu kesadaran dari setiap manusia dimana persepsi dan indera tidak hanya semata-mata urusan jasmani, melainkan rohani juga.
3.      Pembuatan alat ukur dapat dilakukan dengan menggabungkan aspek-aspek persepsi manusia dengan strukur tubuh manusia menggunakan pendekatan islam dan psikologi yang diambil dari teori Mujib (2006).
3.2 Saran
Pada makalah ini masih banyak tema yang terkait secara teoritis dengan persepsi yang belum ikut dikaitkan pada penjelasan di makalah ini, seperti misalnya kaitan antara persepsi pola asuh orang tua dengan perspektif islam, dimana tentunya hal tersebut akan memperkaya pemahaman pembaca mengenai pengaplikasian teori persepsi umum dengan persepktif islam. Penulis berharap bahwa pada penulisan makalah yang mendatang, aspek tersebut bisa ikut dibahas.


DAFTAR PUSTAKA

 Atkinson, R. L., Atkinson, R. C., Hilgard, E. R. (1983). Introduction to psychology. San Diego: Harcourt Brace Jovanovich

Bastaman, H. D. (2005). Integrasi Psikologi dengan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hartati, N. (2004). Islam dan psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Kartono, K. (1996). Psikologi umum. Bandung: Mandar Maju

Morgan, M. J. (1981). Vernier acuity and stereopsis with discontinuously moving stimuli. Acta Psychologica, 48, 57-67
 Mujib, A. (2006). Kepribadian dalam psikologi islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Mujib, A. (2005). Pengembangan Psikologi Islam Melalui Pendekatan Studi Islam. Jurnal Psikologi Islami, I, (i), 16-30.

Najati, M. U. (2005). Psikologi dalam al-qur’an, terapi qur’ani dalam penyembuhan gangguan kejiwaan. Bandung: Pustaka Setia

Nata, A. (2011). Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Rakhmat, J. (2007). Persepsi dalam proses belajar mengajar. Jakarta: Rajawali Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar