1.
PENDAHULUAN
Masalah lingkungan dipandang oleh
banyak orang sebagai akibat dari perilaku manusia yang maladaptif (Maloney
& Ward, 1973) dan salah satu masalah terbesar yang dihadapi bumi saat ini
adalah dampak dari perilaku buruk manusia pada lingkungan (Arcury &
Christianson, 1990; Stern, Dietz, & Kalof, 1993). Walaupun hal itu sudah
disebutkan dalam Al-Qur’an :
ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِى
ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ
ٱلَّذِى عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ
"Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)".
(Q.s. Ar-Ruum ayat 41)
Para ahli berpendapat bahwa masalah
lingkungan yang disebabkan oleh pembangunan yang dilakukan manusia, seperti
pemanasan global, perusakan hutan hujan dan ancaman terhadap keanekaragaman
hayati, telah mencapai skala belum pernah terjadi sebelumnya dan menjadi sebuah
hal yang rumit dalam sejarah dunia (Dunlap, Van Leire, Mertig, Catton &
Howell, 1992; UNESCO, 1997). Hal tersebut terjadi karena terdapat fakta bahwa
sumber daya alam telah digunakan secara berlebihan, bahkan dengan tingkat
penggunaan yang lebih cepat daripada waktu untuk dapat mengembalikannya bahkan
ada banyak sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (Milfont &
Duckitt, 2004).
Sejak Konferensi Lingkungan 1992
Dunia di Rio de Janerio, suksesi konferensi lingkungan internasional telah
mengakui bahwa ancaman terhadap ekosistem bumi merupakan masalah global yang
perlu dilihat dan dipecahkan oleh banyak orang dari berbagai latar belakang
budaya (UNESCO, 1997). Penelitian dan observasi yang telah dilakukan selama
beberapa decade menunjukkan bahwa gaya hidup manusia modern pada umumnya tidak
mempertimbangkan aspek berkelanjutan, sehingga perubahan yang akan dilakukan
tidak mudah dibuat (Millennium Ecosystem Assessment, 2005).
Allah menjamin, jika manusia
berilmu dan tahu akibat dari apa yang diperbuatnya, ia tidak akan melakukan
kerusakan. Namun, manusia adalah makhluk pembangkang dan zhalim. Allah menyebut
manusia. berwatak demikian sebagai Aladdul Khisham, penentang yang
paling keras. Ia selalu berpaling dari kebenaran dan merusak bumi (QS
al-Baqarah, 204-205). Tindakan merusak lingkuangan hidup merupakan salah satu
sifat fasik. Sifat fasik lainnya, melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian
itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah kepadanya.
Ilmu social dan behavioral,
khususnya psikologi dapat memiliki peranan penting dalam memperbaiki masalah
ini dengan memahami perilaku manusia (Oskamp, 2000; Schmuck & Schultz,
2002; Schmuck & Vlek, 2003). Seperti banyak disiplin ilmu lain, psikologi
berusaha untuk memahami bagaimana individu sebagai bagian dari masyarakat
eksploitatif dalam penggunaan sumber daya alam bumi (Kruse, 1995).
Dalam penelitian ini berdasar pada
fenomena yang telah dijelaskan di atas, terdapat dua hal yang menjadi perhatian
peneliti, yaitu manusia dan lingkungan.Salah satu cara untuk berkontribusi
adalah melalui studi tentangenvironmental
attitudes (EA) yaitu sikap seseorang yang mendasari perilaku manusia
terhadap lingkungannya.
Allport (1935, dalam Milfont, 2009)
menjelaskan bahwa sikap merupakan state
atau mental kesiapan yang tidak dapat langsung diamati (unobservable), tetapi harus disimpulkan dari perilaku manusia (observable). Merujuk pada teori dasar
penelitian ataupun statistika, ada hal yang dinamakan variabel yaitu sesuatu
yang bervariasi. Berdasarkan jenisnya, variabel terbagi menjadi dua yaitu
variabel latent dan manifest. Variabel latent merupakan unobserved
variable atau variabel yang tidak dapat diamati. Sejalan dengan penjelasan
di atas, sikap merupakan proses mental yang tidak dapat diamati, sehingga sikap
merupakan latent variable.
Lalu berdasarkan bagaimana variabel
tersebut bervariasi, terdapat dua jenis variabel yaitu categorical dan continuum
variable. Categorical variable
merupakan variabel yang bervariasi berdasarkan kategorinya dan didapat dengan
cara menghitung, sedangkan continuum
variable merupakan variabel yang bervariasi berdasarkan magnitude (besarannya) dan didapat
dengan cara mengukur.
Sikap seseorang merupakan continuum variable yang laten, sehingga dibutuhkan
sebuah skala untuk mengukurnya dan dalam konteks penelitian ini, maka dibutuhkan
skala pengukuran untuk mengukur environmental
attitudes seseorang, salah satunya adalah penggunaan skala sikap.
Skala
sikap digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau
sekelompok orang tentang fenomena sosial. Skala sikap yang biasanya digunakan
dalam pengumpulan data adalah dengan menggunakan questionnaire atau biasa dikenal juga dengan sebutan alat ukur.
Dalam
penelitian ini, peneliti akan menyusun skala pengukuran untuk mengukur environmental attitudes yang berbentuk questionnaire dan berisi sejumlah
pernyataan (item) yang akan direspon dalam bentuk skala Likert 4 poin dari STS-SS (Sangat Tidak Setuju-Tidak
Setuju-Setuju-Sangat Setuju).
Skala
pengukuran dalam mengukur variabel Islam ataupun berdasarkan nilai-nilai keislaman
masih dianggap tabu. Walaupun beberapa variabel sangat sulit untuk diukur, Persoalan
pertama, apakah karakter Islam yang bercirikan baik buruk dapat diukur.
Bukankah pengukuran ilmiah bersifat objektif dan bebas nilai yang tidak
melibatkan penilaian baik buruk? Dari perdebatan tersebut muncul pendapat bahwa
karakter Islam tidak perlu diukur melainkan hanya perlu dinilai (Mujib, 2012).
Berdasarkan latar belakang yang
telah dijelaskan diatas, maka penulis menganggap perlu adanya penelitian
mengenai hal tersebut agar nantinya hasil dari penelitian tersebut dapat
menjadi acuan bagi semua orang, khususnya orang tua dalam mendampingi remaja
dalam menjalani tugas-tugas perkembangannya.Maka dari itu, untuk merealisasikan
hal tersebut peneliti melakukan penelitian dengan judul “Penyusunan Skala Pengukuran
Environmental Attitudes Berbasis Qur’ani”
2.
LANDASAN TEORI
Bab ini berisi tentang teori-teori
yang digunakan pada penelitian yaitu, teori tentang environmental attitudes dan skala pengukuran
2.1
Environmental Attitudes
2.1.1
Definisi attitude
Attitude
berasal dari bahasa latin Aptus yang
artinya fit dan ready for action.Attitudetelah menjadi salah satu
konstruk psikologis utama yang dipelajari dalam psikologi sosial.
Banyak psikolog
terkemuka telah mengungkapkan bahwa psikologi sosial sebagai studi ilmiah
tentang attitudeatau setidaknya hal
ini telah terpilih sebagai konsep yang paling tak terpisahkan dari disiplin
ilmu ini (Thomas & Znaniecki, 1918; Watson, 1930;Allport, 1935, dalam
Milfont, 2009).
Ada banyak
definisi attitudedan attitude telah dikonseptualisasikan dan
diteliti dengan cara yang berbeda. Namun, tampaknya ada kesepakatan umum saat
ini bahwa sikap dapat dilihat sebagai ringkasan penilaian evaluatif seseorang
terhadap dimensi variabel (misalnya, baik-buruk, disukai-tidak disukai) dari
objek psikologis tertentu (Ajzen, 2001; Albarracín, Zanna, Johnson, &
Kumkale 2005; Crano & Prislin, 2006; Eagly & Chaiken, 1993, 2005).
Eagly dan
Chaiken (1993) mendefinisikan sikap sebagai kecenderungan psikologis yang
diekspresikan dengan mengevaluasi stimulus tertentu dengan beberapa
kecenderungan menyukai atau tidak menyukai. Definisi ini dianggap sebagai
definisi kontemporer sikap (Albarracín, Johnson, & Zanna, 2005).
2.1.2
Definisi environmental attitudes
Environmental Attitudes
didefinisikan sebagai sekumpulan keyakinan yang mempengaruhi ataupun niat pada
perilaku seseorang untuk ikut serta mengenai kegiatan atau isu-isu terkait
lingkungan (Schultz et al., 2004).
Environmental attitudes
adalah kecenderungan psikologis yang diekspresikan dengan mengevaluasi persepsi
(atau keyakinan mengenai) lingkungan alam, termasuk faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitasnya, dengan kecenderungan mendukung atau tidak mendukung
(Milfont, 2007).
Heberlein (1981)
berpendapat bahwa secara teknis bahwa seluruh objek yang berada di luar diri
manusia merupakan bagian dari lingkungan, sehingga semua sikap kecuali
keyakinan tentang diri bisa benar disebut akan environmental attitudes. Dengan demikian, EA bisa merujuk ke sikap
terhadap semua objek eksternal dari realitas seseorang.
2.1.3Aspek-aspek
environmental attitudes
De Witt, De Boer
dan Boersema (2014) mengembangkan teori environmental
attitudes yang dikemukakan oleh Schultz et.al. (2004) untuk menciptakan
aspek baru dari environmental attitudes
dan menguji teori tersebut, sehingga disimpulkan bahwa terdapat tiga aspek dari
environmental attitudes yaitu:
- Connectedness to
nature
Merupakan ekspresi ataupun ungkapan
perasaaan individu terkait dengan hubungannya ataupun merawat alam. Hal ini
juga melibatkan kesadaran seseorang untuk memiliki gaya hidup yang lebih baik
terhadap lingkungannta dan juga memiliki sikap yang ingin berkontribusi
terhadap lingkungannya (misal: 'Saya selalu berupaya untuk berkontribusi pada
pelestarian lingkungan agar lingkungan menjadi lebih baik).
Dalam islam, connectedness to
nature juga bisa disadur dari QS Al-Anbiya 107
لِلْعَالَمِينَ
رَحْمَةً إِلا أَرْسَلْنَاكَ وَمَا
Yang
artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam”
Hal
tersebut berarti Islam menganggap bahwa manusia dan lingkungannya adalah
holistik. Terbukti dari ayat tersebut yang mengatakan bahwa manusia diutus agar
menjadi rahmat bagi alam semesta, bukan hanya memanfaatkannya saja.
- Willingness to
change
Faktor ini mencerminkan kemauan
seseorang untuk berubah dalam mendukung lingkungan pada tingkat yang berbeda.
Maksudnya adalah mencoba melakukan sesuatu untuk lingkungan bersama-sama dengan
orang lain serta mendukung agar pemerintah melakukan intervensi dan sebagai
individu dengan cara perubahan perilaku dan gaya hidup seseorang.
Selain itu, faktor ini juga
menegaskan sebuah rasa kekuatan seseorang sebagai individu dan makhluk social.
Contohnya item 'Mengubah perilaku saya sendiri akan memberikan kontribusi untuk
memecahkan masalah lingkungan'.
Al-Ghazali berpendapat “Seandainya
akhlak tidak mengalami perubahan, maka wasiat, nasehat, dan pendidikan tidak
berarti apa-apa. Dan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak akan pernah
bersabda, “Hassinû akhlâqakum, perbaikilah akhlak-akhlak kalian.”
Al Ghazali melanjutkan, “Bagaimana
hal itu dipungkiri pada akhlak manusia, padahal perbaikan akhlak pada hewan
saja dapat terjadi. Sebab, al bazi (sejenis burung predator) dapat
diubah dari hewan yang liar menjadi hewan yang jinak. Anjing yang rakus juga
bisa dididik, menahan diri dan beretika. Begitu pula dengan kuda dari hewan
liar menjadi hewan yang jinak dan patuh. Semua ini merupakan contoh perubahan
akhlak (Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali, Ihya’ ‘Ulûmuddîn).
- Instrumentalism
Merupakan keyakinan seseorang dalam
menguasai bentuk-bentuk nyata dari lingkungan dan pentingnya kekuatan eksternal
seperti pasar, ilmu pengetahuan, dan teknologi untuk memecahkan isu-isu
lingkungan. Selain itu, faktor ini menjelaskan bahwa orang-orang merasa
terpanggil untuk berkontribusi secara pribadi terhadap perubahan untuk 'menjadi
bagian dari solusi’.
2.1.4
Pengukuran environmental attitudes
Dalam beberapa penelitian
terdahulu, terdapat beberapa instrumen yang di gunakan untuk mengukur environmental attitudes, yaitu:
1.
Proenvironmental Behavior Scale and Economic
Liberalism Scale.Berisi 8 item yang digunakan pada
beberapa penelitian sebelumnya. (Schultz & Zelezny, 1998; Schultz, Zelezny,
& Dalrymple, 2000).
2.
New Ecological Paradigm (NEP) Scale (Dunlap &Van Liere, 1978). Berisi 15 item yang menggambarkan
hubungan manusia dengan lingkungannya. (Stern, Dietz, &Guagnano, 1995;
Dunlap & Jones, 2003).
3.
Ecocentric and Anthropocentric Environmental Attitude
Scales. Berisi 24 item yang dikembangkan oleh
Thompson and Barton’s (1994) untuk mengukur motif seseorang dalam kaitannya
dengan lingkungan.
Sedangkan pada
penelitian ini, peneliti akan menyusun alat ukur environmental attitudes yang merupakan adaptasi dari
2.2
SpesifikasiAlatUkur
Alatukur yang dikonsturksi dalam
penelitian ini adalah alat ukur environmental
attitudes. Berdasarkan tipe tingkah laku yang diukur, alat ukur tergolong typical performance test karena mengukur
trait/kepribadian yang tidak
mengandung jawaban benar dan salah (Friedenberg, 2011). Berdasarkan respon
jawaban yang diminta, alat ukur termasuk jenis skala likert karena selain memilih jawaban sesuai-tidak sesuai,
partisipan juga diminta member kepastian derajat kesesuaian dari pilihan
jawaban (DeVellis, 2003). Derajat kesesuaian antar pilihan jawaban disusun
berdasarkan interval yang diasumsikan
sama sehingga partisipan dapat menentukan pilihan dengan menyesuaikan
karakteristik yang ada pada dirinya.
Skala dalam alat
ukur ini terdiri dari item-item yang menyediakan 4 pilihan respon mulai dari
“Sangat Sesuai” sampai “Sangat Tidak Sesuai”. Skala tersebut dipilih agar
partisipan memberikan respon yang lebih bervariasi dalam rentang tertentu dan
dapat mengevaluasi pernyataan yang ada sesuai dengan kondisi dirinya. Skala 1-4
dipilih untuk menghindari kecenderungan partisipan menjawab netral dan memilih
respon yang cenderung ke arah tertentu. Instrumen pengumpulan data ini terdiri
dari pernyataan positif (favorable) dan
pernyataan negative (unfavorable). Skor
tertinggi diberikan pada pilihan jawaban sangat setuju dan skor terendah
diberikan pada pilihan jawaban sangat tidak setuju untuk pernyataan favorable.
Selanjutnya skor
tertinggi untuk pernyataan unfavorable diberikan
pada pilihan jawaban sangat tidak setuju dan skor terendah diberikan pada
pilihan jawaban sangat setuju. Berikut cara scoring alat ukur environmental attitudes pada penelitian
ini.
Tabel
3.1
Skor
Skala Likert
Skala
|
Favorable
|
Unfavorable
|
Sangat Setuju (SS)
|
4
|
1
|
Setuju (S)
|
3
|
2
|
Tidak Setuju (TS)
|
2
|
3
|
Sangat Tidak Setuju (STS)
|
1
|
4
|
Alat ukur yang digunakan dalam
penelitian ini adalah alat ukur yang dikembangkan dan dimodifikasi dari alat
ukur milik De Witt, De Boer dan Boersema (2014). Peneliti melakukan
pengembangan berupa modifikasi alat ukur tersebut karena alat ukur tersebut merupakan
alat ukur terbaru yang digunakan untuk mengukur environmental attitudes, tetapi sampai saat ini belum ada yang
menggunakan alat ukut ini untuk penelitian di Indonesia, sehingga peneliti
merasa bahwa perlu dilakukan pengembangan untuk mengetahui apakah alat ukur ini
akan cocok apabila digunakan di Indonesia yang tentunya berbeda budaya, keadaan
lingkungan, status sosio-ekonomi, dll.
Alat ukur ini terdiri dari 22 item
yang berasal dari tiga dimensi yang didapat dari teori environmental attitudes. Berikut kisi-kisi (blueprint) 22 item alat ukur environmental
attitudes.
Tabel
3.2
Blue
Print SkalaEnvironmental AttitudesI8U
No
|
Aspek
|
Indikator
|
Fav
|
Unfav
|
Total
|
Contoh
Item
|
1
|
Menyadari
bahwa manusia sebagai khalifah di dunia bertugas menjaga alam (Ar-Ruum:41,
Al-Qhasas:77)
|
·
Mensyukuri Nikmat Allah
·
Menyadari bahwa manusia merupakan makhluk yang sempurna dan memiliki akal
budi
|
1 5
|
9 13
|
·
Saya selalu bersyukur karena dapat menikmati keindahan alam
·
Saya menyadari bahwa membuang sampah sembarangan dapat menyebabkan
bencana banjir
|
|
2 6
|
10 14
|
|||||
2
|
Menunjukkan
perilaku sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits dalam menjaga lingkungan
|
·
Mengambil manfaat bumi secara benar
|
3 7
|
11 15
|
·
Longsor terjadi karena penebangan hutan secara serampangan
|
|
·
Menyayangi makhluk ciptaan Allah
|
4 8
|
12 16
|
· Saya memberi makan hewan yang kelaparan
|
|||
Jumlah
|
8
|
8
|
16
|
3.
KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
3.1
Kesimpulan
Terdapat dua hal
yang yang mendasari penelitian ini dan tentunya menjadi perhatian utama bagi
peneliti, yaitu manusia dan lingkungan. Salah satu cara untuk berkontribusi
adalah melalui studi tentang environmental
attitudes (EA) yaitu sikap seseorang yang mendasari perilaku manusia
terhadap lingkungannya.
Allport (1935,
dalam Milfont, 2009) menjelaskan bahwa sikap merupakan state atau mental kesiapan yang tidak dapat langsung diamati (unobservable), tetapi harus disimpulkan
dari perilaku manusia (observable).
Merujuk pada teori dasar penelitian ataupun statistika, ada hal yang dinamakan
variabel yaitu sesuatu yang bervariasi. Berdasarkan jenisnya, variabel terbagi
menjadi dua yaitu variabel latent dan
manifest. Variabel latent merupakan unobserved variable atau variabel yang tidak dapat diamati. Sejalan
dengan penjelasan di atas, sikap merupakan proses mental yang tidak dapat
diamati, sehingga sikap merupakan latent
variable.
Lalu berdasarkan
bagaimana variabel tersebut bervariasi, terdapat dua jenis variabel yaitu categorical dan continuum variable. Categorical
variable merupakan variabel yang bervariasi berdasarkan kategorinya dan
didapat dengan cara menghitung, sedangkan continuum
variable merupakan variabel yang bervariasi berdasarkan magnitude (besarannya) dan didapat
dengan cara mengukur.
Sikap seseorang
merupakan continuum variable,
sehingga dibutuhkan sebuah skala untuk mengukurnya dan dalam konteks penelitian
ini, maka dibutuhkan skala pengukuran untuk mengukur environmental attitudes seseorang, salah satunya adalah penggunaan
skala sikap. Pengukuran dari sudut pandang islam menyebabkan kesulitan. Karena,
banyak dari variable yang memiliki indikator sedikit atau bahkan tidak jelas.
3.2 Diskusi
Sejumlah
peneliti lingkungan telah berusaha untuk mengembangkan kerangka teoritis yang
menjelaskan attitudes dan berkembang menjadi sikap seseorang terhadap
lingkungan dan masyarakat (Watson & Halse, 2005).
Makalah ini
membahas manfaat psikologi lingkungan, nilai Keislaman dan potensinya untuk
membantu mempromosikan kelestarian lingkungan melalui perubahan perilaku.
Peneliti memberikan perspektif yang sistematis pada penilaian, pemahaman, dan
mengubah perilaku lingkungan. Perilaku pro-lingkungan mengacu pada perilaku
yang merugikan lingkungan sesedikit mungkin, atau bahkan menguntungkan
lingkungan.
Hanya karena sikap merupakan hal
yang abstrak ataupun tidak jelas, bukan berarti sikap seseorang terhadap
lingkungannya tidak dapat dipelajari, melalui penelitian ini, kami menunjukkan
bahwa sebelum menuju tahap bagaimana seseorang berperan terhadap lingkungannya,
kita dapat mengukur terlebih dahulu untuk mengetahui gambaran sikap seseorang
terhadap lingkungannya, sehingga dapat kita jadikan acuan untuk berbagai hal ke
depannya.
3.3 Saran
Pada penelitian mendatang, alat
ukur ini dapat digunakan sebagai bagian dari penelitian yang lebih besar,
seperti misalnya menggunakan multiple
regression dan sebagainya. Untuk penelitian selanjutnya dapat diperkaya
dengan Uji Validitas dengan beragam metode agar membuktikan bahwa alat ukur ini
valid.
DAFTAR
PUSTAKA
Ajzen,
I. (2001). Nature and operation of attitudes. Annual Review of Psychology, 52, 27-58.
Albarracín,
D., Johnson, B. T., & Zanna, M. P. (2005). The handbook of attitudes.Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum.
Al-Ghazali,Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’ Ulumuddin, 58
Arcury,
T. A., & Christianson, E. H. (1990). Environmental worldview in response to
environmental problems: Kentucky 1984 and 1988 compared. Environment and Behaviour, 22, 387-407.
Crano,
W. D., & Prislin, R. (2006). Attitudes and persuasion. Annual Review of Psychology, 57, 345-374.
De
Witt, A. H., De Boer, J., Boersema, J. J. (2014). Exploring inner and outer
worlds: A quantitative study of worldviews,environmental attitudes, and sustainable
lifestyles. Journal of Environmental
Psychology, 37, 40-54
DeVellis,
R. F. (2003). Scale development: theory
and application 2nd edition. Thousand Oaks: Sage Publication
Inc.
Dunlap,
R. E., & Van Liere, K. D. (1978). The new environmentalparadigm. Journal of Environmental Education, 9,
10–19.
Eagly,
A. H., & Chaiken, S. (1993). Thepsychology of attitudes. Orlando,
FL:Harcourt Brace Jovanovich.
Friedenberg,
L. (2011). Constructing a personality
scale: a hands-on project for teaching psychological testing. Presented at
the biennial meeting of the International Conference for Teaching Psychology.
Vancouver, British Columbia.
Heberlein, T. A. (1981). Environmental attitudes.
Zeitschrift für Umweltpolitik, 4, 241-270.
Kruse,
L. (1995). Global environmentalchanges: a challenge for psychology. PsychologischeRundschau,46, 81-92.
Maloney,
M. P., & Ward, M. P. (1973). Ecology: let’s hear it from the people—an
objective scale for measurement of ecological attitudes and knowledge. American Psychologist, 28, 583–586.
Milfont,
T. L. (2009). A functional approach to the study of environmental attitudes. Medio Ambiente y Comportamiento Humano,
10(3), 235-252.
Milfont,
T. L., & Duckitt, J.. (2004). The structure of environmental attitudes: A
first and second-order confirmatory factor analysis. Journal of Environmental Psychology, 24, 289-303.
Millennium
Ecosystem Assessment. (2005). Ecosystems
and human well-being.Synthesis. Washington, D.C.: Island Press.
Schmuck,
P., & Schultz, W. P. (Eds.). (2002). Psychology
of sustainable development. Norwell, MA:Kluwer Academic Publishers.
Schmuck,
P., & Vlek, C. (2003). Psychologists can do much tosupport sustainable
development. European Psychologist,
8(2),66–76.
Schultz,
P. W., Shriver, C., Tabanico, J. J., & Khazian, A. M. (2004). Implicit
connections with nature. Journal of
Environmental Psychology, 24, 31-42.
Schultz,
P. W., & Zelezny, L. (1999). Values as predictors of environmental
attitudes:Evidence for consistency across 14 countries. Journal of Environmental Psychology,24, 31-42.
Schultz,
P. W., Zelezny, L. C., & Dalrymple, N. J. (2000). A multinational
perspective on the relation between Judeo-Christian religious beliefs and
attitudes of environmental concern. Environment
& Behavior, 32, 576–591.
Thompson,
S. C., & Barton, M. A. (1994). Ecocentric and anthropocentric attitudes
towards the environment. Journal of
Environmental Psychology, 14, 149-157.
Umar,
J. (2012). Confirmatory factor analysis: bahan ajar perkuliahan. Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah
UNESCO.
(1997). Educating for a sustainable
future: a transdisciplanary vision for concerned action. Paperpresented at
the International Conference onEnvironment and Society: Education and
PublicAwareness for Sustainability, Thessaloniki, Greece, 8-12, December.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar