ISLAM DAN ADVERSITY
QUOTIENT
HANNA MARYAMA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kesuksesan merupakan harapan setiap
insan. Namun, terdapat tantangan dan rintangan yang mungkin dihadapi dalam
rangka mencapai kesuksesan. Banyak faktor-faktor yang menjadi penentu
kesuksesan. Dahulu, orang menganggap bahwa tingkat kecerdasan intelektual
seseorang menjadi jaminan untuk mencapai kesuksesan. Namun, pandangan ini
berubah sejak dikenalnya kecerdasan emosi seseorang. Menurut Goleman, 80%
kesuksesan seseorang ditentukan oleh kecerdasan emosinya sedangkan kecerdasan
intelektual hanya memiliki pengaruh 20%.
Seiring dengan
bertambahnya waktu, dikenal istilah kecerdasan-kecerdasan yang lain. Salah satu
diantaranya adalah Adversity Quotient (AQ). Menurut Paul G. Stoltz,
faktor penentu kesuksesan tidak hanya kercerdasan intelektual dan emosional
saja. Dengan AQ kita dapat mengubah hambatan menjadi peluang, karena kecerdasan
ini merupakan penentu seberapa jauh kita mampu bertahan dalam menghadapi dan
mengatasi kesulitan hidup.
Selain menjadi
penentu kesukesan seseorang, AQ juga merupakan indikator kesehatan mental
seseorang. Di antara indikator penting terciptanya kesehatan mental pada diri
seseorang adalah seseorang mampu menanggung beban kehidupan, tegar menghadapi
krisis, dan sabar menanggung berbagai cobaan. Dia sama sekali tidak melemah
maupun putus harapan menghadapi semua problematika kehidupan dan sama sekali
tidak berputus asa. Sesungguhnya orang yang mampu menghadapi berbagai cobaan
dan situasi yang sulit merupakan orang
yang berkepribadian mantab dan memiliki tingkat kesehatan mental yang mapan
(Najati, 2003).
Makalah ini
disusun dalam seting perkuliahan studi
islam komperehensif. Oleh karena itu, makalah ini tidak hanya membahas mengenai
AQ dalam pandangan Barat namun bagaimana kaitannya dengan kecerdasan berjuang
(AQ) dalam konsep Islam.
Prosedur
penulisan makalah ini disesuaikan dengan yang dijelaskan oleh Mujib &
Mudzakir (2002), yaitu:
1)
Menentukan
topik yang aktual dalam bidang psikologi yaitu Adversity Quotient (AQ)
2)
Pembahasan
dimulai dari mengemukakan konsep-konsep atau teori-teori psikologi Barat terlebih dahulu.
3)
Mengemukakan
konsep-konsep atau teori-teori psikologi Islam berdasarkan komponen-komponen yang
telah dibahas sebelumnya.
1.2 Rumusan Masalah
1)
Apakah
pengertian dari Adversity Quotient dalam perspektif Barat?
2)
Apakah
aspek-aspek dari Adversity Quotient dalam perspektif Barat?
3)
Apakah
tingkatan-tingkatan Adversity Quotient dalam perspektif Barat?
4)
Bagaimana
cara meningkatkan Adversity Quotient dalam perspektif Barat?
5)
Apakah
pengertian dari Adversity Quotient dalam perspektif Islam?
6)
Apakah
aspek-aspek dari Adversity Quotient dalam perspektif Islam?
7)
Apakah
tingkatan-tingkatan Adversity Quotient dalam perspektif Islam?
8)
Bagaimana
cara meningkatkan Adversity Quotient dalam perspektif Islam?
1.3 Tujuan Penulisan
Makalah
1.3.1 Tujuan umum
Untuk memaparkan dan memberikan
penjelasan mengenai islam dan adversity quotient.
1.3.2 Tujuan khusus
1)
Untuk
menjelaskan definisi dari Adversity Quotient dalam perspektif Barat?
2)
Untuk
menjelaskan aspek-aspek dari Adversity Quotient dalam perspektif Barat?
3)
Untuk
menjelaskan tingkatan-tingkatan Adversity Quotient dalam perspektif
Barat?
4)
Untuk
menjelaskan cara meningkatkan Adversity Quotient dalam perspektif Barat?
5)
Untuk
menjelaskan definisi dari Adversity Quotient dalam perspektif Islam?
6)
Untuk
menjelaskan aspek-aspek dari Adversity Quotient dalam perspektif Islam?
7)
Untuk
menjelaskan tingkatan-tingkatan Adversity Quotient dalam perspektif
Islam?
8)
Untuk
menjelaskan cara meningkatkan Adversity Quotient dalam perspektif Islam?
1.4 Manfaat Penulisan
Makalah
Makalah ini diharapkan dapat
menambah wawasan para pembaca mengenai kaitan antara islam dengan adversity
quotient. Para pembaca diharapkan dapat memahami konsep adversity
quotient dalam perspektif Barat dan membandingkannya dengan konsep
Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Adversity
Quotient dalam Perspektif Barat
2.1.1 Pengertian Adversity
Quotient dalam Perspektif Barat
Dalam kamus bahasa Inggris, kata “adversity”
berarti kesengsaraan dan kemalangan, sedangkan “intelligence” berarti
kecerdasan. Paul G. Stoltz menyebut kecerdasan ini dengan Adversity Quotient,
yaitu suatu potensi di mana dengan potensi ini seseorang dapat mengubah
hambatan menjadi peluang (Adz-Dzakiey,
2005). Stolz juga menyatakan bahwa suksesnya suatu pekerjaan dan hidup kita
terutama ditentukan oleh Adversity Quotient karena:
v AQ memberitahukan seberapa jauh kemampuan
bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk mengatasinya
v AQ memprediksi siapa yang mampu mengatasi
kesulitan dan siapa yang akan hancur
v AQ memprediksi siapa yang akan melampaui
harapan-harapan dan potensi mereka serta siapa yang akan gagal
v AQ memprediksi siapa yang akan menyerah dan
siapa yang akan bertahan
Adversity
Quotient (AQ) merupakan faktor yang dapat
menentukan mengapa ada orang-orang yang mampu bertahan, sementara orang lain
gagal atau bahkan mengundurkan diri. AQ memiliki tiga bentuk. Pertama, AQ
adalah suatu kerangka kerja konseptual untuk memahami dan meningkatkan semua
segi kesuksesan. Kedua, AQ adalah suatu ukuran untuk mengetahui respon anda
terhadap kesulitan. Ketiga, AQ adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar
ilmiah untuk memperbaiki respon anda terhadap kesulitan yang berakibat
memperbaiki efektivitas pribadi. Konsep AQ berasal dari teori-teori dalam
psikologi kognitif, neurofiosiologi, dan psikoneuroimunologi (Stoltz, 1997).
2.1.2 Aspek-Aspek Adversity
Quotient dalam Perspektif Barat
Menurut
Stoltz (1997), AQ terdiri dari empat aspek yang disingkat dengan CO2RE
yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
1) C = Control
(Kendali)
Dimensi ini berkaitan
dengan kendali yang dirasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan
kesulitan. Kendali berhubungan langsung dengan pemberdayaan dan pengaruh, dan
mempengaruhi semua dimensi CO2RE lainnya. Kendali diawali dengan
pemahaman bahwa sesuatu dapat dilakukan. Mereka yang AQ-nya lebih tinggi
merasakan kendali yang lebih besar atas peristiwa-peristiwa dalam hidup
daripada yang AQ-nya lebih rendah. Sementara itu, semakin rendah AQ, semakin
besar kemungkinan perasaan bahwa peristiwa-peristiwa yang buruk berada di luar
kendali dan hanya sedikit tindakan yang bisa dilakukan untuk mencegah atau
membatasi kerugian.
2) O2 =
Origin dan Ownership (Asal Usul dan Pengakuan)
O2 merupakan
kependekan dari origin (asal usul) dan ownership (pengakuan). O2
berkaitan dengan dua hal yaitu siapa atau apa yang menjadi asal usul
kesulitan dan sampai sejauh manakah saya dapat mengakui akibat-akibat kesulitan
itu.
Asal
usul berkaitan dengan rasa bersalah. Suatu kadar bersalah yang adil dan tepat
diperlukan untuk menciptakan pembelajaran yang kritis atau umpan balik yang
dibutuhkan untuk melakukan perbaikan secara terus-menerus. Namun, rasa bersalah
yang terlampau besar dapat melemahkan semangat, menjadi destruktif dan
menciptakan kelumpuhan. Semakin rendah skor asal usul, semakin besar
kecendrungan untuk menyalahkan diri sendiri. Sebaliknya, semakin tinggi skor
asal usul, semakin besar kecendrungan untuk menganggap sumber kesulitan berasal
dari orang lain atau dari luar diri dan menempatkan diri sendiri pada tempat
yang sewajarnya.
Yang
jauh lebih penting lagi adalah sejauh mana kesediaan seseorang untuk mengakui
akibat dari kesulitan. Skor yang lebih tinggi pada dimensi ini mencerminkan
kemampuan untuk menghindari perilaku menyalahkan diri sendiri yang tidak perlu
sambil menempatkan tanggung jawab pada tempatnya yang tepat. Semakin rendah
skor dalam dimensi ini, semakin besar kemungkinan seseorang menganggap
kesulitan merupakan kesalahannya dan menolak pengakuan dengan menghindarkan
diri dari tanggung jawab untuk menanggungnya.
3) R = Reach
(Jangkauan)
Dimensi R mempertanyakan
sejauh mana kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan.
Semakin rendah skor R, semakin besar kemungkinan untuk menganggap
peristiwa-peristiwa buruk sebagai bencana dengan membiarkannya memasuki
wilayah-wilayah lain kehidupan dan menghilangkan kebahagiaan dan ketenangan
pikiran. Suatu hal yang tidak berjalan lancar misalnya bangun kesiangan
menimbulkan kepanikan, kepahitan, menjaga jarak dengan orang lain, dan
pengambilan keputusan yang buruk. Sebaliknya, semakin tinggi skor R, semakin
besar kemungkinan untuk merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan
terbatas dan semakin efektif menahan dan membatasi jangkauan masalah. Membatasi
jangkauan kesulitan memungkinkan mereka berpikir jernih dan mengambil tindakan.
4) E = Endurance (Daya
Tahan)
Dimensi ini
mempertanyakan dua hal yakni berapa lama
kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan itu akan
berlangsung. Semakin rendah skor E, semakin besar kemungkinan untuk menganggap
kesulitan dan/atau penyebabnya akan berlangsung lama dan menganggap
peristiwa-peristiwa positif sebagai sesuatu yang bersifat sementara. Hal ini
bisa memunculkan perasaan tidak berdaya atau hilangnya harapan karena mengangap
kesulitan sebagai sesuatu yang permanen. Sedangkan semakin tinggi skor E,
semakin besar kemungkinan untuk memandang kesuksesan sebagai sesuatu yang
berlangsung lama dan menganggap kesulitan dan penyebabnya sebagai sesuatu yang
bersifat sementara, cepat berlalu dan kecil kemungkinanya untuk terjadi lagi.
Hal ini akan meningkatkan energi, optimisme, dan kemungkinan untuk bertindak.
2.1.3 Tingkatan Adversity
Quotient dalam Perpektif Barat
Menurut Stoltz
(1997) terdapat tiga kelompok yang memiliki respon berbeda terhadap pendakian
yaitu:
1) Mereka yang berhenti
(Quitters)
Quitters adalah orang yang memilih untuk keluar, menghindari kewajiban,
mundur, dan berhenti. Mereka menolak kesempatan yang diberikan oleh gunung.
Mereka mengabaikan, menutupi, atau meninggalkan dorongan inti yang manusiawi
untuk mendaki dan meninggalkan banyak hal yang ditawarkan oleh kehidupan.
Meskipun
demikian, quitters menjalani kehidupan yang tidak terlalu menyenangkan.
Mereka meninggalkan impian-impiannya dan memilih jalan yang mereka anggap lebih
datar dan mudah. Mereka tidak dapat menggunakan waktu dengan efektif.
Ironisnya, seiring dengan berjalannya waktu, quitters mengalami
penderitaan yang jauh lebih pedih daripada yang mereka elakkan dengan memilih
tidak mendaki. Dan saat yang paling memilukan adalah sewaktu mereka menoleh ke
belakang dan melihat bahwa kehidupan yang dijalani ternyata tidak menyenangkan.
Akibatnya, quitters sering menjadi sinis, murung, mati perasaannya,
menjadi pemarah, frustasi, menyalahkan semua orang di sekitarnya, dan membenci
orang-orang yang terus mendaki.
Quitters mempunyai kemampuan yang kecil atau bahkan tidak mempunyai sama
sekali. Itulah yang menyebabkan mereka terhenti. Namun, dengan bantuan,
dorongan inti mereka untuk mendaki bisa dinyalakan kembali.
2) Mereka yang berkemah
(campers)
Campers pergi tidak seberapa jauh lalu berkata, “sejauh ini sajalah saya
mampu mendaki (atau ingin mendaki)”. Mereka lalu mengakhiri pendakiannya dan
mencari tempat datar yang rata dan
nyaman sebagai tempat bersembunyi dari situasi yang tidak bersahabat. Mereka
memilih untuk menghabiskan sisa-sisa hidup mereka dengan duduk di situ.
Campers
biasanya merasa tidak ada salahnya berhenti mendaki supaya bisa menikmati hasil
jerih payah mereka atau menikmati pemandangan dan kenyamanan yang sudah mereka
peroleh selama pendakian yang belum selesai. Sambil memasang tenda, campers
memfokuskan energinya pada kegiatan mengisi tenda dengan barang-barang yang
membuatnya nyaman. Campers melepaskan kesempatan untuk maju, yang
sebenarnya dapat dicapai jika energi dan sumber dayanya diarahkan dengan
semestinya. Campers mudah puas dengan mencukupkan diri dan tidak mau
mengembangkan diri. Berdasarkan hirarki kebutuhan Maslow, campers
berhasil mencukup kebutuhan dasar mereka yaitu makanan, air, rasa aman, tempat
berteduh, bahkan rasa memiliki. Dengan berkemah, mereka mengorbankan bagian
puncak hirarki kebutuhan Maslow yaitu aktualisasi diri dan bertahan pada apa
yang telah mereka miliki. Akibatnya, campers menjadi sangat termotivasi
oleh kenyamanan dan rasa takut. Mereka takut kehilangan tempat berpijak dan
mencari rasa aman dari perkemahan mereka yang kecil dan nyaman. Namun, campers
mulai menyadari bahwa mimpi mereka berlalu tanpa pernah terwujud dan perubahan
terus menerus mengancam tempat perkemahan.
3) Para pendaki (Climbers)
Tanpa menghiraukan latar
belakang, keuntungan atau kerugian, nasib baik atau buruk, climbers
terus mendaki. Climbers adalah pemikir yang selalu memikirkan
kemungkinan-kemungkinan dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras,
cacat fisik atau mental, atau hambatan lainnya menghalangi pendakiannya.
Climbers benar-benar memahami tujuan dan gairah dari semua hal yang mereka
kerjakan. Mereka mengetahui bagaimana perasaan gembira yang sesungguhnya dan
mengenalinya sebagai anugerah dan imbalan atas pendakian yang telah dilakukan.
Karena mengetahui bahwa mencapai puncak itu tidak mudah, maka climbers
tidak pernah melupakan kekuatan dari perjalanan yang pernah ditempuhnya. Climbers
mengetahui bahwa imbalan datang dalam bentuk manfaat-manfaat jangka panjang dan
langkah-langkah kecil sekarang ini akan membawanya pada kemajuan-kemajuan di
kemudian hari. Climbers sangat gigih, ulet dan tabah. Mereka terus
bekerja keras saat mendaki. Climbers menempuh kesulitan dengan
keberanian dan disiplin sejati. Meskipun demikian, climbers juga manusia
biasa. Kadang-kadang mereka merasa bosan dengan pendakian. Mereka mungkin
mengalami keragu-raguan, kesepian, dan sakit hati. kadang-kadang mereka
berkumpul di perkemahan campers untuk memulihkan kekuatan dan
mengumpulkan tenaga untuk pendakian berikutnya sedangkan campers menetap
di perkemahan.
2.1.4 Cara meningkatkan
Adversity Quotient dalam Perspektif barat
Menurut Stoltz (1997), respons
terhadap kesulitan dan tingkatan AQ seseorang dapat diperbaiki dengan
menggunakan teknik LEAD (Listen, Explore, Analyze dan Do)
yang berasal dari riset dan pengalaman dunia nyata. Teknik ini diadaptasi
dari karya beberapa peneliti berpengaruh dalam psikologi kognitif, terutama
model ABC Albert Ellis yang menggunakan model perilaku rasional-emotif.
Listen:
Dengarkanlah respons anda terhadap kesulitan.
·
Apakah itu
respons AQ yang tinggi atau rendah?
·
Pada
dimensi-dimensi manakah respons itu paling tinggi atau paling rendah?
Explore:
Jajakilah asal usul dan pengakuan Anda atas akibatnya
·
Apakah
kemungkinan asal usul kesulitan ini?
·
Mengingat
asal usulnya, seberapa banyakkah yang merupakan kesalahan saya?
·
Secara
khusus, apakah saya dapat mengerjakannya dengan lebih baik lagi?
·
Aspek-aspek
apa sajakah dari akibat-akibatnya yang harus saya akui?
·
Apa yang
tidak harus saya akui?
Analyze:
Analisislah bukti-buktinya
·
Apa
buktinya bahwa saya tidak memiliki kendali?
·
Apa
buktinya bahwa kesulitan harus menjangkau wilatah-wilayah lain kehidupan saya?
·
Apakah
buktinya bahwa kesulitan harus berlangsung lebih lama daripada semestinya?
Do
: Lakukan sesuatu
·
Tambahan
informasi apakah yang saya perlukan?
·
Apa yang
bisa saya lakukan untuk mendapatkan sedikit kendali atas situasi ini?
·
Apa yang
bisa saya lakukan untuk membatasi jangkauan kesulitan ini?
·
Apa yang
bisa saya lakukan untuk membatasi berapa lama berlangsungnya kesulitan ini
dalam keadaannya yang sekarang?
Rangkaian LEAD
didasarkan pada pengertian bahwa kita dapat mengubah keberhasilan kita dengan
mengubah kebiasaan-kebiasaan berpikir kita. Perubahan diciptakan dengan
mempertanyakan pola-pola lama dan secara sadar membentuk pola-pola baru.
Rangkaian LEAD memiliki efek kimiawi pada otak. LEAD memperkuat rasa
pengendalian melalui pengakuan yang lebih besar dan komitmen untuk bertindak.
Secara fisiologis, otak merespons rasa pengendalian yang meningkat ini dengan
meningkatkan neurotransmitter yang secara positif akan mempengaruhi
fungsi-fungsi kekebalan dan kesehatan.
2.2 Adversity
Quotient dalam perspektif Islam
2.2.1 Pengertian Adversity
Quotient dalam perspektif Islam
Merujuk pada konesp Barat, terdapat
sebuah kecerdasan dalam menghadapi kesulitan yang disebut dengan Adversity
Quotient (AQ). Bila kita melihat pada Al-Qur’an terdapat penjelasan dan
dorongan agar manusia senantiasa dapat berjuang untuk mengatasi kesulitan dan
senantiasa berlapang dada. Tidak hanya berjuang dengan kemampuan diri, di dalam
konsep Islam juga terdapat doa dan harapan yang menjadi pendorong umat Islam
agar dapat menjadi sukses dan mencapai tujuan. Firman Allah SWT.
Bukankah Kami telah
melapangkan untukmu dadamu? dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu,
yang memberatkan punggungmu, dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu, karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada
kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu
telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh
(urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap
(Q.S. Al-Insyirah: 1-8)
Dalam surat di
atas terdapat dua ayat yang diulangi yakni “bersama kesulitan ada kemudahan”.
Ayat ini memberi spirit agar setiap manusia mau merenungkan dengan serius bahwa
kesulitan, kesengsaraan, kemalangan, dan kesakitan merupakan pintu untuk
memasuki rahasia dan hakikat kemudahan, kebahagiaan, dan kedamaian. Dengan
kecerdasan ini seseorang dapat dengan mudah mengetahui dan memahami hakikat
dari setiap tantangan dan kesulitan. Sehingga, ia senantiasa memiliki spirit
untuk selalu mencari jalan dan celah-celah agar dapat menembus esensi
tantangan, kesulitan, dan penderitaan itu melalui perjuangan dan pengorbanan
(Adz-Dzakiey, 2005).
Menurut Quraish
Sihab dalam tafsir Al-Misbah, Allah SWT. dalam ayat 5 dan 6 ini bermaksud
menjelaskan salah satu sunnah-Nya yang bersifat umum dan konsisten yaitu
“setiap kesulitan pasti disertai atau disusul oleh kemudahan selama yang
bersangkutan bertekad untuk menanggulanginya.” Kedua ayat ini memesankan agar
manusia berusaha menemukan segi-segi positif yang dapat dimanfaatkan dari
setiap kesulitan, karena bersama setiap kesulitan terdapat kemudahan. Ayat-ayat ini seakan-akan berpesan agar
setiap orang mencari peluang pada setiap tantangan dan kesulitan yang dihadapi.
Pada ayat 5 kata
al-‘usr berbentuk definit (memakai alif dan lam) demikian pula kata
tersebut pada ayat 6. Ini berarti bahwa kesulitan yang dimaksud pada ayat 5
sama halnya dengan kesulitan yang disebutkan pada ayat 6, berbeda dengan yusran.
Kata tersebut tidak dalam bentuk definit, sehingga kemudahan yang disebut pada
ayat 5 berbeda dengan kemudahan yang disebut pada ayat 6. Hal ini menjadikan
kedua ayat tersebut mengandung makna “setiap satu kesulitan akan
disusul/dibarengi dengan dua kemudahan.” Kemudahan berganda yang dijanjikan ini
dapat diperoleh seseorang dalam kehidupan di dunia ini dan dapat pula dalam
arti satu kemudahan di dunia dan satu lainnya di akhirat (Shihab, 2005).
2.2.2 Aspek-Aspek Adversity
Quotient dalam perspektif Islam
Dalam konsep Islam, ada beberapa
aspek yang menunjukkan bahwa seseorang telah memperoleh Adversity Quotient,
antara lain (Adz-Dzakiey, 2005):
1)
Bersikap
sabar, yaitu kekuatan jiwa dan hati dalam menerima perbagai persoalan hidup
yang berat dan menyakitkan, dan dapat membahayakan keselamatan diri lahir
batin. Sikap ini didorong oleh spirit dari firman Allah SWT.
“ dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah
berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila
ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi
raaji'uun" (QS. Al-Baqarah: 155-156).
Indikasi adanya kesabaran adalah adanya
sikap tauhidiyyah dalam diri bahwa “diri ini adalah milik Allah SWT. dan akan
kembali kepada Allah SWT.” Sikap tauhidiyyah ini akan mengembangkan spirit,
energi, dan kekuatan untuk menembus rintangan-rintangan dan ujian-ujian hidup
ini dengan baik dan gemilang. Esensi kalimat “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”
mengandung energi ketuhanan yang sangat dahsyat bagi yang benar-benar memahami
hakikatnya. Sehigga seberat apapun halangan dan rintangan dapat dilewati dengan
mudah dan menyelematkan. Sebab, di dalam ketabahan itu Allah SWT. hadir dalam
diri dan menggerakkan seluruh aktivitas diri di dalam bimbingan, perlindungan,
dan pimpinan-Nya.
Sedangkan dalam Mujib (2007), karakter shabir
(yang sabar), yaitu menahan diri (al-habs) atau lebih tepatnya
mengendalikan diri. Maksudnya, menahan dan mengendalikan diri dari hal-hal yang
dibenci dan menahan lisan agar tidak mengeluh. Karakter shabir dapat
menghindarkan seseorang dari perasaan resah, cemas, marah dan kekecauan.
Karakter shabir juga menuntut sikap yang tenang untuk (1) menghindari
maksiat, (2) melaksanakan perintah, dan (3) menerima cobaan. Firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah
kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan
negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung”
(QS. Ali Imran: 200)
Jika seseorang telah belajar bersabar dalam
menanggung derita kehidupan dan bencana zaman, bersabar dalam menghadapi orang
yang menyakiti dan memusuhinya, bersabar dalam beribadah dan taat kepada Allah,
serta dalam melawan hawa nafsu dan dorongan-dorongannya, dan bersabar dalam
bekerja dan berproduksi maka ia akan menjadi orang yang berkepribadian yang
matang, seimbang, utuh, produktif, dan aktif. Demikian
pula ia akan terhindar dari kegelisahan dan kegoncangan jiwa (Najati, 2001).
Rasulullah
SAW. telah mengajari para sahabatnya agar menganggap setiap penyakit maupun
musibah yang menimpa diri mereka sebagai cobaan dari Allah SWT. Melalui cobaan itulah Allah akan
mengangkat derajat mereka, mengampuni beberapa kesalahan, dan menuliskan
beberapa kebaikan untuknya. Pengajaran Rasulullah mampu menanamkan kesabaran
pada diri para sahabat dalam menghadapi kehidupan. Mereka semakin tegar
menerima berbagai macam musibah dengan perasaan ridha karena mereka
menganggapnya sebagai takdir Allah SWT (Najati, 2003).
Rasulullah SAW.
bersabda.
“Tidak ada sebuah penyakit, rasa lelah,
maupun rasa sedih yang menimpa seorang mukmin sampai (hanya sekedar) rasa
gundah yang mengganggunya, kecuali hal itu akan melebur keburukan-keburukannya”
(HR. Bukhari, Muslim, Turmudzi).
2)
Bersikap
optimis dan pantang menyerah, yaitu hadirnya keyakinan yang kuat bahwa
bagaimana pun sulitnya ujian, cobaan, dan halangan yang terdapat dalam hidup
ini pasti dapat diselesaikan dengan baik dan benar selama adanya upaya bersama
Allah SWT. dan lenyapnya sikap keputusasaan dalam proses meniti
rahmat-rahmat-Nya yang bertaburan di dalam kehidupan ini dengan perbagai
bentuk, macam, dan rupanya. Firman Allah SWT.
¼çms9 ×M»t7Ée)yèãB .`ÏiB Èû÷üt/ Ïm÷yt ô`ÏBur ¾ÏmÏÿù=yz ¼çmtRqÝàxÿøts ô`ÏB ÌøBr& «!$# 3 cÎ) ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sÎ)ur y#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß xsù ¨ttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrß `ÏB @A#ur ÇÊÊÈ
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.
Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri, dan apabila Allah menghendaki
keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan
sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
wur (#qÝ¡t«÷($s? `ÏB Çy÷r§ «!$# ( ¼çm¯RÎ) w ߧt«÷($t `ÏB Çy÷r§ «!$# wÎ) ãPöqs)ø9$# tbrãÏÿ»s3ø9$#
“Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya
tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir” (QS. Yusuf: 87)
Kedua ayat di atas memberikan spirit kepada
kita agar tidak berhenti dan hilang semangat
dalam melakukan perbaikan diri dari perbagai aspek kehidupan.
Keputusasaan adalah suatu penyakit ruhani yang dapat melumpuhkan potensi
esensial seorang manusia, bahkan Allah SWT. memasukkan mereka ke dalam golongan
orang-orang yang ingkar kepada-Nya.
Beratnya rintangan di dalam kehidupan dunia
ini merupakan tangga untuk mendaki dan menuju kepada kemuliaan dan keagungan
hakikat diri di hadapan Allah SWT. dan makhluk-Nya. Sikap optimis dan semangat
pantang menyerah adalah doa yang hidup dan menghasilkan tenaga dan kekuatan
yang hebat di dalam jiwa. Demi semangat untuk mewujudkan sikap ini, Rasulullah
Saw. bersabda, bahwa Allah SWT. telah berfirman:
“ Siapa saja yang telah mengerjakan kebaikan maka baginya ada
sepuluh lipat ganda pahalanya, bahkan mungkin lebih. Dan siapa yang mengerjakan
kejahatan maka balasan kejahatan itu satu lawan satu, bahkan mungkin
diampunkan. Dan siapa saja yang mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat
kepadanya sehasta. Dan siapa saja yang mendekat kepada-Ku sehasta, Aku akan
mendekat kepadanya sedepa. Dan siapa saja yang datang kepada-Ku dengan
berjalan, Aku akan berlari menghampirinya. Dan siapa saja yang menjumpai Aku
dengan sepenuh bejana bumi yang berisi kesalahan, tetapi ia tidak menyekutukan
Aku dengan seuatu apa pun, niscaya Aku akan menemuinya dengan ampunan sebanyak
itu juga. “ (HR Muslim)
3)
Berjiwa besar,
yakni hadirnya kekuatan untuk tidak takut mengakui kekurangan, kesalahan, dan
kekhilafan diri, lalu hadir pula kekuatan untuk belajar dan mengetahui
bagaimana cara mengisi kekurangan diri dan memperbaiki kesalahan diri dari
orang lain dengan lapang dada.
Indikasi adanya sikap berjiwa besar itu
dapat dipahami dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Labmend (1994) bahwa
perilaku manajer yang berhasil dalam pencapaian target dan pengembangan anak
buahnya antara lain:
a. Sikap mereka terbuka (open minded). Mereka tidak mempunyai
rasa dendam terhadap anak buahnya, bahkan mereka merasa senang bila anak
buahnya dapat bekerja dan segera menguasai pekerjaan yang secara langsung akan
meringankan tugasnya sebagai manajer.
b. Tidak ada penghalang komunikasi (communication barriers).
Mereka mampu berkomunikasi secara lancar, terbuka, dan akrab antara dirinya dan
anak buahnya. Sehingga pesan-pesan atau instruksi dapat dilaksanakan oleh anak
buahnya dengan benar tanpa merasakan beban pada diri anak buahnya.
c. Memaafkan dan melupakan (to forgive and to forget). Bila
ada kesalahan, betapa pun besarnya
kesalahan yang dilakukan oleh anak buahnya mereka terbuka untuk memaafkan. Yang
lebih penting lagi adalah melupakannya untuk kemudian secara bersama-sama
melakukan perbaikan. Menurut pada manajer tersebut, sikap memaafkan dan
melupakan kesalahan merupakan bagian dari cara dirinya untuk memotivasi anak
buahnya. Sehingga mereka bekerja tanpa merasa ada beban yang dapat menghalangi
pelaksaaan tugasnya di lapangan.
Spirit
ini dapat dipahami sebagaimana firman Allah SWT.
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚÌôãr&ur Ç`tã úüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ
“Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang
ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh” (QS. Al-A’raf: 199).
4)
Berjihad,
yaitu pengerahan seluruh potensi dalam menangkis serangan musuh. Dalam makna
yang lebih luas adalah segala bentuk usaha maksimal untuk penerapan ajaran
Islam dan pemberantasan kejahatan serta kezaliman, baik terhadap diri pribadi maupun
dalam masyarakat.
Ibu Al-Qayyim mengemukakan bahwa jika
dilihat dari pelaksanaannya, jihad dapat dibagi menjadi tiga bentuk, yakni:
Pertama, jihad mutlak, yakni perang
melawan musuh di medan pertempuran.
Kedua, jihad hujjah, yaitu jihad yang
dilakukan dalam berhadapan dengan pemeluk agama lain dengan mengemukakan
argumentasi yang kuat, sebagimana firman Allah SWT.
Ketiga, jihad ‘umm, yaitu jihad yang
mencakup aspek kehidupan, baik yang bersifat moral maupun yang bersifat
material, terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain di tengah-tengah
masyarakat. Jihad seperti ini dapat dilakukan dengan pengorbanan harta, jiwa,
tenaga, waktu, dan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Jihad ini juga bersifat
berkesinambungan, tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu, dan bisa dilakukan
terhadap musuh yang nyata, setan, atau hawa nafsu. Pengertian musuh yang nyata
di sini, di samping perang, juga berarti semua tantangan yang dihadapi umat
Islam, seperti kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Jihad terhadap setan
mengandung pengertian berusaha untuk menghilangkan hal-hal yang negatif yang
membahayakan umat manusia. Sedangkan jihad terhadap hawa nafsu adalah sikap
pengendalian diri agar cara bertindak dan berkomunikasi dengan orang lain tidak
menyimpang dari ketentuan Islam.
Secara esensial, jihad adalah kekuatan yang
muncul dari dalam diri, ruhani, dan jiwa untuk mewujudkan suatu cita-cita
ketuhanan (kebaikan di bumi dan di langit, di dunia hingga akhirat) dengan
perjuangan, pengorbanan tanpa mengenal lelah, dan tidak takut menghadapi
penderitaan, rasa sakit, ancaman, dan kematian hingga titik darah yang terakhir
(Adz-Dzakiey, 2005).
2.2.3 Tingkatan
kecerdasan berjuang dalam Islam
Bila merujuk pada struktur
kepribadian Islam, Adversity Quotient terbagi menjadi tiga tingkatan
yang terdiri dari (Mujib, 2007):
1) Tingkatan Terendah
Tingkatan paling
rendah ini, yang disebut dengan quitters dalam perspektif Barat, dapat disesuaikan dengan kepribadian
ammarah yang cenderung mengejar prinsip-prinsip kenikmatan. Ia menarik kalbu
manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang rendah sesuai dengan naluri
primitifnya sehingga ia merupakan tempat dan sumber kejelekan dan kepribadian
tercela. Hawa nafsu membuatnya tuli dan buta dan cenderung mengajak pada
kebatilan. Kepribadian ini tergolong menganiaya diri. Ciri kepribadian ini
adalah tidak membekali diri untuk menuju pada tujuan hidupnya, bahkan ia
menyia-nyiakan dan berbekal dengan sesuatu yang justru menganggu perjalanannya.
Di tempat tujuan ia akan merugi dan menyesal.
Kepribadian
ammarah dipengaruhi oleh dua macam daya yaitu daya syahwat dan gadhab. Kesempurnaan daya ghadab, yang
terkendali oleh kalbu mengarahkan individu untuk berjihad. Ibn Maskawaih dan
Al-Ghazali menyatakan bahwa apabila daya ghadhab mencapai puncaknya maka ia
mampu mencapai keberanian. Sifat-sifat keberanian (al-syaja’ah)
diantaranya adalah: (1) sabar dalam mengendalikan hawa nafsu; (2) kebesaran
jiwa untuk mencapai perbuatan luhur dan meninggalkan perbuatan yang hina; (3)
tegar (al-najdah) dalam menghadapi masalah yang rumit; (4) ulet (‘uzam
al-himmah) dalam melaksanakan sesuatu; (5) tenang dalam menghadapi
kesulitan; (6) tabah dalam mengendalikan kegiatan-kegiatan; (7) menguasai diri
dalam berbagai situasi; (8) perkasa dalam mencapai reputasi yang baik.
Kepribadian
ammarah dapat beranjak ke kepribadian yang baik apabila ia telah diberi rahmat
oleh Allah SWT. Pendakian kepribadian ammarah menuju ke tingkat kepribadian
yang lebih baik hanya dapat mencapai satu tingkat dari tingkatan kepribadian
yang ada ke kepribadian lawwamah. Hal itu disebabkan oleh daya hawa nafsu lebih
dekat dengan daya akal dan terlalu jauh jaraknya dengan daya kalbu. Pendakian
ini pun diperlukan latihan (riyadhah) khusus untuk menekan daya nafsu
dari hawa, seperti dengan berpuasa, shalat, berdoa, dan sebagainya.
2) Tingkatan Antara
Tingkatan antara ini dapat
disejajarkan dengan kepribadian lawwamah yang berada di antara kepribadian
ammarah dan kepribadian muthma’innah. Kepribadian semacam ini telah berusaha
meningkatkan kualitas dirinya yang telah dibantu oleh cahaya terang (nurani)
tetapi watak gelap (zhulmani)-nya ikut campur dalam pembentukan
kepribadian, sehingga ia menjadi bimbang dan bingung. Apakah ia mengikuti
nurani ataukah mengikuti watak zhulmani? Kebimbangan itu pada akhirnya
akan bermuara pada tiga kemungkinan:
·
Ia akan
tertarik dengan watak gelapnya, sehingga ia tetap dalam kualitas rendahnya,
yang dalam hal ini berkoalisi dengan hawa nafsu.
·
Ia akan
tertatik oleh nurani, sehingga ia bertaubat dan berusaha memperbaiki kualitasnya,
yang dalam hal ini berkoalisi dengan kalbu.
·
Ia berada
dalam posisi netral. Artinya, perbuatan yang diciptakan tidak bernilai buruk
atau bernilai baik, tetapi berguna bagi kelestarian eksistensi manusiawinya
sendiri.
Sisi positif
bagi kepribadian lawwamah adalah masih bersifat pemula. Artinya, seseorang yang
berkepribadian lawwamah masih mulai beranjak dari kepribadian tercela menuju
kepada kepribadian yang baik. Peralihan kepribadian ini ditandai dengan adanya
taubah dan jihad melawan hawa nafsu. Oleh karena masih bersifat pemula maka
kepribadian lawwamah belum mampu menghantarkan manusia pada eksistensi yang
sebenarnya. Eksistensi manusia yang sebenarnya akan terwujud apabila manusia
telah mewujudkan kepribadian muthmainnah.
3) Tingkatan Tertinggi
Tingkatan tertinggi yang dalam
perspektif Barat disebut dengan climber dapat dibandingkan dengan
kepribadian muthmainnah karena merupakan tingkatan tertinggi dibandingkan
dengan tingkatan sebelumnya. Walaupun demikian penulis berpendapat bahwa
kepribadian muthmainnah memiliki kedudukan yang lebih tinggi karena
berorientasi teosentris.
Kepribadian
muthmainnah adalah kepribadian yang telah diberi kesempurnaan nur kalbu,
sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dam tumbuh sifat-sifat yang
baik. Kepribadian ini selalu berorientasi ke komponen kalbu untuk mendapatkan
kesucian dan menghilangkan segala kotoran, sehingga dirinya menjadi tenang dan
tentram.
Kepribadian
muthmainnah dapat dicapai ketika jiwa di ambang pintu ma’rifah Allah disertai
dengan adanya ketundukan dan kepasrahan. Begitu tenangnya kepribadian ini
sehingga ia dipanggil oleh Allah. Firman Allah SWT.
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada
Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya (QS.
Al-Fajr: 27-28)
Kepribadian
muthmainnah bersumber dari kalbu manusia, sebab hanya kalbu yang mampu
merasakan ketenangan. Sebagai komponen yang bernatur ilahiyah kalbu selalu
cenderung pada ketenangan dalam beribadah, menyintai, bertaubah, bertawakal,
dan mencari ridha Allah SWT. Jadi orientasi kepribadian ini adalah teosentris.
Bentuk-bentuk
kepribadian muthmainnah diantaranya adalah keimanan, keyakinan, keikhlasan,
tawawkal, taubat, taqarrub pada Allah, sabar, bijaksana, tawadhu’, tenang dan
cinta kepada Allah dan rasul-Nya, memenuhi perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya, berani, menjaga diri, jujur, penuh kasih sayang. Atau dalam hadis
Nabi SAW. disederhanakan dalam dimensi iman, islam dan ihsan. Semua bentuk
tersebut bermotivasi pada teosentris yang berdaya positif.
2.2.4 Cara meningkatkan
Adversity Quotient dalam Perspektif Islam
Cara meningkatkan Adversity Quotient ini penulis
kaitkan dengan tiga cara
dan tahap yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan kualitas diri dalam
dunia tasawuf yang sering disebut
dengan 3-T (takhalli, tahalli dan
tajalli) (Mujib, 2015).
Pertama,
tahapan
permulaan (al-bidayah) yang disebut
dengan takhalli,
yaitu mengosongkan diri
dari segala
sifat-sifat yang kotor yang menutup cahaya ruhani.
Pada
tahapan ini fitrah manusia
merasa rindu kepada Khaliknya. Ia sadar bahwa keinginan untuk
berjumpa itu terdapat
tabir (al-hijab) yang menghalangi interaksi dan
komunikasinya, sehingga ia
berusaha menghilangkan
tabir tersebut. Perilaku maksiat, dosa dan segala gangguan
pada kepribadian merupakan tabir yang
harus disingkap dengan cara menutup, menghapus dan
menghilangkannya.
Penyakit
spiritual ruhani seperti riya’, sombong, marah,
dusta, thama’, putus asa dan sebagainya merupakan
nuktah-nuktah hitam yang
menghalangi perolehan kebahagiaan dan kesejahteraan.
Nuktah-nuktah hitam itu
dapat meredupkan
cahaya keimanan dan kebenaran, sehingga jiwa manusia menjadi gelap dan kelam. Redupnya cahaya
spiritual menyebabkan manusia tergelincir ke arah
perilaku yang buruk dan tercela dan
pada akhirnya menghancurkan
kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat (HR. al-Turmudzi dari
Abu Hurairah).
Bahkan dalam hadis Nabi riwayat Muslim
dan Ahmad
dari al-Nawas ibn
Sim’an al-Anshari dinyatakan: “Dosa
adalah kondisi emosi yang membimbangkan di jiwa dan merasa tidak enak
jika perbuatannya
itu diketahui
oleh orang
lain. ”Untuk pembahasan
aspek
ini Al-Ghazali (1991) menulis
seperempat
bagian
dalam
kitabnya Ihya’ Ulumal-Din.
Ditegaskan bahwa “Akhlak yang buruk
merupakan penyakit hati dan penyakit
jiwa.”
Kedua,
tahapan
kesungguhan dalam menempuh kebaikan
(al-mujahadah) yang disebut dengan tahalli,
yakni
mengisi dan menghiasi diri dengan sifat-sifat yang mulia. Setelah bersih
dari kotoran
spiritual kemudian berusaha secara sungguh-sungguh dengan cara mengisi diri
dengan perilaku yang mulia,
seperti
ikhlas, tawadhu’,
sabar, syukur, qanaah, tawakkal, ridha dan sebagainya.
Tahapan
kedua ini harus ditopang oleh tujuh
pendidikan dan olah batin (riyadhat al-nafs), yaitu (1) Musyarathah,
menetapkan syarat-syarat atau kontrak spiritual agar
ia dapat melaksanakan tugas
dengan baik dan menjauhi larangan yang
berfungsi sebagai kontrol
diri dan
memotivasi diri
untuk memperoleh
nilai lebih
dalam
berprestasi; (2)Muraqabah,
yaitu mawas diri dan penuh waspada dengan segenap kekuatan
spiritual, agar ia selalu
dekat
kepada Allah. Tidak
untuk memasuki tingkat kesadaran; (3) Muhasabah, yaitu introspeksi, membuat perhitungan atau melihat kembali tingkah
laku yang
diperbuat, apakah
sesuai dengan apa
yang disyaratkan sebelumnya atau tidak;
(4) Mu’aqabah, yaitu menghukum diri karena
dalam perniagaan
rabbani selalu mengalami kerugian;
(5) Mujahadah, yaitu berusaha menjadi baik
dengan sungguh-sungguh, sehingga tidak ada waktu, tempat
dan keadaan
untuk main-main, apalagi melakukan
perilaku yang buruk; (6) Mu’atabah, yaitu menyesali
dan mencela
diri atas perbuatan dosanya
; dan (7) Mukasyafah,
yaitu membuka penghalang (hijab) atau tabir
agar tersingkap ayat- ayat dan rahasia-rahasia
Allah. Mukasyafah juga diartikan
jalinan dua jiwa yang jatuh
cinta dan penuh
kasih sayang, sehingga masing-masing rahasia
diketahui satu dengan yang lain.
Ketiga,
tahapan
merasakan (al-mudziqat) yang disebut
dengan tajalli, yaitu munculnya kesadaran
rabbani. Pada
tahapan ini
seorang hamba tidak
sekadar menjalankan perintah Khalik-nya dan menjauhi
larangan-Nya, namun ia merasakan kelezatan,
kedekatan, kerinduan bahkan
bersamaan (ma’iyyah) dengan-Nya. Tahapan ini didahului oleh
al-fana`(kesadaran akan
ketiadaan materi pada diri) dan
al-baqa` (kesadaran akan keberadaan dunia spiritual), sehingga pinjam istilah Maslow, memperoleh pengalaman puncak (peak experience).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Teori Adversity Quotient
(AQ) berkembang di Barat sejak akhir 1990-an di mana Intelligence Quotient
(IQ) dan Emotional Quotient (EQ) dipandang tidak cukup untuk mencapai
kesuksesan hidup yang penuh dengan tantangan. Namun Islam melalui Al Qur’an dan
hadis telah banyak menjelaskan konsep kesuksesan
dalam menghadapi tantangan. Salah satunya adalah melalui Surat Al-Insyirah.
Terdapat
kesamaan pengertian antara surat Al-Insyirah ini dengan konsep AQ. Stoltz
(1997) sebagai penggagas teori AQ mengatakan bahwa AQ adalah kecerdasan untuk
mengubah hambatan menjadi peluang. Padahal di dalam surat al-Insyirah,
khususnya ayat ke 5 dan 6, Allah telah menjelaskan bahwa “setelah kesulitan ada
kemudahan”. Bahkan di dalam tafsir Al-Misbah
dijelaskan bahwa ayat-ayat ini seakan-akan berpesan agar setiap orang
mencari peluang pada setiap tantangan dan kesulitan yang dihadapinya
Selanjutnya,
aspek-aspek dari AQ dalam konsep Barat diturunkan dari teori-teori kognitif
yaitu control, origin, ownership, reach dan endurance. Adapun
aspek-aspek AQ dalam konsep Islam terdiri dari karakter-karakter yang baik (mahmudah)
yang sebenarnya menurut penulis memiliki konteks yang lebih luas. Namun,
indikator AQ dalam konsep Islam pada makalah ini disesuaikan dengan konsep AQ
dalam konsep Barat, mengacu pada konsep Prophetic Intelligence yang
dikemukakan oleh Adz-Dzakiey (2005). Indikator tersebut yaitu sabar, berjiwa
besar, optimis, dan jihad.
Berdasarkan
tingkatannya, terdapat tiga kelompok yang memiliki respons berbeda terhadap
kesulitan yaitu quitters, campers, dan climbers. Sedangkan
tingkatan dalam islam merujuk pada struktur kepribadian islam yang terdiri dari
kepribadian ammarah (tingkatan terendah), kepribadian lawwamah (tingkatan
antara) dan kepribadian muthmainnah (tingkatan tertinggi).
Jika dilihat
dari cara meningkatkan AQ, pandangan Barat hanya melihat kemampuan manusia
dalam mengatasi kesulitan di mana dalam mengatasi kesulitan dan merespon
terhadap kesulitan sangat bergantung pada kognitif dan emosi manusia itu
sendiri. Hal ini dapat dilihat dari teknik LEAD (Lead, Explore, Analyze, Do)
yang berasal dari pendekatan rasional-emotif oleh Albert Ellis. Tetapi cara
meningkatkan AQ dalam pandangan Islam meliputi pendekatan spiritual yaitu
dengan konsep takhalli, tahalli, dan tajalli.
3.2 Saran
Makalah ini sebaiknya dapat
dijadikan bahan introspeksi diri untuk menilai bagaimana kecerdasan kita dalam
merespons kesulitan dan mengubah hambatan menjadi peluang baik dalam perpektif
Barat maupun dalam perspektif Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzakiey,
Hamdani Bakran. (2005). Prophetic Intelligence, Kecerdasan Kenabian:
Menumbuhkan Potensi Hakiki Insani Melalui Pengembangan Kesehatan Ruhani.
Yogyakarta: Islamika.
Mujib.A. (2007).
Kepribadian dalam Psikologi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Mujib,
A. (2015). Implementasi Psiko-Spiritual dalam Pendidikan Islam. Madania,
19 (2). 195-204.
Mujib,
A. & Mudzakir, J. (2002). Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Najati, M. U.
(2003). Al-Hadiitsun-Nabawiy wa ‘Ilmun Nafs. Psikologi dalam Tinjauan Hadis Nabi SAW.
Wawan Djunaedi Soffandi (terj). Jakarta: Mustaqim.
Najati,
M.U. (2001). Al Qur’an wa Ilm an-Nafs. Al-Quran dan Psikologi. Tb. Ade
Asnawi (terj). Jakarta: Aras Pustaka.
Stoltz, P. G. (2003). Adversity Quotient :
Turning Obstacles into Opportunities. Adversity Quotient: Mengubah Hambatan
Menjadi Peluang. T. Hermaya (terj.). Jakarta: Grasindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar