PERSEPSI
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Dahulu
sekali, psikologi pernah berinteraksi dengan agama. Psikologi, sebenarnya,
lahir dari kalangan umat beragama. Pada setiap bangsa, selalu ada sekelompok
orang yang punya keahlian untuk menyembuhkan hal-hal yang berkaitan dengan
penyakit-penyakit kejiwaan. Dalam budaya bangsa Mesir, misalnya, para pemuka
agama sekaligus bertindak sebagai dokter rohani (physicians of soul). Dan pada abad pertengahan, memang psikologi
berada dalam rangkaian ilmu-ilmu agama.
Dalam
sejarahnya, psikologi berasal dan merupakan bagian dari agama. Dengan kata
lain, pada masa yang awal sekali, psikologi dan agama itu belum terpisah. Pada
abad ke-16 terdapat bidang keilmuan yang bernama pneumatologi (ilmu tentang roh). Pneumatologi atau ilmu tentang roh tersebut terbagi dalam 3 bagian;
ilmu tentang Tuhan (Roh) yang dikenal dengan sebutan teologia, ilmu tentang
roh-roh perantara (seperti malaikat dan setan) yang disebut angelologi atau demonologi, dan ilmu tentang roh manusia yang disebut psikologi.
Jadi,
pada awalnya, ilmu psikologi adalah ilmu yang berkaitan dengan pembicaraan
tentang roh manusia. Dalam perkembangannya, psikologi tidak mempelajari roh
lagi. Seiring dengan perubahan zaman memasuki dunia modern era Renaissance:
sebuah era tatkala manusia berupaya membebaskan diri dari belenggu tahayul,
tradisi dan dogma agama. Sehingga menyebabkan penyelidikan psikologi dilandasi
oleh upaya untuk menemukan kondisi bagi terciptanya kebahagiaan manusia. Roh
tinggal hanya pada namanya saja, yakni para arti kata psikologi (pada kata psyche, yang berarti atman, atau spirit). Namun dalam kenyataannya, psikologi itu tidak pernah lagi
berbicara tentang roh manusia. Psikologi (akademik) mengadaptasi pendekatan
ilmu-ilmu alam (metode laboratorium) dalam menguji, mengukur dan memverifikasi.
Implikasinya adalah ia membatasi segenap aspek manusia yang hanya dapat diuji
di laboratorium serta mengklaim bahwa kesadaran, nurani, pengetahuan tentang
baik dan buruk adalah konsep metafisis yang berada di luar kajian psikologi.
Selanjutnya, psikologi menjadi suatu ilmu pengetahuan yang kehilangan obyek
kajiannya, yakni roh (soul) kecuali
bagi para psikoanalisa seperti Erich Fromm. Dalam perkembangan berikutnya, roh
manusia dibicarakan di dalam agama.
Dalam
sejarah perkembangan sains, suatu saat terjadi perseteruan antara psikologi dan
agama. Psikologi menganggap agama sebagai gangguan kejiwaan. Bahkan Freud
mengatakan bahwa misi kita adalah menyelamatkan umat manusia dari gangguan
kejiwaan yang bernama agama. Menurut Freud, agama adalah ilusi. Pada saat yang
sama, pada akhirnya, agama juga memberikan reaksi yang keras terhadap
psikologi. Psikologi, menurut para agamawan, merupakan kearifan yang diciptakan
manusia yang sangat bertentangan dengan kearifan yang berasal dari Tuhan. Di
kalangan kaum Muslim sendiri, masih ada anggapan yang mempertanyakan buat apa
mempelajari psikologi. Cukuplah Al-Qur’an sebagai pedoman hidup kita. Para
agamawan juga menganggap bahwa psikologi sebagai pesaing besar di dalam
membimbing umat manusia. Agama sumbernya adalah wahyu, sementara psikologi
sumbernya adalah penelitian-penelitian empiris terhadap perilaku dan jiwa
manusia.
Mengapa
agama dan psikologi hingga sekarang ini bersiteru? Jawabannya adalah karena
keduanya punya pandangan dunia (world
view) yang berbeda. Cara melihat masalah berbeda dan cara memecahkan
masalah juga berbeda. Psikologi didasarkan pada falsafah hidup yang kita sebut
“naturalisme”. Naturalisme adalah sebuah isme yang berpandangan bahwa “natura”
(alam) sebagai keseluruhan realitas. Artinya, apapun yang terjadi dalam
kehidupan kita bisa dijelaskan melalui penjelasan yang terdapat di dunia
alamiah ini. Lawan dari naturalisme adalah supernaturalisme yang menganut
pandangan dualistik terhadap alam dengan adanya kekuatan atau wujud di luar
alam.
Kita bisa
memberikan penjelasan untuk berbagai kejadian dengan penjelasan naturalistik.
Misalnya, sebuah contoh kasus, suatu ketika seorang guru kebatinan bercerita
bahwa ia memperoleh ilmu laduni. Setelah menjalani puasa, dengan tidak makan
lebih dari sepuluh hari (hanya minum saja), kemudian ia mendengar suara-suara
dan melihat serpihan-serpihan cahaya dihadapannya. Jika kita bertanya pada
psikologi, maka psikologi tidak akan memberikan penjelasan dengan mengatakan
bahwa serpihan cahaya itu adalah cahaya Ilahi yang datang dari langit dan
suara-suara itu datang dari makhluk-makhluk ghaib. Ini bukan penjelasan
naturalistik, melainkan penjelasan yang berada di luar alam ini.
Psikologi
berusaha memberikan penjelasan pada gejala tersebut dari apa yang ada dalam
alam ini. Psikologi akan menjawab bahwa ketika ia melihat cahaya-cahaya itu
sebenarnya adalah sebuah ilusi lantaran kelaparan. Karena ia sudah cukup lama
dilaparkan, dan mungkin juga kekurangan oksigen yang masuk ke dalam otaknya,
lalu mengalami pengalaman yang seperti itu. Hal ini bisa dibuktikan. Tatkala
orang tersebut melihat cahaya berkunang-kunang sebenarnya sedang mengalami
penurunan glukosa (lantaran kurang makan). Dan terjadilah pengalaman yang
disebutnya sebagai “spiritual”. Pada saat itu lah juga ia mengklaim telah
ditunjuk Tuhan sebagai rasul untuk menyelamatkan umat manusia.
Berkaitan dengan pengembangan teori
psikologi Islami ini, ada satu hal yang sebenarnya menjadi sejenis
kesepemahaman antar pengkaji psikologi Islami, yaitu meletakkan kitab suci atau
wahyu (al-Qur’an dan al-Hadits) sebagai sumber pengembangan ilmu. Perbedaan
utama antara sains Islam atau studi Islam dengan sains sekuler adalah posisi
kitab suci. Sains Islam jelas-jelas meletakkan wahyu (al-Qur’an dan al-hadits)
sebagai sumber untuk perumusan ilmu. Baik Abdul Mujib (2005) maupun Hanna
Djumhana Bastaman (2005) berpandangan sepaham bahwa ayat-ayat kauniyah, wahyu,
atau al-Qur’an dan al-Hadists adalah sumber penting bagi pengembangan psikologi
Islami.
Dalam tulisannya yang berjudul
“Pengembangan Psikologi Islami dengan Pendekatan Studi Islam”, Abdul Mujib (2005) berpandangan bahwa
pola-pola yang sejauh ini direkomendasikan Hanna Djumhana Bastaman (2005), di
antaranya similarisasi, paralelisasi, komplementasi dan komparasi,
ditinggalkan.
Dalam makalah ini, penulis akan
menjelaskan dua konsep yang salah satu berasal dari psikologi dan yang lainnya
mengenai perspektif islam dalam membahas teori barat, konsep yang dimaksud
adalah persepsi. Persepsi adalah fungsi
psikis yang penting yang menjadi jendela pemahaman bagi peristiwa dan realitas
kehidupan yang dihadapi manusia. Manusia sebagai makhluk yang diberikan amanah
kekhalifahan diberikan berbagai macam keistimewaan yang salah satunya adalah
proses dan fungsi persepsi yang lebih rumit dan lebih kompleks dibanidngkan
dengan makhluk Allah yang lainnya. Dalam bahasa Al-Qur’an, beberapa proses dan
fungsi persepsi dimulai dari proses penciptaan. Dalam QS. Al-Mukminun ayat
12-24, disebutkan proses penciptaan manusia dilengkapi dengan penciptaan
fungsi-fungsi pendengaran dan penglihatan. Dalam ayat ini tidak disebutkan
telingan dan mata, tetapi sebuah fungsi. Kedua fungsi ini merupakan fungsi
vital bagi manusia dan disebutkan selalu dalam keadaan bersamaan. Sehingga
perlu dijelaskan dengan rinci kaitan antara teori persepsi dan juga
penjelasannya dari sudut pandang islam serta dilengkapi dengan contoh
pengukurannya.
Berdasarkan latar belakang yang
telah dijelaskan di atas, maka dalam kesempatan kali ini penulis menyusun
makalah yang berjudul “Persepsi Dalam Perspektif Islam” yang selanjutnya akan
dibahas mendalam bab-bab berikutnya.
ISI
2.1 Persepsi
2.1.1 Definisi Persepsi
Persepsi berasal dari bahasa
Inggris “perception” yang berarti
“penglihatan, tanggapan, daya memahami/menanggapi” lalu Jalaludin Rakhmat
mengatakan persepsi merupakan pengalaman tentang objek, peristiwa, atau
hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan
pesan (Rakhmad, 2007). Dengan kata lain
persepsi dapat dikatakan sebagai segala sesuatu yang dialami individu. Hilgard
dan Atkinson (1983) mendefinisikan persepsi sebagai proses dimana kita
mengorganisasikan dan menafsirkan pola stimulus dalam lingkungan. Persepsi
berbeda dengan sensasi karena di dalam sensasi tidak ada proses interpretasi
atau pemberian arti terhadap stimulus. Pada persepsi, pemberian arti ini
menjadi hal yang paling utama. Pemberian arti juga dikaitkan dengan pengalaman
individu. Seseorang menafsirkan stimulus berdasarkan minat, harapan dan
keterkaitannya dengan pengalaman yang dimilikinya. Jadi persepsi bisa dikatakan
sebagai suatu proses untuk menginterpretasikan stimulus berdasarkan pengalaman
individu.
2.1.2
Hakikat Persepsi
a. Persepsi Merupakan Kemampuan
Kognitif
Persepsi banyak melibatkan kegiatan
kognitif. Pada awal pembentukan persepsi, seseorang telah menentukan apa yang
akan diperhatikan. Semakin besar perhatian seseorang maka orang tersebut akan
memperoleh makna dari sesuatu yang dia perhatikan yang kemudian dihubungkan
dengan pengalaman.
b. Peran Atensi dalam Persepsi
Atensi adalah pemusatan pada
aspek-aspek tertentu dari pengalaman yang sedang terjadi dan tidak menghiraukan
yang lain (Morgan, 1981). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh para
psikolog, diajukan pendapat bahwa atensi selalu aktif pada waktu-waktu
tertentu, yaitu ketika menerima masukan dari dugaan indera, kemudian ketika
harus memilih dan menginterpretasikan data sensorik dan menentukan apakah akan
memberikan respons terhadap rangsangan tersebut.
2.1.3
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perspesi
a. Perhatian yang Selektif
Individu menerima banyak sekali
stimulus dari lingkungannya. Tetapi individu tidak harus menanggapi semua
stimulus yang diterimanya. Untuk itu individu memusatkan perhatiannya pada
stimulus tertentu saja.
b. Ciri-ciri Stimulus
Stimulus yang bergerak akan lebih
menarik perhatian dari stimulus yang diam. Demikian juga stimulus yang paling
besar di antara stimulus yang kecil; yang kontras dengan latar belakangnya dan
intensitas rangsangnya yang paling kuat.
c. Nilai dan Kebutuhan Individu
Setiap orang mempunyai pola dan
cita rasa yang berbeda dalam mengamati sesuatu. Dalam suatu penelitian menunjukkan
bahwa anak-anak dari golongan ekonomi rendah melihat uang koin lebih besar
daripada anak-anak dari golongan ekonomi tinggi.
d. Pengalaman Masa Lalu
Pengalaman masa lalu sangat
memengaruhi seseorang dalam mempersepsi dunianya. Komputer sudah menjadi barang
yang biasa bagi kita tetapi belum tentu bagi orang yang berada di pulau yang
sangat terpencil atau orang yang berada di pedalaman.
2.1.4
Perspesi dalam Perspektif Hadits
Allah swt menganugerahkan alat
indera kepada makhluk-Nya untuk mengetahui segala sesuatu di luar dirinya.
Melalui alat indera manusia dan hewan bisa menjaga dirinya dan mempertahankan
kehidupannya. Beberapa bentuk emosi bisa memengaruhi persepsi. Misalkan seorang
anak yang takut berada di kamar yang gelap akan mempersepsi kamar tersebut
banyak sesuatu yang menakutkan. Kecintaan kita pada seseorang pun menjadikan
diri kita lupa untuk mengetahui kekurangan yang ada pada orang yang kita
cintai. Begitu juga dengan kebencian pada seseorang menyebabkan kita hanya
memerhatikan kejelekannya saja tanpa melihat kebaikannya. Rasulullah saw
mengisyaratkan bahwa semua dorongan dan emosi yang terdapat dalam diri kita
dapat menghalangi persepsi dan pikiran secara benar.
Sabda Rasulullah saw:
Hubbu dunyaa rasu kulli
khathiiatin wa hubbuka syaia yu‟mii wa yushmii (Cinta kepada dunia merupakan
pangkal setiap kesalahan dan cintamu kepada sesuatu akan menjadikan dirimu buta
dan tuli) Diriwayatkan oleh Anas ra. Hadits ini
mengisyaratkan bahwa kecintaan kepada dunia dapat memperlambat cara berpikir
yang benar dan menghalangi persepsi kita secara tepat. Mencintai sesuatu
secara berlebihan dapat menyebabkan buta dan tuli karena panca indera dan cara
berpikir cenderung akan keliru.
Persepsi Eksternal Terkadang
sebagian orang mampu melihat sesuatu yang berada di luar pengaruh rasa yang
terlepas dari segala sesuatu yang ditangkap oleh pancainderanya secara
langsung. Seperti mengetahui sesuatu yang keberadaannya sangat jauh. Fenomena ini
sering disebut extrasensory perception, yakni persepsi yang muncul di
luar pancaindera (indera keenam). Fenomena ini menjadi perdebatan di antara
ahli kejiwaan modern. Sebagian dari mereka ada yang meragukan dan
memungkirinya. Sebagian lagi ada yang berkeyakinan bahwa persepsi eksternal ini
benar-benar terjadi. Ahli kejiwaan yang membenarkan persepsi eksternal berusaha
untuk membuktikannya melalui penelitian eksperimen. Namun hasil yang mereka
peroleh tetap tidak memuaskan. Dalam Al-Quran dan hadits terdapat petunjuk
tentang persepsi eksternal ini. Dalam Q.S. Yusuf ayat 94 menyatakan bahwa Nabi
Ya‟qub as dapat mencium bau anaknya dari jarak jauh. Ini terjadi ketika
kendaraan yang membawa pakaian Nabi Yusuf as dari Mesir yang tengah menuju ke
sebuah negeri dimana Nabi Ya‟qub as tinggal. Wa lammaa fashalatil „iiru
qaala abuu hum innii laajidu riiha yuusufa lawlaa an tufannidnuun (Tatkala
kafilah itu telah keluar (dari Mesir) ayah mereka berkata, “Sesungguhnya aku
mencium bau Yusuf, sekiranya kamu tidak menuduhku lemah akal (tentu kamu
membenarkan aku)”. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas ra, terdapat
peristiwa persepsi eksternal. Rasulullah saw bisa melihat para sahabtnya dari
belakang punggungnya. Ayyuhan naasu innii imaamikum falaa tusbiquunii bi
rrukuu‟I wa laa bi ssujuudi wa laa bil qiyaami wa laa bil inshiraafi fainnii
araakum amaamii wa min khalfii…al hadits “Wahai manusia, sesungguhnya aku
adalah imam kalian semua. Janganlah kalian mendahuluiku ketika ruku, sujud,
berdiri dan pergi. Karena sesungguhnya aku melihat kalian semua, baik kalian
berada di depan mataku atau kalian berada di belakangku.” Penglihatan
seseorang terhadap sesuatu yang berada di belakang dirinya merupakan jenis
persepsi eksternal karena mata sesungguhnya tidak dapat menangkap pengaruh apa
pun yang wujudnya berada di belakang dirinya. Rasulullah saw juga pernah
mendengar suara orang yang disiksa dalam kubur. Diriwayatkan Ibnu Abbas, ia
berkata bahwa Nabi saw pernah melewati dua kuburan, kemudian beliau berkata,
“Sesungguhnya kedua orang yang berada di dalam kubur itu pasti sedang disiksa,
mereka tidak disiksa karena perbuatan dosa besar.” Kemudian para sahabat
menjawab, “Benar, salah satu dari mereka suka menyebar fitnah, sedangkan yang
satunyatidak pernah membersihkan dirinya setelah buang air kecil.”
Rasulullah saw diberi kemampuan
yang luar biasa dalam penglihatan dan pendengarannya. Beliau bisa melihat
sesuatu dari belakang punggungnya dan mendengar orang yang sedang disiksa dalam
kuburnya. Hadits-hadits tadi menunjukkan fenomena persepsi eksternal. Beliau
juga diberi kemampuan melihat hal metafisik.
Diriwayatkan oleh Aqabah bin Amir
ra, bahwa Rasulullah saw keluar pada suatu hari kemudian mendirikan shalat
jenazah. Beliau lalu bergegas ke mimbar dan berkata, “Sesungguhnya aku pernah
bersikap berlebihan terhadap kalian semua, padahal aku adalah saksi atas kalian
semua. Demi Allah swt, sesungguhnya aku melihat danau dan sesungguhnya aku
telah diberi kunci pembuka isi bumi atau alat pembuka pintu bumi. Demi Allah
swt sesungguhnya aku tidak takut kalian semua berbuat syirik. Sebab yang aku
takutkan adalah bahwa kalian nanti suka berlombalomba mengejar kunci isi bumi.”
Hadits ini menunjukkan Rasulullah saw pernah melihat perkara metafisika. Beliau
melihat danau yang di hari kiamat nanti danau tersebut menunggu kedatangan
umatnya. Beliau juga melihat sesuatu yang akan terjadi pada umatnya di masa
yang akan datang yang menaklukkan Kerajaan Parsi dan Romawi. Oleh karena itu
beliau menyatakan dirinya takut jika kaum muslimin berlomba mengejar dan
menimbun harta benda. Berlomba mengejar harta benda akan membinasakan mereka
semua seperti umat terdahulu.
Diriwayatkan oleh Abu Dzarr ra,
Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya aku melihat sesuatu yang tidak dapat
kalian lihat dan mendengar sesuatu yang tidak dapat kalian dengar, langit
bergemuruh dan bersuara, saat itu hanya ada tempat yang dapat digunakan
malaikat untuk meletakkan keningnya bersujud kepada Allah swt karena tempat itu
selebar empat jari.” Karena kesucian hati Rasulullah saw, Allah
menganugerahi beliau dengan kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan hewan
seperti takut, sedih dan yang lainnya.
Diriwayatkan oleh Abdullah bin
Ja’far ra, Rasulullah saw pernah memasuki kebun milik seseorang dari kaum
Anshar. Tiba-tiba ada seekor unta yang terlihat sedih dan merintih. Kemudian
Rasulullah saw mendatanginya dan mengusap kelopak matanya. Unta itu akhirnya
terdiam. Lalu Rasulullah saw bertanya, “Siapa pemilik unta ini?” Seorang pemuda
datang dan menjawab, “Unta itu milikku wahai Rasulullah saw”. Kemudian
Rasulullah saw berkata, “Apakah kamu tidak takut kepada Allah swt yang telah
memberikan hewan ini kepadamu? Unta itu mengadu kepadaku bahwa kamu
menelantarkan dan menyiksanya.” Jadi Rasulullah saw bisa merasakan apa yang
dirasakan hewan. Mulai dari rasa sakitnya sampai kondisi kejiwaannya.
2.1.5
Persepsi Dalam Islam
Persepsi adalah fungsi psikis yang
penting yang menjadi jendela pemahaman bagi peristiwa dan realitas kehidupan
yang dihadapi manusia. Manusia sebagai makhluk yang diberikan amanah
kekhalifahan diberikan berbagai macam keistimewaan yang salah satunya adalah
proses dan fungsi persepsi yang lebih rumit dan lebih kompleks dibanidngkan
dengan makhluk Allah yang lainnya. Dalam bahasa Al-Qur‟an, beberapa proses dan
fungsi persepsi dimulai dari proses penciptaan. Dalam QS. Al-Mukminun ayat
12-24, disebutkan proses penciptaan manusia dilengkapi dengan penciptaan
fungsi-fungsi pendengaran dan penglihatan. Dalam ayat ini tidak disebutkan
telingan dan mata, tetapi sebuah fungsi. Kedua fingsu ini merupakan fungsi
vital bagi manusia dan disebutkan selalu dalam keadaan bersamaan.
Proses persepsi didahului dengan
proses penerimaan stimulus pada reseptor, yaitu indera. Fungsi indera manusia
sendiri tidak langsung berfungsi setelah ia lahir, akan tetapi ia akan
berfungsi sejalan dengan perkembangan fisiknya. Sehingga ia dapat merasa atas
apa yang terjadi padanya dari pengaruh-pengaruh eksternal yang baru dan
mengandung perasaan-perasaan yang akhirnya membentuk persepsi dan
pengetahuannya terhadap alam luar (Najati, 2005).
Alat indera yang dimiliki oleh
manusia berjumlah lima macam yang bisa disebut dengan panca indera. Panca
indera merupakan suatu alat yang berperan penting dalam melakukan persepsi,
karena dengan panca indera inilah incividu dapat memahami informasi menjadi
sesuatu yang bermakna.
Proses persepsi dilalui dengan
proses penerimaan stimulus pada reseptor yaitu indera, yang tidak langsung
berfungsi setelah dia lahir, tetapi akan berfungsi sejalan dengan perkembangan
fisiknya (Najati, 2005). Di dalam Al-Qur‟an terdapat terdapat beberapa ayat
yang maknanya berkaitan dengan panca indera yang dimiliki manusia, antara lain
dalam QS. An-Nahl ayat 78 dan As-Sajdah ayat 9, yaitu :
Ayat tersebut memberikan gambaran
bahwa manusia dilahirkan dengan tidak mengetahui sesuatu apapun, maka Allah
melengkapi manusia dengan alat indera untuk manusia sehingga manusia dapat
merasa atas apa yang terjadi padanya dari pengaruh-pengaruh luar yang baru dan
mengandung perasaan-perasaan yang berbeda sifatnya antara sau dengan yang
lainnya. Dengan alat indera tersebut, manusia akan mengenali lingkungannya dan
hidup di dalam lingkungan tersebut.
Kemudian, ada beberapa ayat di
bawah ini mewakili tentang panca indera yang berperan dalam proses persepsi,
antara lain:
a. Penglihatan
Artinya: “Tidaklah kamu
melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara
(bagian-bagian)nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, Maka kelihatanlah
olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan
(butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti)
gunung-gunung, Maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang
dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan
kilat awan itu Hampir-hampir menghilangkan penglihatan.” (QS. An-Nuur. 43)
b. Pendengaran
[1311] Maksudnya ialah mereka yang
mendengarkan ajaran-ajaran Al Quran dan ajaran-ajaran yang lain, tetapi yang
diikutinya ialah ajaran-ajaran Al Quran karena ia adalah yang paling baik.
c. Penciuman
d. Perasaan
Perasaan merupakan gejala psikis
dengan tiga sifat khans, yaitu:
1.
Dihayati
secara subyektif
2.
Pada
umumnya berkaitan dengan gejala pengenalan
3.
Dialami
oleh individu dengan rasa suka atau tidak suka (Kartono, 1996).
Persepsi dalam pandangan Islam
adalah suatu proses kognitif yang dialami individu dalam memahami informasi
baik melalui panca indera, seperti mata untuk melihat, telinga untuk mendengar,
hidung untuk penciuman, hati untuk merasakan, dan pemahaman dengan indera mata
maupun pemahaman dengan hati dan akal.
2.2
Pengukuran Persepsi Manusia Menggunakan Pendekatan Islam dan Psikologi
Allah menciptakan manusia sebagai
makhluk yang paling sempurna yang ditugaskan sebagai khalifah di muka bumi ini
yang mana akan dimintai pertanggung jawabannya kelak di akhirat. Agar tugas
sebagai khalifah di bumi dapat terealisasi dengan baik maka Allah menciptakan
manusia yang tersusun atas beberapa komponen. Menurut Mujib (2006) dalam buku Kepribadian
dalam Psikologi Islam, menyebutkan bahwa stuktur tubuh manusia terdiri atas
tiga komponen, yaitu:
a. Struktur Jasmani
Jasad adalah substansi manusia yang
terdiri atas struktur organ fisik. Setiap makhluk hidup memiliki unsur material
yang sama, yakni terbuat dari tanah, api, udara dan air. Keempat unsur tersebut
merupakan unsur abiotik (mati). Ia akan hidup jika diberi energi kehidupan yang
bersifat fisik. (Hartati, 2004).
b.
Stuktur Rohani
Struktur rohani merupakan aspek
psikologi dari kepribadian manusia. Aspek ini tercipta dari alam amar Allah
yang sifatnya gaib. Ia diciptakan untuk menjadi substansi sekaligus esensi
kepribadian manusia. Eksistensinya tidak hanya di alam imateri tapi juga di
alam materi (setelah bergabung dengan fisik) sehingga ia lebih dulu dan lebih
abadi adanya dari struktur jasmani.
Penciptaan dan pengaturan struktur
rohani telah ditetapkan di alam perjanjian (mitsāq)
sebelum kejadian material ada. Tujuan penciptaannya adalah untuk merealisasikan
perjanjian dengan-Nya. Allah-lah yang menjadi tujuan hakiki kehidupan manusia.
(Mujib, 2006).
Fitrah roh multidimensi yang tidak
dibatasi ruang dan waktu. Roh dapat ke luar masuk tubuh manusia. Kematian tubuh
bukan berarti kematian roh. Roh masuk ke tubuh manusia ketika tubuh tersebut
siap menerimanya. (Hartati, 2004).
c.
Struktur Nafsani
Struktur nafsanai merupakan
struktur psikofisik dari kepribadian manusia. Struktur ini diciptakan untuk
mengaktualisasikan semua rencana dan perjanjian Allah kepada manusia di alam
arwah. Aktualisasi itu berwujud tingkah laku atau kepribadian. Struktur nafsani
merupakan perpaduan antara struktur jasmani dan stuktur rohani. Kehidupan dunia
terwujud apabila ada interaksi aktif antara aspek fisik dan aspek psikis dari
stuktur nafsani.
Mengingat struktur nafsani tersusun
dari struktur jasmani dan rohani yang mana memiliki natur yang berlawanan yaitu
baik dan buruk maka pada struktur nafsani terdapat tarik-menarik antara natur
yang buruk dan yang baik. Apabila kecenderungan struktur nafsani mengikuti
natur jasmani maka kepribadiannya menjadi buruk tapi bila sebaliknya maka
kepribadiannya menjadi baik. (Mujib, 2006).
Berdasarkan tiga struktur tubuh
manusia yang telah dijelaskan oleh Mujib (2006), ketiga hal tersebut dapat
dijadikan acuan untuk melengkapi teori mengenai persepsi manusia. Nata (2011)
mengutip pendapat Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani yang mengatakan bahwa ilmu
atau pengetahuan adalah segala sesuatu yang dicapai atau didapatkan lewat panca
indera, akal manusia, atau diperoleh melalui intuisi dan ilham. Seperti
dijelaskan oleh tokoh-tokoh dari barat mengenai persepsi, terdapat sebuah hal
yang kurang yaitu struktur rohani. Hal tersebut tentunya menjadi sebuah
kekeliruan dimana seluruh panca indera yang kita miliki sesungguhnya merupakaan
penciptaan yang dilakukan Allah SWT, sehingga perlu kesadaran dari setiap
manusia dimana persepsi dan indera tidak hanya semata-mata urusan jasmani,
melainkan rohani juga. Oleh karena itu dibawah ini akan dipaparkan pengukuran
persepsi manusia dikaitkan dengan struktur rohani, sebagai berikut:
Tabel
2.1 Alat Ukur Persepsi Manusia Dengan Struktur Rohani
No.
|
Aspek
|
Item
|
1
|
Pengelihatan
|
·
Lihatlah apa yang baik-baik bagi diri kita, karena apa yang kita lihat
akan diminta pertanggung jawabannya kelak
|
|
|
·
Pengelihatan yang ada dalam diri kita adalah titipan yang diberikan oleh Allah
SWT.
|
2
|
Pendengaran
|
·
Mendengar tidak hanya semata-mata urusan jasmani, tetapi rohani pun ikut
di dalamnya.
|
|
|
·
Sesungguhnya Allah SWT maha mendengar dan mengetahui apapun yang
dilakukan hambanya
|
3
|
Penciuman
|
·
Wewangian yang harum baunya telah tertulis sejak zaman jauh sebelum kita
lahir.
|
|
|
·
Penciuman adalah indera yang melengkapi manusia dan mengingatkan kita
agar senantiasa bersyukur kepada-Nya.
|
4
|
Perasaan
|
·
Apa yang dirasakan seseorang terjadi karena pengalaman yang telah dilalui
baik fisik ataupun rohani.
|
|
|
·
Mengenali apa yang ada di dunia dan tidak lupa juga untuk mengenal lebih
dekat dengan penciptanya
|
BAB III
PENUTUP
Pada
bab tiga penulis akan memaparkan lebih lanjut hasil dari pembahasan yang telah
dilakukan. Bab ini terdiri dari dua bagian yaitu kesimpulan, dan saran.
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan
hasil kajian literatur dan diskusi maka kesimpulan yang dapat diambil dari
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Persepsi
dalam pandangan Islam adalah suatu proses kognitif yang dialami individu dalam
memahami informasi baik melalui panca indera, seperti mata untuk melihat,
telinga untuk mendengar, hidung untuk penciuman, hati untuk merasakan, dan
pemahaman dengan indera mata maupun pemahaman dengan hati dan akal.
2. Berdasarkan
tiga struktur tubuh manusia yang telah dijelaskan oleh Mujib (2006) ketiga hal
tersebut dapat dijadikan acuan untuk melengkapi teori mengenai persepsi
manusia. Seperti dijelaskan oleh tokoh-tokoh dari barat mengenai persepsi,
terdapat sebuah hal yang kurang yaitu struktur rohani. Hal tersebut tentunya
menjadi sebuah kekeliruan dimana seluruh panca indera yang kita miliki
sesungguhnya merupakaan penciptaan yang dilakukan Allah SWT, sehingga perlu
kesadaran dari setiap manusia dimana persepsi dan indera tidak hanya semata-mata
urusan jasmani, melainkan rohani juga.
3. Pembuatan
alat ukur dapat dilakukan dengan menggabungkan aspek-aspek persepsi manusia
dengan strukur tubuh manusia menggunakan pendekatan islam dan psikologi yang
diambil dari teori Mujib (2006).
3.2
Saran
Pada makalah ini masih banyak tema
yang terkait secara teoritis dengan persepsi yang belum ikut dikaitkan pada
penjelasan di makalah ini, seperti misalnya kaitan antara persepsi pola asuh
orang tua dengan perspektif islam, dimana tentunya hal tersebut akan memperkaya
pemahaman pembaca mengenai pengaplikasian teori persepsi umum dengan persepktif
islam. Penulis berharap bahwa pada penulisan makalah yang mendatang, aspek
tersebut bisa ikut dibahas.
DAFTAR
PUSTAKA
Atkinson,
R. L., Atkinson, R. C., Hilgard, E. R. (1983). Introduction to psychology. San Diego: Harcourt Brace Jovanovich
Bastaman,
H. D. (2005). Integrasi Psikologi dengan
Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hartati,
N. (2004). Islam dan psikologi. Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Kartono,
K. (1996). Psikologi umum. Bandung:
Mandar Maju
Morgan,
M. J. (1981). Vernier acuity and stereopsis with discontinuously moving
stimuli. Acta Psychologica, 48, 57-67
Mujib,
A. (2006). Kepribadian dalam psikologi
islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Mujib,
A. (2005). Pengembangan Psikologi Islam Melalui Pendekatan Studi Islam. Jurnal Psikologi Islami, I, (i), 16-30.
Najati,
M. U. (2005). Psikologi dalam al-qur’an,
terapi qur’ani dalam penyembuhan gangguan kejiwaan. Bandung: Pustaka Setia
Nata,
A. (2011). Studi Islam Komprehensif.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Tidak ada komentar:
Posting Komentar