Kamis, 25 Februari 2016

ISLAM DAN ADVERSITY QUOTIENT (HANNA MARYAMA)

ISLAM DAN ADVERSITY QUOTIENT
HANNA MARYAMA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kesuksesan merupakan harapan setiap insan. Namun, terdapat tantangan dan rintangan yang mungkin dihadapi dalam rangka mencapai kesuksesan. Banyak faktor-faktor yang menjadi penentu kesuksesan. Dahulu, orang menganggap bahwa tingkat kecerdasan intelektual seseorang menjadi jaminan untuk mencapai kesuksesan. Namun, pandangan ini berubah sejak dikenalnya kecerdasan emosi seseorang. Menurut Goleman, 80% kesuksesan seseorang ditentukan oleh kecerdasan emosinya sedangkan kecerdasan intelektual hanya memiliki pengaruh 20%.
Seiring dengan bertambahnya waktu, dikenal istilah kecerdasan-kecerdasan yang lain. Salah satu diantaranya adalah Adversity Quotient (AQ). Menurut Paul G. Stoltz, faktor penentu kesuksesan tidak hanya kercerdasan intelektual dan emosional saja. Dengan AQ kita dapat mengubah hambatan menjadi peluang, karena kecerdasan ini merupakan penentu seberapa jauh kita mampu bertahan dalam menghadapi dan mengatasi kesulitan hidup.
Selain menjadi penentu kesukesan seseorang, AQ juga merupakan indikator kesehatan mental seseorang. Di antara indikator penting terciptanya kesehatan mental pada diri seseorang adalah seseorang mampu menanggung beban kehidupan, tegar menghadapi krisis, dan sabar menanggung berbagai cobaan. Dia sama sekali tidak melemah maupun putus harapan menghadapi semua problematika kehidupan dan sama sekali tidak berputus asa. Sesungguhnya orang yang mampu menghadapi berbagai cobaan dan situasi  yang sulit merupakan orang yang berkepribadian mantab dan memiliki tingkat kesehatan mental yang mapan (Najati, 2003).
Makalah ini disusun  dalam seting perkuliahan studi islam komperehensif. Oleh karena itu, makalah ini tidak hanya membahas mengenai AQ dalam pandangan Barat namun bagaimana kaitannya dengan kecerdasan berjuang (AQ) dalam konsep Islam.
Prosedur penulisan makalah ini disesuaikan dengan yang dijelaskan oleh Mujib & Mudzakir (2002), yaitu:
1)      Menentukan topik yang aktual dalam bidang psikologi yaitu Adversity Quotient (AQ)
2)      Pembahasan dimulai dari mengemukakan konsep-konsep atau teori-teori psikologi Barat  terlebih dahulu.
3)      Mengemukakan konsep-konsep atau teori-teori psikologi Islam berdasarkan komponen-komponen yang telah dibahas sebelumnya.
1.2 Rumusan Masalah
1)      Apakah pengertian dari Adversity Quotient dalam perspektif Barat?
2)      Apakah aspek-aspek dari Adversity Quotient dalam perspektif Barat?
3)      Apakah tingkatan-tingkatan Adversity Quotient dalam perspektif Barat?
4)      Bagaimana cara meningkatkan Adversity Quotient dalam perspektif Barat?
5)      Apakah pengertian dari Adversity Quotient dalam perspektif Islam?
6)      Apakah aspek-aspek dari Adversity Quotient dalam perspektif Islam?
7)      Apakah tingkatan-tingkatan Adversity Quotient dalam perspektif Islam?
8)      Bagaimana cara meningkatkan Adversity Quotient dalam perspektif Islam?
1.3 Tujuan Penulisan Makalah
1.3.1 Tujuan umum
Untuk memaparkan dan memberikan penjelasan mengenai islam dan adversity quotient.

1.3.2 Tujuan khusus
1)      Untuk menjelaskan definisi dari Adversity Quotient dalam perspektif Barat?
2)      Untuk menjelaskan aspek-aspek dari Adversity Quotient dalam perspektif Barat?
3)      Untuk menjelaskan tingkatan-tingkatan Adversity Quotient dalam perspektif Barat?
4)      Untuk menjelaskan cara meningkatkan Adversity Quotient dalam perspektif Barat?
5)      Untuk menjelaskan definisi dari Adversity Quotient dalam perspektif Islam?
6)      Untuk menjelaskan aspek-aspek dari Adversity Quotient dalam perspektif Islam?
7)      Untuk menjelaskan tingkatan-tingkatan Adversity Quotient dalam perspektif Islam?
8)      Untuk menjelaskan cara meningkatkan Adversity Quotient dalam perspektif Islam?
1.4 Manfaat Penulisan Makalah
Makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan para pembaca mengenai kaitan antara islam dengan adversity quotient. Para pembaca diharapkan dapat memahami konsep adversity quotient dalam perspektif Barat dan membandingkannya dengan konsep Islam.         




BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Adversity Quotient dalam Perspektif Barat
2.1.1 Pengertian Adversity Quotient dalam Perspektif Barat
Dalam kamus bahasa Inggris, kata “adversity” berarti kesengsaraan dan kemalangan, sedangkan “intelligence” berarti kecerdasan. Paul G. Stoltz menyebut kecerdasan ini dengan Adversity Quotient, yaitu suatu potensi di mana dengan potensi ini seseorang dapat mengubah hambatan menjadi peluang  (Adz-Dzakiey, 2005). Stolz juga menyatakan bahwa suksesnya suatu pekerjaan dan hidup kita terutama ditentukan oleh Adversity Quotient karena:
v  AQ memberitahukan seberapa jauh kemampuan bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk mengatasinya
v  AQ memprediksi siapa yang mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang akan hancur
v  AQ memprediksi siapa yang akan melampaui harapan-harapan dan potensi mereka serta siapa yang akan gagal
v  AQ memprediksi siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan bertahan
Adversity Quotient (AQ) merupakan faktor yang dapat menentukan mengapa ada orang-orang yang mampu bertahan, sementara orang lain gagal atau bahkan mengundurkan diri. AQ memiliki tiga bentuk. Pertama, AQ adalah suatu kerangka kerja konseptual untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, AQ adalah suatu ukuran untuk mengetahui respon anda terhadap kesulitan. Ketiga, AQ adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon anda terhadap kesulitan yang berakibat memperbaiki efektivitas pribadi. Konsep AQ berasal dari teori-teori dalam psikologi kognitif, neurofiosiologi, dan psikoneuroimunologi (Stoltz, 1997).
2.1.2 Aspek-Aspek Adversity Quotient dalam Perspektif Barat
Menurut Stoltz (1997), AQ terdiri dari empat aspek yang disingkat dengan CO2RE yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
1) C = Control (Kendali)
Dimensi ini berkaitan dengan kendali yang dirasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Kendali berhubungan langsung dengan pemberdayaan dan pengaruh, dan mempengaruhi semua dimensi CO2RE lainnya. Kendali diawali dengan pemahaman bahwa sesuatu dapat dilakukan. Mereka yang AQ-nya lebih tinggi merasakan kendali yang lebih besar atas peristiwa-peristiwa dalam hidup daripada yang AQ-nya lebih rendah. Sementara itu, semakin rendah AQ, semakin besar kemungkinan perasaan bahwa peristiwa-peristiwa yang buruk berada di luar kendali dan hanya sedikit tindakan yang bisa dilakukan untuk mencegah atau membatasi kerugian.
2) O2 = Origin dan Ownership (Asal Usul dan Pengakuan)
O2 merupakan kependekan dari origin (asal usul) dan ownership (pengakuan). O2 berkaitan dengan dua hal yaitu siapa atau apa yang menjadi asal usul kesulitan dan sampai sejauh manakah saya dapat mengakui akibat-akibat kesulitan itu.
Asal usul berkaitan dengan rasa bersalah. Suatu kadar bersalah yang adil dan tepat diperlukan untuk menciptakan pembelajaran yang kritis atau umpan balik yang dibutuhkan untuk melakukan perbaikan secara terus-menerus. Namun, rasa bersalah yang terlampau besar dapat melemahkan semangat, menjadi destruktif dan menciptakan kelumpuhan. Semakin rendah skor asal usul, semakin besar kecendrungan untuk menyalahkan diri sendiri. Sebaliknya, semakin tinggi skor asal usul, semakin besar kecendrungan untuk menganggap sumber kesulitan berasal dari orang lain atau dari luar diri dan menempatkan diri sendiri pada tempat yang sewajarnya.
Yang jauh lebih penting lagi adalah sejauh mana kesediaan seseorang untuk mengakui akibat dari kesulitan. Skor yang lebih tinggi pada dimensi ini mencerminkan kemampuan untuk menghindari perilaku menyalahkan diri sendiri yang tidak perlu sambil menempatkan tanggung jawab pada tempatnya yang tepat. Semakin rendah skor dalam dimensi ini, semakin besar kemungkinan seseorang menganggap kesulitan merupakan kesalahannya dan menolak pengakuan dengan menghindarkan diri dari tanggung jawab untuk menanggungnya.  
3) R = Reach (Jangkauan)
Dimensi R mempertanyakan sejauh mana kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan. Semakin rendah skor R, semakin besar kemungkinan untuk menganggap peristiwa-peristiwa buruk sebagai bencana dengan membiarkannya memasuki wilayah-wilayah lain kehidupan dan menghilangkan kebahagiaan dan ketenangan pikiran. Suatu hal yang tidak berjalan lancar misalnya bangun kesiangan menimbulkan kepanikan, kepahitan, menjaga jarak dengan orang lain, dan pengambilan keputusan yang buruk. Sebaliknya, semakin tinggi skor R, semakin besar kemungkinan untuk merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas dan semakin efektif menahan dan membatasi jangkauan masalah. Membatasi jangkauan kesulitan memungkinkan mereka berpikir jernih dan mengambil tindakan.
4) E = Endurance (Daya Tahan)
Dimensi ini mempertanyakan dua hal  yakni berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan itu akan berlangsung. Semakin rendah skor E, semakin besar kemungkinan untuk menganggap kesulitan dan/atau penyebabnya akan berlangsung lama dan menganggap peristiwa-peristiwa positif sebagai sesuatu yang bersifat sementara. Hal ini bisa memunculkan perasaan tidak berdaya atau hilangnya harapan karena mengangap kesulitan sebagai sesuatu yang permanen. Sedangkan semakin tinggi skor E, semakin besar kemungkinan untuk memandang kesuksesan sebagai sesuatu yang berlangsung lama dan menganggap kesulitan dan penyebabnya sebagai sesuatu yang bersifat sementara, cepat berlalu dan kecil kemungkinanya untuk terjadi lagi. Hal ini akan meningkatkan energi, optimisme, dan kemungkinan untuk bertindak.
2.1.3 Tingkatan Adversity Quotient dalam Perpektif Barat
Menurut Stoltz (1997) terdapat tiga kelompok yang memiliki respon berbeda terhadap pendakian yaitu:
1) Mereka yang berhenti (Quitters)
Quitters adalah orang yang memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur, dan berhenti. Mereka menolak kesempatan yang diberikan oleh gunung. Mereka mengabaikan, menutupi, atau meninggalkan dorongan inti yang manusiawi untuk mendaki dan meninggalkan banyak hal yang ditawarkan oleh kehidupan.
Meskipun demikian, quitters menjalani kehidupan yang tidak terlalu menyenangkan. Mereka meninggalkan impian-impiannya dan memilih jalan yang mereka anggap lebih datar dan mudah. Mereka tidak dapat menggunakan waktu dengan efektif. Ironisnya, seiring dengan berjalannya waktu, quitters mengalami penderitaan yang jauh lebih pedih daripada yang mereka elakkan dengan memilih tidak mendaki. Dan saat yang paling memilukan adalah sewaktu mereka menoleh ke belakang dan melihat bahwa kehidupan yang dijalani ternyata tidak menyenangkan. Akibatnya, quitters sering menjadi sinis, murung, mati perasaannya, menjadi pemarah, frustasi, menyalahkan semua orang di sekitarnya, dan membenci orang-orang yang terus mendaki.
Quitters mempunyai kemampuan yang kecil atau bahkan tidak mempunyai sama sekali. Itulah yang menyebabkan mereka terhenti. Namun, dengan bantuan, dorongan inti mereka untuk mendaki bisa dinyalakan kembali.
2) Mereka yang berkemah (campers)
Campers pergi tidak seberapa jauh lalu berkata, “sejauh ini sajalah saya mampu mendaki (atau ingin mendaki)”. Mereka lalu mengakhiri pendakiannya dan mencari tempat  datar yang rata dan nyaman sebagai tempat bersembunyi dari situasi yang tidak bersahabat. Mereka memilih untuk menghabiskan sisa-sisa hidup mereka dengan duduk di situ.
Campers biasanya merasa tidak ada salahnya berhenti mendaki supaya bisa menikmati hasil jerih payah mereka atau menikmati pemandangan dan kenyamanan yang sudah mereka peroleh selama pendakian yang belum selesai. Sambil memasang tenda, campers memfokuskan energinya pada kegiatan mengisi tenda dengan barang-barang yang membuatnya nyaman. Campers melepaskan kesempatan untuk maju, yang sebenarnya dapat dicapai jika energi dan sumber dayanya diarahkan dengan semestinya. Campers mudah puas dengan mencukupkan diri dan tidak mau mengembangkan diri. Berdasarkan hirarki kebutuhan Maslow, campers berhasil mencukup kebutuhan dasar mereka yaitu makanan, air, rasa aman, tempat berteduh, bahkan rasa memiliki. Dengan berkemah, mereka mengorbankan bagian puncak hirarki kebutuhan Maslow yaitu aktualisasi diri dan bertahan pada apa yang telah mereka miliki. Akibatnya, campers menjadi sangat termotivasi oleh kenyamanan dan rasa takut. Mereka takut kehilangan tempat berpijak dan mencari rasa aman dari perkemahan mereka yang kecil dan nyaman. Namun, campers mulai menyadari bahwa mimpi mereka berlalu tanpa pernah terwujud dan perubahan terus menerus mengancam tempat perkemahan.

3) Para pendaki (Climbers)
Tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan atau kerugian, nasib baik atau buruk, climbers terus mendaki. Climbers adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau mental, atau hambatan lainnya menghalangi pendakiannya.
Climbers benar-benar memahami tujuan dan gairah dari semua hal yang mereka kerjakan. Mereka mengetahui bagaimana perasaan gembira yang sesungguhnya dan mengenalinya sebagai anugerah dan imbalan atas pendakian yang telah dilakukan. Karena mengetahui bahwa mencapai puncak itu tidak mudah, maka climbers tidak pernah melupakan kekuatan dari perjalanan yang pernah ditempuhnya. Climbers mengetahui bahwa imbalan datang dalam bentuk manfaat-manfaat jangka panjang dan langkah-langkah kecil sekarang ini akan membawanya pada kemajuan-kemajuan di kemudian hari. Climbers sangat gigih, ulet dan tabah. Mereka terus bekerja keras saat mendaki. Climbers menempuh kesulitan dengan keberanian dan disiplin sejati. Meskipun demikian, climbers juga manusia biasa. Kadang-kadang mereka merasa bosan dengan pendakian. Mereka mungkin mengalami keragu-raguan, kesepian, dan sakit hati. kadang-kadang mereka berkumpul di perkemahan campers untuk memulihkan kekuatan dan mengumpulkan tenaga untuk pendakian berikutnya sedangkan campers menetap di perkemahan.

2.1.4 Cara meningkatkan Adversity Quotient dalam Perspektif barat
Menurut Stoltz (1997), respons terhadap kesulitan dan tingkatan AQ seseorang dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik LEAD (Listen, Explore, Analyze dan Do) yang berasal dari riset dan pengalaman dunia nyata. Teknik ini diadaptasi dari karya beberapa peneliti berpengaruh dalam psikologi kognitif, terutama model ABC Albert Ellis yang menggunakan model perilaku rasional-emotif.
Listen: Dengarkanlah respons anda terhadap kesulitan.
·         Apakah itu respons AQ yang tinggi atau rendah?
·         Pada dimensi-dimensi manakah respons itu paling tinggi atau paling rendah?
Explore: Jajakilah asal usul dan pengakuan Anda atas akibatnya
·         Apakah kemungkinan asal usul kesulitan ini?
·         Mengingat asal usulnya, seberapa banyakkah yang merupakan kesalahan saya?
·         Secara khusus, apakah saya dapat mengerjakannya dengan lebih baik lagi?
·         Aspek-aspek apa sajakah dari akibat-akibatnya yang harus saya akui?
·         Apa yang tidak harus saya akui?
Analyze: Analisislah bukti-buktinya
·         Apa buktinya bahwa saya tidak memiliki kendali?
·         Apa buktinya bahwa kesulitan harus menjangkau wilatah-wilayah lain kehidupan saya?
·         Apakah buktinya bahwa kesulitan harus berlangsung lebih lama daripada semestinya?
Do : Lakukan sesuatu
·         Tambahan informasi apakah yang saya perlukan?
·         Apa yang bisa saya lakukan untuk mendapatkan sedikit kendali atas situasi ini?
·         Apa yang bisa saya lakukan untuk membatasi jangkauan kesulitan ini?
·         Apa yang bisa saya lakukan untuk membatasi berapa lama berlangsungnya kesulitan ini dalam keadaannya yang sekarang?
Rangkaian LEAD didasarkan pada pengertian bahwa kita dapat mengubah keberhasilan kita dengan mengubah kebiasaan-kebiasaan berpikir kita. Perubahan diciptakan dengan mempertanyakan pola-pola lama dan secara sadar membentuk pola-pola baru. Rangkaian LEAD memiliki efek kimiawi pada otak. LEAD memperkuat rasa pengendalian melalui pengakuan yang lebih besar dan komitmen untuk bertindak. Secara fisiologis, otak merespons rasa pengendalian yang meningkat ini dengan meningkatkan neurotransmitter yang secara positif akan mempengaruhi fungsi-fungsi kekebalan dan kesehatan.

2.2 Adversity Quotient dalam perspektif Islam
2.2.1 Pengertian Adversity Quotient dalam perspektif Islam
Merujuk pada konesp Barat, terdapat sebuah kecerdasan dalam menghadapi kesulitan yang disebut dengan Adversity Quotient (AQ). Bila kita melihat pada Al-Qur’an terdapat penjelasan dan dorongan agar manusia senantiasa dapat berjuang untuk mengatasi kesulitan dan senantiasa berlapang dada. Tidak hanya berjuang dengan kemampuan diri, di dalam konsep Islam juga terdapat doa dan harapan yang menjadi pendorong umat Islam agar dapat menjadi sukses dan mencapai tujuan. Firman Allah SWT.
Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu, dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu,  karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap (Q.S. Al-Insyirah: 1-8)
Dalam surat di atas terdapat dua ayat yang diulangi yakni “bersama kesulitan ada kemudahan”. Ayat ini memberi spirit agar setiap manusia mau merenungkan dengan serius bahwa kesulitan, kesengsaraan, kemalangan, dan kesakitan merupakan pintu untuk memasuki rahasia dan hakikat kemudahan, kebahagiaan, dan kedamaian. Dengan kecerdasan ini seseorang dapat dengan mudah mengetahui dan memahami hakikat dari setiap tantangan dan kesulitan. Sehingga, ia senantiasa memiliki spirit untuk selalu mencari jalan dan celah-celah agar dapat menembus esensi tantangan, kesulitan, dan penderitaan itu melalui perjuangan dan pengorbanan (Adz-Dzakiey, 2005).
Menurut Quraish Sihab dalam tafsir Al-Misbah, Allah SWT. dalam ayat 5 dan 6 ini bermaksud menjelaskan salah satu sunnah-Nya yang bersifat umum dan konsisten yaitu “setiap kesulitan pasti disertai atau disusul oleh kemudahan selama yang bersangkutan bertekad untuk menanggulanginya.” Kedua ayat ini memesankan agar manusia berusaha menemukan segi-segi positif yang dapat dimanfaatkan dari setiap kesulitan, karena bersama setiap kesulitan terdapat kemudahan.   Ayat-ayat ini seakan-akan berpesan agar setiap orang mencari peluang pada setiap tantangan dan kesulitan yang dihadapi.
Pada ayat 5 kata al-‘usr berbentuk definit (memakai alif dan lam) demikian pula kata tersebut pada ayat 6. Ini berarti bahwa kesulitan yang dimaksud pada ayat 5 sama halnya dengan kesulitan yang disebutkan pada ayat 6, berbeda dengan yusran. Kata tersebut tidak dalam bentuk definit, sehingga kemudahan yang disebut pada ayat 5 berbeda dengan kemudahan yang disebut pada ayat 6. Hal ini menjadikan kedua ayat tersebut mengandung makna “setiap satu kesulitan akan disusul/dibarengi dengan dua kemudahan.” Kemudahan berganda yang dijanjikan ini dapat diperoleh seseorang dalam kehidupan di dunia ini dan dapat pula dalam arti satu kemudahan di dunia dan satu lainnya di akhirat (Shihab, 2005).
2.2.2 Aspek-Aspek Adversity Quotient dalam perspektif Islam
Dalam konsep Islam, ada beberapa aspek yang menunjukkan bahwa seseorang telah memperoleh Adversity Quotient, antara lain (Adz-Dzakiey, 2005):
1)      Bersikap sabar, yaitu kekuatan jiwa dan hati dalam menerima perbagai persoalan hidup yang berat dan menyakitkan, dan dapat membahayakan keselamatan diri lahir batin. Sikap ini didorong oleh spirit dari firman Allah SWT.
“ dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun" (QS. Al-Baqarah: 155-156).
Indikasi adanya kesabaran adalah adanya sikap tauhidiyyah dalam diri bahwa “diri ini adalah milik Allah SWT. dan akan kembali kepada Allah SWT.” Sikap tauhidiyyah ini akan mengembangkan spirit, energi, dan kekuatan untuk menembus rintangan-rintangan dan ujian-ujian hidup ini dengan baik dan gemilang. Esensi kalimat “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” mengandung energi ketuhanan yang sangat dahsyat bagi yang benar-benar memahami hakikatnya. Sehigga seberat apapun halangan dan rintangan dapat dilewati dengan mudah dan menyelematkan. Sebab, di dalam ketabahan itu Allah SWT. hadir dalam diri dan menggerakkan seluruh aktivitas diri di dalam bimbingan, perlindungan, dan pimpinan-Nya.
Sedangkan dalam Mujib (2007), karakter shabir (yang sabar), yaitu menahan diri (al-habs) atau lebih tepatnya mengendalikan diri. Maksudnya, menahan dan mengendalikan diri dari hal-hal yang dibenci dan menahan lisan agar tidak mengeluh. Karakter shabir dapat menghindarkan seseorang dari perasaan resah, cemas, marah dan kekecauan. Karakter shabir juga menuntut sikap yang tenang untuk (1) menghindari maksiat, (2) melaksanakan perintah, dan (3) menerima cobaan. Firman Allah SWT:
 “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung” (QS. Ali Imran: 200)
Jika seseorang telah belajar bersabar dalam menanggung derita kehidupan dan bencana zaman, bersabar dalam menghadapi orang yang menyakiti dan memusuhinya, bersabar dalam beribadah dan taat kepada Allah, serta dalam melawan hawa nafsu dan dorongan-dorongannya, dan bersabar dalam bekerja dan berproduksi maka ia akan menjadi orang yang berkepribadian yang matang, seimbang, utuh, produktif, dan aktif. Demikian pula ia akan terhindar dari kegelisahan dan kegoncangan jiwa (Najati, 2001).
Rasulullah SAW. telah mengajari para sahabatnya agar menganggap setiap penyakit maupun musibah yang menimpa diri mereka sebagai cobaan dari Allah  SWT. Melalui cobaan itulah Allah akan mengangkat derajat mereka, mengampuni beberapa kesalahan, dan menuliskan beberapa kebaikan untuknya. Pengajaran Rasulullah mampu menanamkan kesabaran pada diri para sahabat dalam menghadapi kehidupan. Mereka semakin tegar menerima berbagai macam musibah dengan perasaan ridha karena mereka menganggapnya sebagai takdir Allah SWT (Najati, 2003).
Rasulullah SAW. bersabda.
“Tidak ada sebuah penyakit, rasa lelah, maupun rasa sedih yang menimpa seorang mukmin sampai (hanya sekedar) rasa gundah yang mengganggunya, kecuali hal itu akan melebur keburukan-keburukannya” (HR. Bukhari, Muslim, Turmudzi).
2)      Bersikap optimis dan pantang menyerah, yaitu hadirnya keyakinan yang kuat bahwa bagaimana pun sulitnya ujian, cobaan, dan halangan yang terdapat dalam hidup ini pasti dapat diselesaikan dengan baik dan benar selama adanya upaya bersama Allah SWT. dan lenyapnya sikap keputusasaan dalam proses meniti rahmat-rahmat-Nya yang bertaburan di dalam kehidupan ini dengan perbagai bentuk, macam, dan rupanya. Firman Allah SWT.
¼çms9 ×M»t7Ée)yèãB .`ÏiB Èû÷üt/ Ïm÷ƒytƒ ô`ÏBur ¾ÏmÏÿù=yz ¼çmtRqÝàxÿøts ô`ÏB ̍øBr& «!$# 3 žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sŒÎ)ur yŠ#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß Ÿxsù ¨ŠttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrߊ `ÏB @A#ur ÇÊÊÈ  
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri, dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Ÿwur (#qÝ¡t«÷ƒ($s? `ÏB Çy÷r§ «!$# ( ¼çm¯RÎ) Ÿw ߧt«÷ƒ($tƒ `ÏB Çy÷r§ «!$# žwÎ) ãPöqs)ø9$# tbrãÏÿ»s3ø9$#  
“Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir” (QS. Yusuf: 87)
Kedua ayat di atas memberikan spirit kepada kita agar tidak berhenti dan hilang semangat  dalam melakukan perbaikan diri dari perbagai aspek kehidupan. Keputusasaan adalah suatu penyakit ruhani yang dapat melumpuhkan potensi esensial seorang manusia, bahkan Allah SWT. memasukkan mereka ke dalam golongan orang-orang yang ingkar kepada-Nya.
Beratnya rintangan di dalam kehidupan dunia ini merupakan tangga untuk mendaki dan menuju kepada kemuliaan dan keagungan hakikat diri di hadapan Allah SWT. dan makhluk-Nya. Sikap optimis dan semangat pantang menyerah adalah doa yang hidup dan menghasilkan tenaga dan kekuatan yang hebat di dalam jiwa. Demi semangat untuk mewujudkan sikap ini, Rasulullah Saw. bersabda, bahwa Allah SWT. telah berfirman:
Siapa saja yang telah mengerjakan kebaikan maka baginya ada sepuluh lipat ganda pahalanya, bahkan mungkin lebih. Dan siapa yang mengerjakan kejahatan maka balasan kejahatan itu satu lawan satu, bahkan mungkin diampunkan. Dan siapa saja yang mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Dan siapa saja yang mendekat kepada-Ku sehasta, Aku akan mendekat kepadanya sedepa. Dan siapa saja yang datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan berlari menghampirinya. Dan siapa saja yang menjumpai Aku dengan sepenuh bejana bumi yang berisi kesalahan, tetapi ia tidak menyekutukan Aku dengan seuatu apa pun, niscaya Aku akan menemuinya dengan ampunan sebanyak itu juga. “ (HR Muslim)
3)      Berjiwa besar, yakni hadirnya kekuatan untuk tidak takut mengakui kekurangan, kesalahan, dan kekhilafan diri, lalu hadir pula kekuatan untuk belajar dan mengetahui bagaimana cara mengisi kekurangan diri dan memperbaiki kesalahan diri dari orang lain dengan lapang dada.
Indikasi adanya sikap berjiwa besar itu dapat dipahami dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Labmend (1994) bahwa perilaku manajer yang berhasil dalam pencapaian target dan pengembangan anak buahnya antara lain:
a. Sikap mereka terbuka (open minded). Mereka tidak mempunyai rasa dendam terhadap anak buahnya, bahkan mereka merasa senang bila anak buahnya dapat bekerja dan segera menguasai pekerjaan yang secara langsung akan meringankan tugasnya sebagai manajer.
b. Tidak ada penghalang komunikasi (communication barriers). Mereka mampu berkomunikasi secara lancar, terbuka, dan akrab antara dirinya dan anak buahnya. Sehingga pesan-pesan atau instruksi dapat dilaksanakan oleh anak buahnya dengan benar tanpa merasakan beban pada diri anak buahnya.
c. Memaafkan dan melupakan (to forgive and to forget). Bila ada kesalahan, betapa pun  besarnya kesalahan yang dilakukan oleh anak buahnya mereka terbuka untuk memaafkan. Yang lebih penting lagi adalah melupakannya untuk kemudian secara bersama-sama melakukan perbaikan. Menurut pada manajer tersebut, sikap memaafkan dan melupakan kesalahan merupakan bagian dari cara dirinya untuk memotivasi anak buahnya. Sehingga mereka bekerja tanpa merasa ada beban yang dapat menghalangi pelaksaaan tugasnya di lapangan.
Spirit ini dapat dipahami sebagaimana firman Allah SWT.   
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚ̍ôãr&ur Ç`tã šúüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ  
“Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh” (QS. Al-A’raf: 199).
4)      Berjihad, yaitu pengerahan seluruh potensi dalam menangkis serangan musuh. Dalam makna yang lebih luas adalah segala bentuk usaha maksimal untuk penerapan ajaran Islam dan pemberantasan kejahatan serta kezaliman, baik terhadap diri pribadi maupun dalam masyarakat.
Ibu Al-Qayyim mengemukakan bahwa jika dilihat dari pelaksanaannya, jihad dapat dibagi menjadi tiga bentuk, yakni:
Pertama, jihad mutlak, yakni perang melawan musuh di medan pertempuran.
Kedua, jihad hujjah, yaitu jihad yang dilakukan dalam berhadapan dengan pemeluk agama lain dengan mengemukakan argumentasi yang kuat, sebagimana firman Allah SWT.
Ketiga, jihad ‘umm, yaitu jihad yang mencakup aspek kehidupan, baik yang bersifat moral maupun yang bersifat material, terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain di tengah-tengah masyarakat. Jihad seperti ini dapat dilakukan dengan pengorbanan harta, jiwa, tenaga, waktu, dan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Jihad ini juga bersifat berkesinambungan, tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu, dan bisa dilakukan terhadap musuh yang nyata, setan, atau hawa nafsu. Pengertian musuh yang nyata di sini, di samping perang, juga berarti semua tantangan yang dihadapi umat Islam, seperti kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Jihad terhadap setan mengandung pengertian berusaha untuk menghilangkan hal-hal yang negatif yang membahayakan umat manusia. Sedangkan jihad terhadap hawa nafsu adalah sikap pengendalian diri agar cara bertindak dan berkomunikasi dengan orang lain tidak menyimpang dari ketentuan Islam.
Secara esensial, jihad adalah kekuatan yang muncul dari dalam diri, ruhani, dan jiwa untuk mewujudkan suatu cita-cita ketuhanan (kebaikan di bumi dan di langit, di dunia hingga akhirat) dengan perjuangan, pengorbanan tanpa mengenal lelah, dan tidak takut menghadapi penderitaan, rasa sakit, ancaman, dan kematian hingga titik darah yang terakhir (Adz-Dzakiey, 2005).
2.2.3 Tingkatan kecerdasan berjuang dalam Islam
Bila merujuk pada struktur kepribadian Islam, Adversity Quotient terbagi menjadi tiga tingkatan yang terdiri dari (Mujib, 2007):
1) Tingkatan Terendah
Tingkatan paling rendah ini, yang disebut dengan quitters dalam perspektif  Barat, dapat disesuaikan dengan kepribadian ammarah yang cenderung mengejar prinsip-prinsip kenikmatan. Ia menarik kalbu manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang rendah sesuai dengan naluri primitifnya sehingga ia merupakan tempat dan sumber kejelekan dan kepribadian tercela. Hawa nafsu membuatnya tuli dan buta dan cenderung mengajak pada kebatilan. Kepribadian ini tergolong menganiaya diri. Ciri kepribadian ini adalah tidak membekali diri untuk menuju pada tujuan hidupnya, bahkan ia menyia-nyiakan dan berbekal dengan sesuatu yang justru menganggu perjalanannya. Di tempat tujuan ia akan merugi dan menyesal.
Kepribadian ammarah dipengaruhi oleh dua macam daya yaitu daya syahwat  dan gadhab. Kesempurnaan daya ghadab, yang terkendali oleh kalbu mengarahkan individu untuk berjihad. Ibn Maskawaih dan Al-Ghazali menyatakan bahwa apabila daya ghadhab mencapai puncaknya maka ia mampu mencapai keberanian. Sifat-sifat keberanian (al-syaja’ah) diantaranya adalah: (1) sabar dalam mengendalikan hawa nafsu; (2) kebesaran jiwa untuk mencapai perbuatan luhur dan meninggalkan perbuatan yang hina; (3) tegar (al-najdah) dalam menghadapi masalah yang rumit; (4) ulet (‘uzam al-himmah) dalam melaksanakan sesuatu; (5) tenang dalam menghadapi kesulitan; (6) tabah dalam mengendalikan kegiatan-kegiatan; (7) menguasai diri dalam berbagai situasi; (8) perkasa dalam mencapai reputasi yang baik.
            Kepribadian ammarah dapat beranjak ke kepribadian yang baik apabila ia telah diberi rahmat oleh Allah SWT. Pendakian kepribadian ammarah menuju ke tingkat kepribadian yang lebih baik hanya dapat mencapai satu tingkat dari tingkatan kepribadian yang ada ke kepribadian lawwamah. Hal itu disebabkan oleh daya hawa nafsu lebih dekat dengan daya akal dan terlalu jauh jaraknya dengan daya kalbu. Pendakian ini pun diperlukan latihan (riyadhah) khusus untuk menekan daya nafsu dari hawa, seperti dengan berpuasa, shalat, berdoa, dan sebagainya.
2) Tingkatan Antara
Tingkatan antara ini dapat disejajarkan dengan kepribadian lawwamah yang berada di antara kepribadian ammarah dan kepribadian muthma’innah. Kepribadian semacam ini telah berusaha meningkatkan kualitas dirinya yang telah dibantu oleh cahaya terang (nurani) tetapi watak gelap (zhulmani)-nya ikut campur dalam pembentukan kepribadian, sehingga ia menjadi bimbang dan bingung. Apakah ia mengikuti nurani ataukah mengikuti watak zhulmani? Kebimbangan itu pada akhirnya akan bermuara pada tiga kemungkinan:
·         Ia akan tertarik dengan watak gelapnya, sehingga ia tetap dalam kualitas rendahnya, yang dalam hal ini berkoalisi dengan hawa nafsu.
·         Ia akan tertatik oleh nurani, sehingga ia bertaubat dan berusaha memperbaiki kualitasnya, yang dalam hal ini berkoalisi dengan kalbu.
·         Ia berada dalam posisi netral. Artinya, perbuatan yang diciptakan tidak bernilai buruk atau bernilai baik, tetapi berguna bagi kelestarian eksistensi manusiawinya sendiri.
Sisi positif bagi kepribadian lawwamah adalah masih bersifat pemula. Artinya, seseorang yang berkepribadian lawwamah masih mulai beranjak dari kepribadian tercela menuju kepada kepribadian yang baik. Peralihan kepribadian ini ditandai dengan adanya taubah dan jihad melawan hawa nafsu. Oleh karena masih bersifat pemula maka kepribadian lawwamah belum mampu menghantarkan manusia pada eksistensi yang sebenarnya. Eksistensi manusia yang sebenarnya akan terwujud apabila manusia telah mewujudkan kepribadian muthmainnah.
3) Tingkatan Tertinggi
Tingkatan tertinggi yang dalam perspektif Barat disebut dengan climber dapat dibandingkan dengan kepribadian muthmainnah karena merupakan tingkatan tertinggi dibandingkan dengan tingkatan sebelumnya. Walaupun demikian penulis berpendapat bahwa kepribadian muthmainnah memiliki kedudukan yang lebih tinggi karena berorientasi teosentris.
Kepribadian muthmainnah adalah kepribadian yang telah diberi kesempurnaan nur kalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dam tumbuh sifat-sifat yang baik. Kepribadian ini selalu berorientasi ke komponen kalbu untuk mendapatkan kesucian dan menghilangkan segala kotoran, sehingga dirinya menjadi tenang dan tentram.
Kepribadian muthmainnah dapat dicapai ketika jiwa di ambang pintu ma’rifah Allah disertai dengan adanya ketundukan dan kepasrahan. Begitu tenangnya kepribadian ini sehingga ia dipanggil oleh Allah. Firman Allah SWT.
   
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya (QS. Al-Fajr: 27-28)
Kepribadian muthmainnah bersumber dari kalbu manusia, sebab hanya kalbu yang mampu merasakan ketenangan. Sebagai komponen yang bernatur ilahiyah kalbu selalu cenderung pada ketenangan dalam beribadah, menyintai, bertaubah, bertawakal, dan mencari ridha Allah SWT. Jadi orientasi kepribadian ini adalah teosentris.
Bentuk-bentuk kepribadian muthmainnah diantaranya adalah keimanan, keyakinan, keikhlasan, tawawkal, taubat, taqarrub pada Allah, sabar, bijaksana, tawadhu’, tenang dan cinta kepada Allah dan rasul-Nya, memenuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, berani, menjaga diri, jujur, penuh kasih sayang. Atau dalam hadis Nabi SAW. disederhanakan dalam dimensi iman, islam dan ihsan. Semua bentuk tersebut bermotivasi pada teosentris yang berdaya positif.
2.2.4 Cara meningkatkan Adversity Quotient dalam Perspektif Islam
Cara meningkatkan Adversity Quotient ini penulis kaitkan dengan tiga cara dan tahap yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas diri dalam dunia tasawuf yang sering disebut dengan 3-T (takhalli, tahalli dan tajalli) (Mujib, 2015).
            Pertama, tahapan permulaan (al-bidayah) yang disebut dengan takhalli, yaitu mengosongkan diri dari segala sifat-sifat yang kotor yang menutup cahaya ruhani. Pada tahapan ini fitrah manusia merasa rindu kepada Khaliknya. Ia sadar bahwa keinginan untuk berjumpa itu terdapat tabir (al-hijab) yang menghalangi interaksi dan komunikasinya, sehingga ia berusaha menghilangkan tabir tersebut. Perilaku maksiat, dosa dan segala gangguan pada kepribadian merupakan tabir yang harus disingkap dengan cara menutup, menghapus dan menghilangkannya.
Penyakit spiritual ruhani seperti riya’, sombong, marah, dusta, thama’, putus asa dan sebagainya merupakan nuktah-nuktah hitam yang menghalangi perolehan kebahagiaan dan kesejahteraan. Nuktah-nuktah hitam itu dapat meredupkan cahaya keimanan dan kebenaran, sehingga jiwa manusia menjadi gelap dan kelam. Redupnya cahaya spiritual menyebabkan manusia tergelincir ke arah perilaku yang buruk dan tercela dan pada akhirnya menghancurkan kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat (HR. al-Turmudzi dari Abu Hurairah). Bahkan dalam hadis Nabi riwayat Muslim dan Ahmad dari al-Nawas ibn Sim’an al-Anshari dinyatakan: Dosa adalah kondisi emosi yang membimbangkan di jiwa  dan merasa tidak enak jika perbuatannya itu diketahui oleh orang lain. Untuk pembahasan aspek ini Al-Ghazali (1991)  menulis seperempat bagian dalam kitabnya IhyaUlumal-Din. Ditegaskan bahwa Akhlak yang buruk merupakan penyakit hati dan penyakit jiwa.”
Kedua, tahapan kesungguhan dalam menempuh kebaikan (al-mujahadah) yang disebut dengan tahalli, yakni mengisi damenghiasi diri   dengasifat-sifayanmuliaSetelah bersih dari kotoran spiritual kemudian berusaha secara sungguh-sungguh dengan carmengisi diri dengan perilaku yanmulia,  seperti ikhlas, tawadhu’, sabar, syukur, qanaah, tawakkal, ridha dan sebagainya. Tahapan kedua ini harus ditopang oleh tujuh  pendidikan daolabatin (riyadhat al-nafs), yaitu (1) Musyarathah, menetapkan syarat-syarat atau kontrak spiritual agar ia dapat melaksanakatugas dengan baik dan menjauhi larangan yanberfungsi sebagai  kontrodiri dan memotivasi diri untuk memperoleh nilai lebih dalam berprestasi; (2)Muraqabah, yaitu mawas diri dan penuh waspada dengan segenap kekuatan spiritual, agaia selalu  dekat kepada Allah. Tidak untuk memasuki tingkat kesadaran; (3) Muhasabah, yaitu introspeksi, membuat perhitungan atau melihat kembali tingkah laku yang   diperbuatapakah sesuai dengan apa yang disyaratkan sebelumnya atau tidak; (4) Mu’aqabah, yaitu menghukum diri karena dalam perniagaan rabbani selalu mengalami kerugian; (5) Mujahadah, yaitu berusaha menjadi baik dengan sungguh-sungguh, sehingga tidak ada waktu, tempat dan keadaan untuk main-main, apalagi melakukan perilaku yang buruk; (6) Mu’atabah, yaitu menyesali dan mencela diri atas perbuatan dosanya ; dan (7) Mukasyafah, yaitu membuka penghalang (hijab) atau tabir agar tersingkap ayat- ayat dan rahasia-rahasia Allah. Mukasyafah juga diartikan jalinan dua jiwa yang jatuh cinta dan penuh kasih sayang, sehingga masing-masing rahasia diketahui satu dengan yang lain.
Ketiga, tahapan merasakan (al-mudziqat) yang disebut dengan tajalli, yaitu munculnya kesadaran rabbani. Pada tahapan ini seorang hamba tidak sekadar menjalankan perintah Khalik-nya dan menjauhi larangan-Nya, namun ia merasakan kelezatan, kedekatan, kerinduan bahkan bersamaan (ma’iyyah) dengan-Nya. Tahapan ini didahului oleh al-fana`(kesadaraakan ketiadaan materi pada diri) dan al-baqa` (kesadaran akan keberadaan dunia spiritual), sehingga pinjam istilah Maslow, memperoleh pengalaman puncak (peak experience).


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Teori Adversity Quotient (AQ) berkembang di Barat sejak akhir 1990-an di mana Intelligence Quotient (IQ) dan Emotional Quotient (EQ) dipandang tidak cukup untuk mencapai kesuksesan hidup yang penuh dengan tantangan. Namun Islam melalui Al Qur’an dan hadis telah banyak  menjelaskan konsep kesuksesan dalam menghadapi tantangan. Salah satunya adalah melalui Surat Al-Insyirah.
Terdapat kesamaan pengertian antara surat Al-Insyirah ini dengan konsep AQ. Stoltz (1997) sebagai penggagas teori AQ mengatakan bahwa AQ adalah kecerdasan untuk mengubah hambatan menjadi peluang. Padahal di dalam surat al-Insyirah, khususnya ayat ke 5 dan 6, Allah telah menjelaskan bahwa “setelah kesulitan ada kemudahan”. Bahkan di dalam tafsir Al-Misbah  dijelaskan bahwa ayat-ayat ini seakan-akan berpesan agar setiap orang mencari peluang pada setiap tantangan dan kesulitan yang dihadapinya
Selanjutnya, aspek-aspek dari AQ dalam konsep Barat diturunkan dari teori-teori kognitif yaitu control, origin, ownership, reach dan endurance. Adapun aspek-aspek AQ dalam konsep Islam terdiri dari karakter-karakter yang baik (mahmudah) yang sebenarnya menurut penulis memiliki konteks yang lebih luas. Namun, indikator AQ dalam konsep Islam pada makalah ini disesuaikan dengan konsep AQ dalam konsep Barat, mengacu pada konsep Prophetic Intelligence yang dikemukakan oleh Adz-Dzakiey (2005). Indikator tersebut yaitu sabar, berjiwa besar, optimis, dan jihad.  
Berdasarkan tingkatannya, terdapat tiga kelompok yang memiliki respons berbeda terhadap kesulitan yaitu quitters, campers, dan climbers. Sedangkan tingkatan dalam islam merujuk pada struktur kepribadian islam yang terdiri dari kepribadian ammarah (tingkatan terendah), kepribadian lawwamah (tingkatan antara) dan kepribadian muthmainnah (tingkatan tertinggi). 
Jika dilihat dari cara meningkatkan AQ, pandangan Barat hanya melihat kemampuan manusia dalam mengatasi kesulitan di mana dalam mengatasi kesulitan dan merespon terhadap kesulitan sangat bergantung pada kognitif dan emosi manusia itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari teknik LEAD (Lead, Explore, Analyze, Do) yang berasal dari pendekatan rasional-emotif oleh Albert Ellis. Tetapi cara meningkatkan AQ dalam pandangan Islam meliputi pendekatan spiritual yaitu dengan konsep takhalli, tahalli, dan tajalli.
3.2 Saran
Makalah ini sebaiknya dapat dijadikan bahan introspeksi diri untuk menilai bagaimana kecerdasan kita dalam merespons kesulitan dan mengubah hambatan menjadi peluang baik dalam perpektif Barat maupun dalam perspektif Islam.

DAFTAR PUSTAKA


Adz-Dzakiey, Hamdani Bakran. (2005). Prophetic Intelligence, Kecerdasan Kenabian: Menumbuhkan Potensi Hakiki Insani Melalui Pengembangan Kesehatan Ruhani. Yogyakarta: Islamika.

Mujib.A. (2007). Kepribadian dalam Psikologi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Mujib, A. (2015). Implementasi Psiko-Spiritual dalam Pendidikan Islam. Madania, 19 (2). 195-204.

Mujib, A. & Mudzakir, J. (2002). Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Najati, M. U. (2003). Al-Hadiitsun-Nabawiy wa ‘Ilmun Nafs.  Psikologi dalam Tinjauan Hadis Nabi SAW. Wawan Djunaedi Soffandi (terj). Jakarta: Mustaqim. 

Najati, M.U. (2001). Al Qur’an wa Ilm an-Nafs. Al-Quran dan Psikologi. Tb. Ade Asnawi (terj). Jakarta: Aras Pustaka.

Stoltz, P. G. (2003). Adversity Quotient : Turning Obstacles into Opportunities. Adversity Quotient: Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. T. Hermaya (terj.). Jakarta: Grasindo. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar