Kamis, 25 Februari 2016

ISLAM DAN STRESS KERJA (Baqiyatul Auladiyah)

ISLAM DAN STRESS KERJA
Oleh:
Baqiyatul Auladiyah
21150700000021

Pendahuluan
Tuntutan hidup saat ini membuat kehidupan orang semakin mencekik. Banyaknya tuntutan tersebut membuat orang berpikir keras bagaimana caranya menjalani dan menyelesaikan segala permasalahan yang terjadi. Ketika hal tersebut terjadi terus menerus maka akan mengakibatkan perasaan tertekan dan terdesak.
            Selain permasalahan hidup, perasaan tertekan akan tuntutan dan tanggung jawab juga dapat terjadi di dunia kerja. Kita mengenalnya dengan istilah stres kerja, atau stres di tempat kerja. Stres kerja menjadi fenomena yang menjadi perbincangan hangat di kalangan eksekutif yang mempengaruhi bagaimana pola kerja yang terjadi pada karyawan di sebuah industri atau perusahaan. Stres kerja biasanya dipengaruhi oleh beratnya beban pekerjaan dan perasaan tertekan karena berbagai macam tuntutan pekerjaan. Maka stres kerja menjadi penting untuk diperhatikan oleh pimpinan perusahaan untuk mengurangi dampak yang lebih besar dari stres kerja itu sendiri.
            Stres kerja telah banyak dilakukan oleh berbagai penelitian di dunia industri. Stres telah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Stres di tempat kerja adalah salah satu resiko utama psikososial di tempat kerja. Akhir-akhir ini hal tersebut menjadi fokus utama dari konselor, pengusaha, psikolog bahkan konselor.
            Islam dengan segala kesempurnaannya datang membawa risalah untuk kehidupan manusia. Stres dalam Islam bukanlah sesuatu yang harus ditakuti atau dihindari. Namun Islam mengajarkan kepada manusia bahwa tuntutan atau ujian hidup ini merupakan sesuatu yang harus dijalani sebagai bagian dari proses kehidupan itu sendiri. Allah berfirman dalam surat Al – Ankabuut (29), ayat 2-3 yang artinya:  “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja dengan mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi (2) Dan sesunggunya Kami  telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta (3).”
            Melihat penjelasan di atas sudah seharusnya sebagai seorang Muslim yang beriman, stres kerja bukanlah masalah yang besar dan menjadi problema kehidupan yang berkepanjangan. Namun stres yang dihadapi di dunia pekerjaan harus dijadikan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah agar dapat terhindar dari beban dan pikiran yang berat serta dapat dijadikan sebagai sebuah proses kehidupan agar kita menjadi lebih matang menghadapi kehidupan di dunia dan juga di akhirat.
Bagaimana Barat Memandang Stres Kerja?
Robbins (2013) menjelaskan bahwa stres kerja adalah proses psikologis yang tidak menyenangkan yang terjadi pada diri seorang manusia dalam menanggapi tekanan lingkungan.
Joseph (2013) mendefinisikan stres sebagai reaksi fisiologis dan psikologis untuk peristiwa-peristiwa tertentu di lingkungan. Stres adalah suatu keadaan tidak menyenangkan secara emosional dan fisiologis seseorang dalam situasi yang mereka anggap membahayakan atau mengancam kesejahteraan mereka (Tenibiaje, 2011). Menurut Selye (dalam Joseph, 2013), stres didefinisikan sebagai kondisi yang dapat menimbulkan stres psikologis atau ketidaknyamanan secara psikologis itu sendiri.
Robbins (2013) dalam bukunya organizational behavior menjelaskan bahwa stres dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
Faktor Lingkungan. Ketidakpastian lingkungan mempengaruhi perubahan struktur organisasi, dan hal tersebut tentunya berpengaruh juga terhadap tingkat stres karyawan dalam organisasi tersebut. ketidakpastian ekonomi tentu saja menjadi alasan terbesar bagi karyawan dalam memecahkan masalah pekerjaan berhubungan dengan perubahan organisasi. Ketidakpastian lingkugan disini terdiri dari tiga tipe, yaitu: ekonomi, politik, dan teknologi.
Perubahan pada situasi bisnis menciptakan ketidakpastian ekonomi. Ketika perekonomian menurun, orang akan mencemaskan kesejahteraan hidupnya. Kemudian, ketidapastian politik terjadi ketika situasi politik tidak menentu, banyak sekali demonstrasi dari berbagai kalangan yang tidak puas dengan keadaan mereka. Kejadian semacam ini dapat membuat orang merasa tidak nyaman karena adanya penutupan jalan karena ada yang berdemo atau mogoknya angkutan umum dan membuat para karyawan terlambat masuk kerja.
Selain itu, kemajuan teknologi yang pesat juga menyebabkan orang stress karena harus beradaptasi dengan perubahan struktur dan tatanan pada organisasi tersebut, termasuk adanya inovasi baru yang menyebabkan seseorang harus menyesuaikan diri dengan teknologi yang semakin canggih.
Faktor Organisasi. Tidak ada pekerjaan dalam sebuah organisasi yang tidak menyebabkan stres. Tekanan pekerjaan yang harus diselesaikan dalam waktu singkat, work overload, tuntutan dan dikesampingkan oleh atasan, serta teman kerja yang tidak menyenangkan adalah baru sebagian kecil yang dapat mempengaruhi stres pada seseorang.
Tuntutan terhadap tugas berhubungan dengan pekerjaan seseorang. Dimana, hal tersbeut meliputi desain pekerjaan, situasi kerja, dan susunan ruang kerja secara fisik. Bekerja pada ruangan yang banyak orang atau tampak, dimana keadaannya bising dan banyak gangguan dapat menyebabkan kecemasan dan stres. Kemudian selanjutnya, tuntutan peran juga dapat mempengaruhi stres, dimana hal tersebut berhubungan dengan tekanan yang diberikan pada seseorang sesuai dengan fungsi peran dalam organisasi tersebut. Konflik peran menciptakan harapan-harapan yang barangkali sulit dirujukkan atau dipuaskan. Kelebihan peran terjadi bila karyawan diharapkan untuk melakukan pekerjaan melebihi kemampuannya. Ambiguitas peran tercipta bila harapan peran tidak dipahami dengan jelas dan karyawan tidak mengetahui secara pasti mengenai apa yang harus dikerjakan.
Selain yang penulis jelaskan di atas, faktor organisasi yang dapat mempengaruhi stres kerja pada seseorang adalah untutan antar pribadi, dimana tuntutan ini berhubungan dengan tekanan yang diciptakan oleh karyawan lain. Kurangnya dukungan sosial dari rekan kerja dan hubungan antar pribadi yang kurang baik dapat menimbulkan stres yang cukup besar, khususnya di antara para karyawan yang memiliki kebutuhan sosial yang tinggi.
Faktor Individu. Faktor ini mencakup kehidupan pribadi karyawan terutama faktor-faktor yang berhubungan dengan persoalan keluarga, masalah ekonomi pribadi dan karakteristik kepribadian bawaan. Faktor persoalan keluarga, dari hasil survei nasional secara konsisten menunjukkan bahwa orang menganggap bahwa hubungan pribadi dan keluarga sebagai sesuatu yang sangat berharga. Adanya permasalahan kesulitan pernikahan, pecahnya hubungan dan kesulitan menerapkan disiplin pada anak-anak merupakan contoh masalah hubungan yang menciptakan stres bagi karyawan dan terbawa ke tempat kerja.
Selanjutnya, selain persoalan dalam keluarga, masalah ekonomi juga dapat menyebabkan stres seseorang dalam pekerjaannya. Dimana, masalah ekonomi ini diciptakan oleh individu yang tidak dapat mengelola sumber daya keuangan mereka. Selain itu, karakteristik kepribadian bawaan juga mempengaruhi stres kerja pada seseorang. Faktor individu yang paling berpengaruh terhadap stres adalah kodrat kecenderungan dasar seseorang. Artinya gejala stres yang diungkapkan pada pekerjaan itu sebenarnya berasal dari dalam kepribadian orang itu.
Selain yang dijelaskan di atas tentang faktor-faktor yang menyebabkan stress, penulis juga akan menjelaskan tentang dampak dari stress ketika seorang mengalami stres kerja, diantaranya terdiri dari gejala fisik, psikis dan perilaku. Yang dimaksud gejala fisik adalah bahwa sebagian besar kalangan medis dan kesehatan menjelaskan stres dapat berpengaruh secara langsung terhadap fisik. Stres kerja secara langsung dapat menyebabkan perubahan metabolisme dalam tubuh, meningkatkan tensi jantung, sesak nafas dan tekanan darah, sakit kepala, serta dapat juga menyebabkan serangan jantung.
            Sedangkan berhubungan dengan gejala psikis, kepuasan kerja merupakan contoh yang paling sederhana menggambarkan tentang tingkat stres kerja. Tetapi stres itu sendiri dapat ditunjukkan dengan melihat adanya kecemasan, sifat mudah marah, bosan, dan sifat suka menunda-nunda pekerjaan. Pekerjaan dengan banyaknya tuntutan dan konflik yang terjadi atau adanya ketidakjelasan tugas, otoritas dan tanggungjawab dapat meningkatkan stres dan ketidakpuasan kerja. Kemudian berhubungan dengan gejala perilaku dapat ditunjukkan dengan penurunan produktivitas, ketidakhadiran, dan tingkat turnover karyawan, perubahan porsi makan, merokok atau mengkonsumsi alcohol, perasaan gelisah dan gangguan tidur.
Dari penjelasan di atas, Mujib (2012) menjelaskan bahwa manusia (human  capital) merupakan modal utama  dalam organisasi  modern. Dimana, manusia  sebagai modal  utama,  bukan  hanya  sebagai  objek yang mengikuti program  organisasi secara deterministik,  tetapi  juga  sebagai  subjek yang  diharapkan  mampu  mengembangkan  organisasi.  Dengan  pemahaman ini,  pengembangan  organisasi  harus  seiring  dengan  tuntutan  pemenuhan  kebutuhan  manusia  yang  semakin  kompleks agar dapat memberikan kepuasan kerja terhadap karyawannya.

Islam dan Stres Kerja
Islam telah memberikan pedoman kepada seluruh umat manusia bahwa Al Quran selain sebagai petnjuk hidayah bagi seseorang, Ia juga berfungsi sebagai obat yang mujarab untuk mengatasi segala permasalahan hidup di dunia ini. Al Quran dengan segala isinya menjelaskan bahwa hidup ini hanyalah untuk beribadah. Al Quran juga memerintahkan kepada manusia untuk bekerja sesuai syariat agama. Hal ini dijelaskan dalam QS Jumu’ah ayat 10 sebagai berikut:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (١٠)

Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.”
Bekerja merupakan perintah langsung dari Allah kepada umat manusia agar mereka mencari penghidupan di dunia sebagai bekalan di akhirat. Bekerja menurut Islam bukan hanya sebatas untuk mendapatkan uang untuk tetap bertahan hidup. Tapi lebih kepada bagaimana seorang Muslim mampu menempatkan diri di lingkungan yang berbeda untuk menjalin habluminannas, selain juga upaya mendekatkan diri kepada Allah. Tanpa bekerja, manusia hanya akan menjadi makhluk yang lemah dan tidak mempunyai daya apapun untuk menolong dirinya sendiri di dunia, apalagi menolong orang lain dalam hidup bermasyarakat.
Tuntutan pekerjaan saat ini, membuat sebagian orang merasa frustasi dan stres karena beban dan tanggungjawab yang terlalu besar. Perasaan semacam ini seringkali menghinggapi pikiran kita bahwa betapa dunia ini kejam membuat kita harus selalu merasa lelah dan tidak berdaya menghadapi persaingan global yang terjadi saat ini. Pada akhirnya stres karena tuntutan pekerjaan yang terlalu berat menjadikan manusia berputus asa dari rahmat Allah Swt. Padahal Allah sudah memperingatkan dalam Qs Yusuf ayat 87:
يَا بَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ ۖ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
Artinya: “Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir".

Tentu hal ini bukan menjadi sesuatu yang kita inginkan. Sebagai orang yang beriman, kita tentu mengetahui bagaimana Allah memberikan kemudahan di setiap kesulitan yang kita hadapi. Hal tersebut dijelaskan dalam Qs Al Insyirah ayat 5 yang artinya; “Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”. Seorang Muslim yang beriman, harus mempunyai sifat religiusitas yang menjadikannya berbeda dengan umat di dunia ini. Religiusitas diartikan Mujib (2012) sebagai  manifestasi  sejauhmana individu  meyakini,  mengetahui,  memahami,  menghayati,  menyadari  dan  mengamalkan  ajaran  agama  yang  dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut, Mujib (2012) menjelaskan religiusitas, yang bersumber dari agama Islam, memberi dorongan bagi umatnya untuk beramal shaleh agar mendapat balasan yang terbaik (QS. Al-Baqarah:277; alNisa’:173; al-Maidah:9) dan menyerukan bekerja keras untuk  melaksanakan amanah yang diterima. Hal itu mengandung arti bahwa religiusitas mendorong individu untuk memiliki motivasi berprestasi dalam bekerja.

Nabi Muhammad SAW. pernah mengajarkan doa kepada Abdullah bin Abbas, Beliau berkata: maukah engkau aku ajarkan doa yang kalau engkau ucapkan, Allah akan menghilangkan atau melenyapkan kesusahan dan melunaskan hutang-hutangmu?, doa tersebut adalah:
اللَّـــهُمَّ اِنِّى اَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْحَـمِّ وَالْحَزَنِ وَاَعُوْذُبِكَ مِنَ الْعَجْـِز وَاْلكَسَلِ  
 وَاَعُوْذُبِكَ مِنَ الْجُـبْنِ وَالْبُخْـلِ وَاَعُوْذُبِكَ مِنْ غَلَبَتِ الدَّيْنِ وَقَـهْرِ الرِّجَالِ 
Ya Allah ya Tuhan kami, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu daripada keluh kesah dan dukacita, aku berlindung kepada-Mu dari lemah kemauan dan malas, aku berlindung kepada-Mu daripada sifat pengecut dan kikir, aku berlindung kepada-Mu daripada tekanan hutang dan kezaliman manusia.” (HR Abu Dawud 4/353)
            Delapan sifat yang dijelaskan dalam do’a Nabi tersebut merupakan sumber stres yang banyak menimpa kehidupan manusia. Maka Nabi menganjurkan kepada umatnya agar terhindar dari delapan sifat yang mengakibatkan penyakit hati pada manusia tersebut.
Eustress vs Distress
Najati (2001) menjelaskan bahwa setiap orang mempunyai dorongan atau motivasi pada dirinya sendiri, sebagai kekuatan penggerak yang membangkitkan aktivitas pada makhluk hidup dan menimbulkan tingkah laku serta mengarahkannya menuju tujuan tertentu. Najati (2001) juga menyatakan bahwa para ahli psikologi modern membagi dorongan-dorongan tersebut menjadi dua bagian: pertama, dorongan-dorongan fisiologis, yaitu dorongan-dorongan naluriah yang berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan fisiologis tubuh dan kekurangan atau rusaknya keseimbangan yang terjadi dalam jaringan tubuh. Ia mengarahkan tingkah laku individu pada tujuan-tujuan yang bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisiologis tubuh, atau menutupi kekurangan yang menimpa jaringan-jaringan tubuh, serta mengembalikannya pada keseimbangan, sebagaimana kondisi semula. Kedua, dorongan-dorongan psikis dan spiritual. Dorongan-dorongan ini berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan psikis dan spiritual manusia.
            Berhubungan dengan stres kerja, secara fisik ketika seseorang mempunyai banyak tekanan dan beban tanggung jawab yang harus diselesaikan, serta merasa telah berada di ujung tanduk, maka setiap orang mempunyai cara yang berbeda mengatasi stres kerjanya masing-masing. Selye (1974) menjelaskan bahwa setiap orang mempunyai persepsi dan reaksi emosional yang berbeda dalam menghadapi stres. Berdasarkan jenisnya, Selye (1974) membagi stres menjadi dua, yaitu:
  1. Eustres; yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif dan konstruktif (bersifat membangun). Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu bersikap positif bahwa ujian hidup atau beban kerja akan dapat diselesaikan dengan baik. Hal ini tertuang dalam QS Al Insyirah ayat 5-6, sebagai berikut:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا 
Artinya: “Karena sesungguhnya bersama setiap kesulitan ada kemudahan” (5)
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
Artinya: “Sesungguhnya bersama setiap kesulitan ada kemudahan” (6)
Contoh eustres yang bisa kita jumpai dalam lingkungan sekitar kita adalah ketika seseorang mengerjakan tugas pada waktu yang sudah ditentukan (deadline), maka tugas tersebut akan dapat diselesaikan dengan baik. Atau seseorang menjalani serangkaian aktivitas dalam hidupnya dengan berbagai pencapaian-pencapaian untuk menjadikan hidupnya berkulitas. Mujib (2012) menjelaskan bahwa berprestasi merupakan  syarat  dalam  rangka  merealisasikan  amanah  Allah  SWT untuk menjadi khalifah-Nya di muka bumi. Sedangkan kualitas hidup dalam perspektif agama dapat dilihat dari prestasi yang diberikan untuk kehidupannya.
  1. Distres; yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif dan destruktif (bersifat merusak). Kebalikan dari eustres menurut Selye (1997) adalah distres. Distres bersifat negatif. Hal ini dijelaskan dalam Qs. Al Isra’ ayat 83 yaitu sebagi berikut:
وَإِذَا أَنْعَمْنَا عَلَى الْإِنْسَانِ أَعْرَضَ وَنَأَىٰ بِجَانِبِهِ ۖ وَإِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ كَانَ يَئُوسًا
“Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia; dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa”
Contoh yang nyata tentang distres dalam kehidupan sehari-hari yang dapat kita jumpai adalah ketika seorang merasa frustasi, banyaknya tuntutan pekerjaan dari bos, lingkungan serta rekan kerja yang tidak saling support, orang akan mencari ketenangan dengan mengonsumsi obat-obat terlarang seperti narkotika. Hal ini dijelaskan dalam Najati (2001), bahwa ketika seseorang berlebihan dalam memenuhi berbagai dorongan, dan tidak mampu untuk mengendalikan dan menguasainya, maka akan mengakibatkan penyimpangan dorongan-dorongan itu dari tujuan yang sebenarnya.
Sebagai seorang muslim yang beriman, sudah tentu kita harus mampu menjaga diri dari godaan-godaan yang akan menyesatkan kehidupan ini ketika kita merasa beban hidup ini terlalu berat, atau kita disebut sebagai orang kafir jika berputus asa dari rahmat Allah Swt., seperti yang telah penulis jelaskan di atas. Dalam Qs. Al Mulk ayat 2 dijelaskan bahwa:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“(Allah-lah) yang menciptakan kematian dan kehidupan supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalannya. Dia adalah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” 
Dalam tafsir Al Baghawi menyebutkan sebuah perkataan yang sangat indah dari seorang alim yang bernama Al Fudhail bin ‘Iyadh tentang tafsir dari Al Mulk ayat 2, dimana Al Fudhail berkata: “(أَحْسَنُ عَمَلًا = yang lebih baik amalannya) adalah yang amalan paling ikhlas dan paling benar.”
Mengatasi Stress dalam Islam
1. Beriman kepada Allah
Najati (2001) menjelaskan keimanan kepada Allah Swt akan memberikan perasaan aman dan terhindar dari goncangan beban hidup yang membuat sebagian orang berputus asa. Hal ini dijelaskan dalam Qs Al An’am ayat 82, yang artinya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itulah adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Selain itu, Qs. Ar-Ra’d ayat 28 juga menjelaskan hal yang sama, bahwa: “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.
2. Kesadaran Berkelompok
Bekerja pada suatu organisasi atau industri artinya kita menjadi bagian dari tubuh organisasi. Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan pertolongan orang lain. Segala beban pekerjaan akan terasa lebih ringan ketika seseorang bekerja sama dengan orang lain secara baik. Najati (2001) menjelaskan bahwa Al Quran memberi dorongan kepada orang beriman untuk mencintai saudara-saudara sesamanya, berbuat baik dan memberi pertolongan kepada yang lain. Al Quran juga memberi dorongan kepada kaum muslimin untuk bekerjasama, setia kawan dan membentuk suatu masyarakat yang dilandasi oleh kesatuan kata dan solidaritas, dimana masing-masing anggotanya merasakan bahwa dirinya adalah bagaikan batu bata dalam satu bangunan yang utuh. Hal ini seperti dijelaskan dalam firman Allah dalam Qs. Al Maidah ayat 2 yang artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
3. Memperbanyak Bersedekah
Salah satu perkara yang menyebabkan jiwa sentiasa tertekan dan tidak tenang ialah harta. Orang yang kikir sentiasa disempitkan oleh Allah swt. Hati dan akhlaknya kerana bakhil dengan kurniaan Allah swt. Dalam keadaan ini, pemberian sedekah hendaklah semata-mata karena Allah, malah ketika seseorang itu berasa bakhil dan sangat sayang akan hartanya, maka bersedekahlah bagi mendapatkan keberkatan yang lebih.
4. Bersangka Baik Terhadap Allah SWT
Kita hendaklah berbicara positif serta penuh pengharapan kepada Allah swt. Hal ini karena setiap lafaz yang di ucapkan itu adalah doa, dan karena Allah sesuai prasangka hamba-Nya.
5. Tawakkal
Yaitu berserah diri kepada Allah, setelah melakukan sesuatu pekerjaan secara maksimal. Kemudian menaruh pengharapan hanya kepada Allah tentang hasil dari apa yang telah diselesaikan.
6. Sabar
Menurut Najati (2001), seorang mukmin yang sabar, tidak akan bersedih hati atas derita yang menimpanya, dan juga tidak akan lemah, manakala mendapat cobaan dan bencana. Artinya ketika kita merasakan pekerjaan yang membuat stres, yang harus dilakukan adalah bersabar. Disebutkan dalam Qs Muhammad ayat 31 yang artinya: “Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu; dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu.” Dalam Qs Yusuf ayat 18 juga disebutkan bahwa bersabar itu lebih indah, dan hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan.


Kesimpulan
Sebagai seorang muslim yang beriman sudah tentu bahwa tempat kembali kita adalah hanya kepada Allah. Segala pekerjaan yang kita lakukan jika diniatkan semata-mata mencari keridhaan Allah, maka sesulit apapun pekerjaan tersebut akan menjadi ringan dan mudah untuk diselesaikan. Bekerja merupakan bagian dari ibadah. Tentunya pekerjaan yang halal dan diridhoi oleh Allah Swt. Ketika segala yang kita lakukan diniatkan hanya untuk beribadah kepada Allah, Insya Allah kita akan terhindar dari beban dan stress yang berat dalam menyelesaikan pekerjaan. Semoga kita termasuk orang-orang yang senantiasa mendapatkan petunjuk dan pertolongan dari Allah Swt. Amin.

  
DAFTAR PUSTAKA

Baqutayan, Shadiya. (2011). An inoovative Islamic counseling. International Journal of Humanities and Social Science. Malaysia: Universiti Teknologi Malaysia International Campus.


Joseph, Tenibiaje. (2013). Work related stress. European Journal of Business and Social Sciences. Department of Guidance and Counselling Faculty of Education: Ekiti State Universit.

McGowan, Gardner, and Fletcher. (2006). Positive and negative affective outcomes of occupational stress. New Zeland journal of Psychology.

Mujib, Abdul. (2012). Motivasi berprestasi sebagai mediator kepuasan kerja. Jurnal Psikologi. Jakarta: Fakultas Psikologi UIN SYarif Hidayatullah Jakarta.

Najati, Usman. (2001). Al quran dan psikologi. Jakarta: Aras Pustaka.

Robbins. (2013). Organizational behavior. The United States of America: Pearson Education Limited.

Selye, Hans (1974). Stress without distress. Philadelphia; New York: J.B. Lippincott.

Sharif, Behjat. (2000). Understanding and managing job stress: A vital dimension of workplace violence prevention. The International Electronic Journal of Health Education. California State University at Los Angeles.




1 komentar: