Kamis, 25 Februari 2016

PENYUSUNAN SKALA PENGUKURAN ENVIRONMENTAL ATTITUDES BERBASIS QUR’ANI (TRI HARYONO)

1. PENDAHULUAN
Masalah lingkungan dipandang oleh banyak orang sebagai akibat dari perilaku manusia yang maladaptif (Maloney & Ward, 1973) dan salah satu masalah terbesar yang dihadapi bumi saat ini adalah dampak dari perilaku buruk manusia pada lingkungan (Arcury & Christianson, 1990; Stern, Dietz, & Kalof, 1993). Walaupun hal itu sudah disebutkan dalam Al-Qur’an :
ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِى ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِى عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)". (Q.s. Ar-Ruum ayat 41)
Para ahli berpendapat bahwa masalah lingkungan yang disebabkan oleh pembangunan yang dilakukan manusia, seperti pemanasan global, perusakan hutan hujan dan ancaman terhadap keanekaragaman hayati, telah mencapai skala belum pernah terjadi sebelumnya dan menjadi sebuah hal yang rumit dalam sejarah dunia (Dunlap, Van Leire, Mertig, Catton & Howell, 1992; UNESCO, 1997). Hal tersebut terjadi karena terdapat fakta bahwa sumber daya alam telah digunakan secara berlebihan, bahkan dengan tingkat penggunaan yang lebih cepat daripada waktu untuk dapat mengembalikannya bahkan ada banyak sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (Milfont & Duckitt, 2004).
Sejak Konferensi Lingkungan 1992 Dunia di Rio de Janerio, suksesi konferensi lingkungan internasional telah mengakui bahwa ancaman terhadap ekosistem bumi merupakan masalah global yang perlu dilihat dan dipecahkan oleh banyak orang dari berbagai latar belakang budaya (UNESCO, 1997). Penelitian dan observasi yang telah dilakukan selama beberapa decade menunjukkan bahwa gaya hidup manusia modern pada umumnya tidak mempertimbangkan aspek berkelanjutan, sehingga perubahan yang akan dilakukan tidak mudah dibuat (Millennium Ecosystem Assessment, 2005).
Allah menjamin, jika manusia berilmu dan tahu akibat dari apa yang diperbuatnya, ia tidak akan melakukan kerusakan. Namun, manusia adalah makhluk pembangkang dan zhalim. Allah menyebut manusia. berwatak demikian sebagai Aladdul Khisham, penentang yang paling keras. Ia selalu berpaling dari kebenaran dan merusak bumi (QS al-Baqarah, 204-205). Tindakan merusak lingkuangan hidup merupakan salah satu sifat fasik. Sifat fasik lainnya, melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah kepadanya.
Ilmu social dan behavioral, khususnya psikologi dapat memiliki peranan penting dalam memperbaiki masalah ini dengan memahami perilaku manusia (Oskamp, ​​2000; Schmuck & Schultz, 2002; Schmuck & Vlek, 2003). Seperti banyak disiplin ilmu lain, psikologi berusaha untuk memahami bagaimana individu sebagai bagian dari masyarakat eksploitatif dalam penggunaan sumber daya alam bumi (Kruse, 1995).
Dalam penelitian ini berdasar pada fenomena yang telah dijelaskan di atas, terdapat dua hal yang menjadi perhatian peneliti, yaitu manusia dan lingkungan.Salah satu cara untuk berkontribusi adalah melalui studi tentangenvironmental attitudes (EA) yaitu sikap seseorang yang mendasari perilaku manusia terhadap lingkungannya.
Allport (1935, dalam Milfont, 2009) menjelaskan bahwa sikap merupakan state atau mental kesiapan yang tidak dapat langsung diamati (unobservable), tetapi harus disimpulkan dari perilaku manusia (observable). Merujuk pada teori dasar penelitian ataupun statistika, ada hal yang dinamakan variabel yaitu sesuatu yang bervariasi. Berdasarkan jenisnya, variabel terbagi menjadi dua yaitu variabel latent dan manifest. Variabel latent merupakan unobserved variable atau variabel yang tidak dapat diamati. Sejalan dengan penjelasan di atas, sikap merupakan proses mental yang tidak dapat diamati, sehingga sikap merupakan latent variable.
Lalu berdasarkan bagaimana variabel tersebut bervariasi, terdapat dua jenis variabel yaitu categorical dan continuum variable. Categorical variable merupakan variabel yang bervariasi berdasarkan kategorinya dan didapat dengan cara menghitung, sedangkan continuum variable merupakan variabel yang bervariasi berdasarkan magnitude (besarannya) dan didapat dengan cara mengukur.
Sikap seseorang merupakan continuum variable yang laten, sehingga dibutuhkan sebuah skala untuk mengukurnya dan dalam konteks penelitian ini, maka dibutuhkan skala pengukuran untuk mengukur environmental attitudes seseorang, salah satunya adalah penggunaan skala sikap.
Skala sikap digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Skala sikap yang biasanya digunakan dalam pengumpulan data adalah dengan menggunakan questionnaire atau biasa dikenal juga dengan sebutan alat ukur.
Dalam penelitian ini, peneliti akan menyusun skala pengukuran untuk mengukur environmental attitudes yang berbentuk questionnaire dan berisi sejumlah pernyataan (item) yang akan direspon dalam bentuk skala Likert 4 poin dari STS-SS (Sangat Tidak Setuju-Tidak Setuju-Setuju-Sangat Setuju).
Skala pengukuran dalam mengukur variabel Islam ataupun berdasarkan nilai-nilai keislaman masih dianggap tabu. Walaupun beberapa variabel sangat sulit untuk diukur, Persoalan pertama, apakah karakter Islam yang bercirikan baik buruk dapat diukur. Bukankah pengukuran ilmiah bersifat objektif dan bebas nilai yang tidak melibatkan penilaian baik buruk? Dari perdebatan tersebut muncul pendapat bahwa karakter Islam tidak perlu diukur melainkan hanya perlu dinilai (Mujib, 2012).
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka penulis menganggap perlu adanya penelitian mengenai hal tersebut agar nantinya hasil dari penelitian tersebut dapat menjadi acuan bagi semua orang, khususnya orang tua dalam mendampingi remaja dalam menjalani tugas-tugas perkembangannya.Maka dari itu, untuk merealisasikan hal tersebut peneliti melakukan penelitian dengan judul Penyusunan Skala Pengukuran Environmental Attitudes Berbasis Qur’ani

2. LANDASAN TEORI
Bab ini berisi tentang teori-teori yang digunakan pada penelitian yaitu, teori tentang environmental attitudes dan skala pengukuran
2.1 Environmental Attitudes
2.1.1 Definisi attitude
Attitude berasal dari bahasa latin Aptus yang artinya fit dan ready for action.Attitudetelah menjadi salah satu konstruk psikologis utama yang dipelajari dalam psikologi sosial.
Banyak psikolog terkemuka telah mengungkapkan bahwa psikologi sosial sebagai studi ilmiah tentang attitudeatau setidaknya hal ini telah terpilih sebagai konsep yang paling tak terpisahkan dari disiplin ilmu ini (Thomas & Znaniecki, 1918; Watson, 1930;Allport, 1935, dalam Milfont, 2009).
Ada banyak definisi attitudedan attitude telah dikonseptualisasikan dan diteliti dengan cara yang berbeda. Namun, tampaknya ada kesepakatan umum saat ini bahwa sikap dapat dilihat sebagai ringkasan penilaian evaluatif seseorang terhadap dimensi variabel (misalnya, baik-buruk, disukai-tidak disukai) dari objek psikologis tertentu (Ajzen, 2001; Albarracín, Zanna, Johnson, & Kumkale 2005; Crano & Prislin, 2006; Eagly & Chaiken, 1993, 2005).
Eagly dan Chaiken (1993) mendefinisikan sikap sebagai kecenderungan psikologis yang diekspresikan dengan mengevaluasi stimulus tertentu dengan beberapa kecenderungan menyukai atau tidak menyukai. Definisi ini dianggap sebagai definisi kontemporer sikap (Albarracín, Johnson, & Zanna, 2005).
2.1.2 Definisi environmental attitudes
Environmental Attitudes didefinisikan sebagai sekumpulan keyakinan yang mempengaruhi ataupun niat pada perilaku seseorang untuk ikut serta mengenai kegiatan atau isu-isu terkait lingkungan (Schultz et al., 2004).
Environmental attitudes adalah kecenderungan psikologis yang diekspresikan dengan mengevaluasi persepsi (atau keyakinan mengenai) lingkungan alam, termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi kualitasnya, dengan kecenderungan mendukung atau tidak mendukung (Milfont, 2007).
Heberlein (1981) berpendapat bahwa secara teknis bahwa seluruh objek yang berada di luar diri manusia merupakan bagian dari lingkungan, sehingga semua sikap kecuali keyakinan tentang diri bisa benar disebut akan environmental attitudes. Dengan demikian, EA bisa merujuk ke sikap terhadap semua objek eksternal dari realitas seseorang.

2.1.3Aspek-aspek environmental attitudes
De Witt, De Boer dan Boersema (2014) mengembangkan teori environmental attitudes yang dikemukakan oleh Schultz et.al. (2004) untuk menciptakan aspek baru dari environmental attitudes dan menguji teori tersebut, sehingga disimpulkan bahwa terdapat tiga aspek dari environmental attitudes yaitu:
  1. Connectedness to nature
Merupakan ekspresi ataupun ungkapan perasaaan individu terkait dengan hubungannya ataupun merawat alam. Hal ini juga melibatkan kesadaran seseorang untuk memiliki gaya hidup yang lebih baik terhadap lingkungannta dan juga memiliki sikap yang ingin berkontribusi terhadap lingkungannya (misal: 'Saya selalu berupaya untuk berkontribusi pada pelestarian lingkungan agar lingkungan menjadi lebih baik).
Dalam islam, connectedness to nature juga bisa disadur dari QS Al-Anbiya 107
لِلْعَالَمِينَ رَحْمَةً إِلا أَرْسَلْنَاكَ وَمَا
Yang artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”
Hal tersebut berarti Islam menganggap bahwa manusia dan lingkungannya adalah holistik. Terbukti dari ayat tersebut yang mengatakan bahwa manusia diutus agar menjadi rahmat bagi alam semesta, bukan hanya memanfaatkannya saja.
  1. Willingness to change
Faktor ini mencerminkan kemauan seseorang untuk berubah dalam mendukung lingkungan pada tingkat yang berbeda. Maksudnya adalah mencoba melakukan sesuatu untuk lingkungan bersama-sama dengan orang lain serta mendukung agar pemerintah melakukan intervensi dan sebagai individu dengan cara perubahan perilaku dan gaya hidup seseorang.
Selain itu, faktor ini juga menegaskan sebuah rasa kekuatan seseorang sebagai individu dan makhluk social. Contohnya item 'Mengubah perilaku saya sendiri akan memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah lingkungan'.
Al-Ghazali berpendapat “Seandainya akhlak tidak mengalami perubahan, maka wasiat, nasehat, dan pendidikan tidak berarti apa-apa. Dan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak akan pernah bersabda, “Hassinû akhlâqakum, perbaikilah akhlak-akhlak kalian.”
Al Ghazali melanjutkan, “Bagaimana hal itu dipungkiri pada akhlak manusia, padahal perbaikan akhlak pada hewan saja dapat terjadi. Sebab, al bazi (sejenis burung predator) dapat diubah dari hewan yang liar menjadi hewan yang jinak. Anjing yang rakus juga bisa dididik, menahan diri dan beretika. Begitu pula dengan kuda dari hewan liar menjadi hewan yang jinak dan patuh. Semua ini merupakan contoh perubahan akhlak (Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali, Ihya’ ‘Ulûmuddîn).

  1. Instrumentalism
Merupakan keyakinan seseorang dalam menguasai bentuk-bentuk nyata dari lingkungan dan pentingnya kekuatan eksternal seperti pasar, ilmu pengetahuan, dan teknologi untuk memecahkan isu-isu lingkungan. Selain itu, faktor ini menjelaskan bahwa orang-orang merasa terpanggil untuk berkontribusi secara pribadi terhadap perubahan untuk 'menjadi bagian dari solusi’.

2.1.4 Pengukuran environmental attitudes
Dalam beberapa penelitian terdahulu, terdapat beberapa instrumen yang di gunakan untuk mengukur environmental attitudes, yaitu:
1.      Proenvironmental Behavior Scale and Economic Liberalism Scale.Berisi 8 item yang digunakan pada beberapa penelitian sebelumnya. (Schultz & Zelezny, 1998; Schultz, Zelezny, & Dalrymple, 2000).
2.      New Ecological Paradigm (NEP) Scale (Dunlap &Van Liere, 1978). Berisi 15 item yang menggambarkan hubungan manusia dengan lingkungannya. (Stern, Dietz, &Guagnano, 1995; Dunlap & Jones, 2003).
3.      Ecocentric and Anthropocentric Environmental Attitude Scales. Berisi 24 item yang dikembangkan oleh Thompson and Barton’s (1994) untuk mengukur motif seseorang dalam kaitannya dengan lingkungan.
Sedangkan pada penelitian ini, peneliti akan menyusun alat ukur environmental attitudes yang merupakan adaptasi dari
2.2 SpesifikasiAlatUkur
Alatukur yang dikonsturksi dalam penelitian ini adalah alat ukur environmental attitudes. Berdasarkan tipe tingkah laku yang diukur, alat ukur tergolong typical performance test karena mengukur trait/kepribadian yang tidak mengandung jawaban benar dan salah (Friedenberg, 2011). Berdasarkan respon jawaban yang diminta, alat ukur termasuk jenis skala likert karena selain memilih jawaban sesuai-tidak sesuai, partisipan juga diminta member kepastian derajat kesesuaian dari pilihan jawaban (DeVellis, 2003). Derajat kesesuaian antar pilihan jawaban disusun berdasarkan interval yang diasumsikan sama sehingga partisipan dapat menentukan pilihan dengan menyesuaikan karakteristik yang ada pada dirinya.
Skala dalam alat ukur ini terdiri dari item-item yang menyediakan 4 pilihan respon mulai dari “Sangat Sesuai” sampai “Sangat Tidak Sesuai”. Skala tersebut dipilih agar partisipan memberikan respon yang lebih bervariasi dalam rentang tertentu dan dapat mengevaluasi pernyataan yang ada sesuai dengan kondisi dirinya. Skala 1-4 dipilih untuk menghindari kecenderungan partisipan menjawab netral dan memilih respon yang cenderung ke arah tertentu. Instrumen pengumpulan data ini terdiri dari pernyataan positif (favorable) dan pernyataan negative (unfavorable). Skor tertinggi diberikan pada pilihan jawaban sangat setuju dan skor terendah diberikan pada pilihan jawaban sangat tidak setuju untuk pernyataan favorable.
Selanjutnya skor tertinggi untuk pernyataan unfavorable diberikan pada pilihan jawaban sangat tidak setuju dan skor terendah diberikan pada pilihan jawaban sangat setuju. Berikut cara scoring alat ukur environmental attitudes pada penelitian ini.
Tabel 3.1
Skor Skala Likert
Skala
Favorable
Unfavorable
Sangat Setuju (SS)
4
1
Setuju (S)
3
2
Tidak Setuju (TS)
2
3
Sangat Tidak Setuju (STS)
1
4

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur yang dikembangkan dan dimodifikasi dari alat ukur milik De Witt, De Boer dan Boersema (2014). Peneliti melakukan pengembangan berupa modifikasi alat ukur tersebut karena alat ukur tersebut merupakan alat ukur terbaru yang digunakan untuk mengukur environmental attitudes, tetapi sampai saat ini belum ada yang menggunakan alat ukut ini untuk penelitian di Indonesia, sehingga peneliti merasa bahwa perlu dilakukan pengembangan untuk mengetahui apakah alat ukur ini akan cocok apabila digunakan di Indonesia yang tentunya berbeda budaya, keadaan lingkungan, status sosio-ekonomi, dll.
Alat ukur ini terdiri dari 22 item yang berasal dari tiga dimensi yang didapat dari teori environmental attitudes. Berikut kisi-kisi (blueprint) 22 item alat ukur environmental attitudes.
Tabel 3.2
Blue Print SkalaEnvironmental AttitudesI8U
No
Aspek
Indikator
Fav
Unfav
Total
Contoh Item
1
Menyadari bahwa manusia sebagai khalifah di dunia bertugas menjaga alam (Ar-Ruum:41, Al-Qhasas:77)
·         Mensyukuri Nikmat Allah



·         Menyadari bahwa manusia merupakan makhluk yang sempurna dan memiliki akal budi
1  5

9    13

·  Saya selalu bersyukur karena dapat menikmati keindahan alam
·  Saya menyadari bahwa membuang sampah sembarangan dapat menyebabkan bencana banjir
2  6
10 14
2
Menunjukkan perilaku sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits dalam menjaga lingkungan
·         Mengambil manfaat bumi secara benar
3  7
11 15

· Longsor terjadi karena penebangan hutan secara serampangan

·         Menyayangi makhluk ciptaan Allah
4  8
12 16

· Saya memberi makan  hewan yang kelaparan

Jumlah
8
8
16

  
3. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Terdapat dua hal yang yang mendasari penelitian ini dan tentunya menjadi perhatian utama bagi peneliti, yaitu manusia dan lingkungan. Salah satu cara untuk berkontribusi adalah melalui studi tentang environmental attitudes (EA) yaitu sikap seseorang yang mendasari perilaku manusia terhadap lingkungannya.
Allport (1935, dalam Milfont, 2009) menjelaskan bahwa sikap merupakan state atau mental kesiapan yang tidak dapat langsung diamati (unobservable), tetapi harus disimpulkan dari perilaku manusia (observable). Merujuk pada teori dasar penelitian ataupun statistika, ada hal yang dinamakan variabel yaitu sesuatu yang bervariasi. Berdasarkan jenisnya, variabel terbagi menjadi dua yaitu variabel latent dan manifest. Variabel latent merupakan unobserved variable atau variabel yang tidak dapat diamati. Sejalan dengan penjelasan di atas, sikap merupakan proses mental yang tidak dapat diamati, sehingga sikap merupakan latent variable.
Lalu berdasarkan bagaimana variabel tersebut bervariasi, terdapat dua jenis variabel yaitu categorical dan continuum variable. Categorical variable merupakan variabel yang bervariasi berdasarkan kategorinya dan didapat dengan cara menghitung, sedangkan continuum variable merupakan variabel yang bervariasi berdasarkan magnitude (besarannya) dan didapat dengan cara mengukur.
Sikap seseorang merupakan continuum variable, sehingga dibutuhkan sebuah skala untuk mengukurnya dan dalam konteks penelitian ini, maka dibutuhkan skala pengukuran untuk mengukur environmental attitudes seseorang, salah satunya adalah penggunaan skala sikap. Pengukuran dari sudut pandang islam menyebabkan kesulitan. Karena, banyak dari variable yang memiliki indikator sedikit atau bahkan tidak jelas.
3.2 Diskusi
Sejumlah peneliti lingkungan telah berusaha untuk mengembangkan kerangka teoritis yang menjelaskan attitudes dan berkembang menjadi sikap seseorang terhadap lingkungan dan masyarakat (Watson & Halse, 2005).
Makalah ini membahas manfaat psikologi lingkungan, nilai Keislaman dan potensinya untuk membantu mempromosikan kelestarian lingkungan melalui perubahan perilaku. Peneliti memberikan perspektif yang sistematis pada penilaian, pemahaman, dan mengubah perilaku lingkungan. Perilaku pro-lingkungan mengacu pada perilaku yang merugikan lingkungan sesedikit mungkin, atau bahkan menguntungkan lingkungan.
Hanya karena sikap merupakan hal yang abstrak ataupun tidak jelas, bukan berarti sikap seseorang terhadap lingkungannya tidak dapat dipelajari, melalui penelitian ini, kami menunjukkan bahwa sebelum menuju tahap bagaimana seseorang berperan terhadap lingkungannya, kita dapat mengukur terlebih dahulu untuk mengetahui gambaran sikap seseorang terhadap lingkungannya, sehingga dapat kita jadikan acuan untuk berbagai hal ke depannya.
3.3 Saran
Pada penelitian mendatang, alat ukur ini dapat digunakan sebagai bagian dari penelitian yang lebih besar, seperti misalnya menggunakan multiple regression dan sebagainya. Untuk penelitian selanjutnya dapat diperkaya dengan Uji Validitas dengan beragam metode agar membuktikan bahwa alat ukur ini valid.
  
DAFTAR PUSTAKA

Ajzen, I. (2001). Nature and operation of attitudes. Annual Review of Psychology, 52, 27-58.

Albarracín, D., Johnson, B. T., & Zanna, M. P. (2005). The handbook of attitudes.Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum.

Al-Ghazali,Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’ Ulumuddin, 58

Arcury, T. A., & Christianson, E. H. (1990). Environmental worldview in response to environmental problems: Kentucky 1984 and 1988 compared. Environment and Behaviour, 22, 387-407.

Crano, W. D., & Prislin, R. (2006). Attitudes and persuasion. Annual Review of Psychology, 57, 345-374.

De Witt, A. H., De Boer, J., Boersema, J. J. (2014). Exploring inner and outer worlds: A quantitative study of worldviews,environmental attitudes, and sustainable lifestyles. Journal of Environmental Psychology, 37, 40-54

DeVellis, R. F. (2003). Scale development: theory and application 2nd edition. Thousand Oaks: Sage Publication Inc.

Dunlap, R. E., & Van Liere, K. D. (1978). The new environmentalparadigm. Journal of Environmental Education, 9, 10–19.

Eagly, A. H., & Chaiken, S. (1993). Thepsychology of attitudes. Orlando, FL:Harcourt Brace Jovanovich.

Friedenberg, L. (2011). Constructing a personality scale: a hands-on project for teaching psychological testing. Presented at the biennial meeting of the International Conference for Teaching Psychology. Vancouver, British Columbia.

Heberlein, T. A. (1981). Environmental attitudes. Zeitschrift für Umweltpolitik, 4, 241-270.

Kruse, L. (1995). Global environmentalchanges: a challenge for psychology. PsychologischeRundschau,46, 81-92.

Maloney, M. P., & Ward, M. P. (1973). Ecology: let’s hear it from the people—an objective scale for measurement of ecological attitudes and knowledge. American Psychologist, 28, 583–586.
Milfont, T. L. (2009). A functional approach to the study of environmental attitudes. Medio Ambiente y Comportamiento Humano, 10(3), 235-252.

Milfont, T. L., & Duckitt, J.. (2004). The structure of environmental attitudes: A first and second-order confirmatory factor analysis. Journal of Environmental Psychology, 24, 289-303.

Millennium Ecosystem Assessment. (2005). Ecosystems and human well-being.Synthesis. Washington, D.C.: Island Press.


Schmuck, P., & Schultz, W. P. (Eds.). (2002). Psychology of sustainable development. Norwell, MA:Kluwer Academic Publishers.

Schmuck, P., & Vlek, C. (2003). Psychologists can do much tosupport sustainable development. European Psychologist, 8(2),66–76.

Schultz, P. W., Shriver, C., Tabanico, J. J., & Khazian, A. M. (2004). Implicit connections with nature. Journal of Environmental Psychology, 24, 31-42.

Schultz, P. W., & Zelezny, L. (1999). Values as predictors of environmental attitudes:Evidence for consistency across 14 countries. Journal of Environmental Psychology,24, 31-42.

Schultz, P. W., Zelezny, L. C., & Dalrymple, N. J. (2000). A multinational perspective on the relation between Judeo-Christian religious beliefs and attitudes of environmental concern. Environment & Behavior, 32, 576–591.

Thompson, S. C., & Barton, M. A. (1994). Ecocentric and anthropocentric attitudes towards the environment. Journal of Environmental Psychology, 14, 149-157.
Umar, J. (2012). Confirmatory factor analysis: bahan ajar perkuliahan. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah


UNESCO. (1997). Educating for a sustainable future: a transdisciplanary vision for concerned action. Paperpresented at the International Conference onEnvironment and Society: Education and PublicAwareness for Sustainability, Thessaloniki, Greece, 8-12, December.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar