Kamis, 25 Februari 2016

ISLAM DAN KECERDASAN EMOSIONAL (EFRI YANI)

ISLAM DAN KECERDASAN EMOSIONAL
EFRI YANI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dulu, semua orang beranggapan bahwa seseorang yang cerdas adalah mereka yang memiliki IQ tinggi. Namun kenyataannya, angka IQ yang tinggi bukanlah jaminan bagi kesuksesan seseorang di masa depan kelak. Sering ditemukan dalam proses belajar mengajar di sekolah, siswa yang tidak dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan kemampuan inteligensinya. Ada siswa yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi, tetapi memperoleh prestasi belajar yang relatif rendah. Tetapi, ada siswa yang walaupun kemampuan inteligensinya relatif rendah, ia bisa meraih prestasi belajar yang relatif tinggi. Itu sebabnya, taraf inteligensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan seseorang.  Ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu kecerdasan emosional.
Individu yang memiliki tingkat kecerdasan emosional (EQ) yang lebih baik, cenderung dapat menjadi lebih terampil dalam menenangkan dirinya dengan cepat, jarang tertular penyakit, lebih terampil dalam memusatkan perhatian, lebih baik dalam berhubungan dengan orang lain, lebih cakap dalam memahami orang lain, dan untuk kerja akademis di sekolah lebih baik. Lebih lanjut, Kecerdasan emosional juga  menjadikan seseorang memiliki kemampuan untuk memotivasi diri sendiri serta tetap bersemangat untuk menghadapi berbagai kesulitan yang mungkin dihadapinya.
Menurut Goleman, dalam bukunya Emotional Intelligence menyatakan bahwa kontribusi kecerdasan intelektual (IQ) bagi keberhasilan seseorang hanya menyumbang 20% , sedangkan 80% adalah sumbangan faktor-faktor kekuatan lain di antaranya adalah kecerdasan emosional (EQ). Jelasnya, kalau IQ mengangkat  fungsi pikiran, maka EQ mengangkat fungsi perasaan. Orang yang ber-EQ tinggi akan berupaya mensinergikan intelektualnya dengan perasaannya, keseimbangan antara IQ dan EQ merupakan kunci keberhasilan seseorang.
Melihat pentingnya kecerdasan emosional bagi setiap orang seperti yang sudah dikemukakan dalam paparan di atas, dan masih belum banyak pembahasan tentang kecerdasan emosional yang dikaitkan dengan islam. Maka penulis tertarik untuk memilih tema tentang Islam dan Kecerdasan Emosional untuk dibahas dalam makalah ini
1.2 Rumusan Masalah
1) Apa pengertian kecerdasan emosional?
2) Apa kekayaan emosi manusia?
3) Bagaimana kecerdasan emosional dalam perspektif islam?
4) Bagaimana kecerdasan emosional dalam perspektif sufistik ?
5) Bagaimana pengaturan emosi?
6) Bagaimana peristiwa Emosional dalam Al-Quran?
1.3 Tujuan Penulisan Makalah
1.3.1 Tujuan umum
Untuk memaparkan dan memberikan pemahaman mengenai islam dan kecerdasan emosional
1.3.2 Tujuan khusus
1) Mengerti mengenai kecerdasan emosional
2) Mengetahui kekayaan emosi manusia
3) Mengetahui kecerdasan emosional dalam perspektif islam
4) mengetahui kecerdasan emosional dalam perspektif sufistik
5) Mengetahui bagaimana pengaturan emosi
6) Mengetahui peristiwa Emosional dalam Al-Quran
1.4 Manfaat Penulisan Makalah
Makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan para pembaca mengenai kecerdasan emosional khususnya kecerdasan emosional dalam perspektif islam. Para pembaca diharapkan dapat memahami konsep kecerdasan emosional dalam islam serta dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari dan dalam perkembangan ilmu pengetahuan yaitu ilmu psikologi.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kecerdasan Emosional                                                                                 
Kecerdasan emosional terdiri dari dua kata yakni: kecerdasan dan emosional. Kata Kecerdasan dalam bahasa inggris disebut intelligence dan dalam bahasa arab disebut al-zaka. Menurut arti bahasa adalah pemahaman, kecepatan, dan kesempurnaan sesuatu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan kecerdasan adalah kesempurnaan perkembangan akal budi, kepandaian, ketajaman pikiran (dalam Sukring, 2003). Sementara Howerd Gardner (dalam Efendi dan Praja, 1985) mengatakan kecerdasan adalah kemampuan memecahkan masalah atau menciptakan sesuatu yang bernilai bagi budaya tertentu. David Wechsler (dalam Sukring, 2003) mengemukakan kecerdasan  adalah sebagai totalitas kemampuan seseorang untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berpikir secara rasional, dan mnghadapi lingkungannya dengan efektif. Dengan demikian, kecerdsasan merupakan suatu kemampuan untuk mengarahkan, memahami, dan menyesuaikan jiwa, fikiran, tindakan, serta menyelesaikan masalah yang dihadapi secara tepat.  
Kata emosional berasal dari bahasa inggris, emotion yang berarti keibaan hati, suara hati, suara yang mengandung emosi, pembelaan yang penuh perasaan. Menurut Crow & Crow, emosi merupakan suatu keadaan yang bergejolak pada diri individu yang berfungsi sebagai inner adjustment  (penyesuaian dalam diri) terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu (Hartati, dkk, 2004). Definisi yang lebih jelas mengartikan bahwa emosi adalah suatu gejala psiko-fisiologis yang menimbulkan efek pada persepsi, sikap, dan tingkah laku, serta mengejawantah dalam bentuk ekspresi tertentu. Misalnya, emosi senang (joy) yang berkombinasi dengan penerimaan (acceptance) akan melahirkan cinta (love); emosi sedih (sadness) yang berkombinasi dengan kejutan (surprise) melahirkan kekecewaan mendalam (disappointment); cinta (love) berkombinasi dengan marah (anger) melahirkan kecemburuan (jealousy) (Hude, 2006).
Menurut Daniel Goleman (2002) kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan intelegensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression); melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Ary Ginanjar (2001) secara sederhana mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kecerdasan merasa, kecerdasan merasa erat kaitannya dengan qalbu (hati). Seorang yang memiliki kecerdasan emosional senantiasa mampu mendengarkan suara hati, sebagai bagian dari fitrahnya.
Beberapa pengertian di atas memberikan suatu pemahaman bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk mengenali, mengelola, dan mengekspresikan dengan tepat, termasuk untuk memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta membina hubungan dengan orang lain. Dalam hal ini yang berperan adalah hati. Hati mengaktifkan nilai-nilai yang paling dalam, mengubahnya dari sesuatu yang dipikir menjadi sesuatu yang dijalani. Hati mengetahui hal-hal yang dapat atau tidak dapat diketahui oleh pikiran. Hati adalah sumber keberanian dan semangat, integritas, dan komitmen (Wijaya, 2007)

2.2 Kekayaan Emosi Manusia
Selain memiliki pembawaan emosi yang bersifat unik, manusia memiliki kekayaan dalam mengeskpresikan emosinya. Kekayaan ini dapat dilihat dari muatan, intensitas, dan juga jenis emosi yang dilkeluarkan pada saat menghadapai atau mengalami sesuatu (Aliah B, 2008).
Banyak ayat-ayat Al-Quran dan Hadits menggambarkan emosi dengan muatan yang berbeda, yaitu emosi posistif dan emosi negatif. Kedua jenis muatan emosi yang berlawanan ini bahkan sering dipasangkan untuk menimbulkan efek kontradiktif yang menguatkan makna kalimat. Dalam Al-Quran antara lain diceritakan :
Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang mereka kerjakan. (QS Al-Taubah (9):82)
Hari yang pada waktu itu ada muka yang menjadi putih berseri, dan ada pula muka yang menjadi hitam muram. Adapun yang menjadi hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan) “kenapa kamu kafir setelah kamu beriman ? karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. “ (QS Ali Imran (3):106)
Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa dan gembira ria, dan banyak pula muka pada hari itu tertutup debu, dan ditutup lagi  oleh kegelapan. (QS Abasa (80): 38-41)
Sedangkan dalam hadits antara lain :
“Tali hubungan keimanan yang paling kuat ialah cinta karena Allah dan benci karena Allah. “  (HR Ath Thabrani)
Al-Quran juga banyak menggambarkan bahwa satu kualitas emosi memiliki tingkatan intensias tertentu. Satu peristiwa yang sama dapat membuat banyak orang mengeluarkan respons emosional yang berbeda-beda intensitasnya. Persaan senang, misalnya dapat muncul dalam respons tersenyum, tertawa, atau respons lain yang lebih. Hal ini digambarkan dalam Al qur’an, sebagi berikut :
Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa dan gembira ria, dan banyak pula muka pada hari itu tertutup debu, dan ditutup lagi oleh kegelapan. (QS Abasa (80): 38-41)
Seseorang juga dapat membuat respons berurutan yang menunjukkan intensitas emosi yang dimilikinya. Dalam Al-Quran dinyatakan :
Sesudah itu dia bermasam muka dan merengut, kemudian dia berpaling dan menyombongkan diri. (QS Al-Mudatsir (74): 22-23)
Dalam memberikan petunjuk kepada manusia, Al-Quran dan Hadits banyak membahas tentang berbagai jenis ekspresi emosional manusia ketika menghadapi atau mengalami sesuatu. Ekspresi yang ditampilkan sangat kaya, termasuk emosi primer dan emosi sekunder.
2.2.1        Emosi Primer
Menurut Aliah (2008) emosi primer adalah emosi dasar yang dianggap terberi secara biologis. Emosi ini telah terbentuk sejak awal kelahiran. Al-Quran dan Hadits banyak membahas tentang emosi primer yang dimiliki manusia. Diantara emosi primer yang dibahas adalah gembira, sedih, marah, dan takut. Masing-masing emosi ini digambarkan dalam situasi yang berbeda-beda. Kekayaan masing-masing emosi tergambar dalam paparan setiap ayat. Ayat yang memperlihakan kegembiraan, antara lain :
Banyak muka pada hari itu berseri-seri, karena senang akan usahanya. Dalam sorga yang tinggi. (QS Al-Ghasiyah (88):7-10)
Dan istrinya berdiri (disampingnya) lalu dia tersenyum, maka kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang kelahiran Ishaq dan sesudah Ishaq (lahir pula) (QS Ya’qub. (QS Hud (11):71)
Ayat yang menunjukkan kesedihan, diantaranya :
Dan Ya’qub berpaling dari mereka seraya berkata : “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf”, dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya. (QS Yusuf (12): 84)
Karena itu Allah menimpakan kesedihan atas kesedihan, supaya kamu jangan bersedih hati terhadap apa yang luput daripada kamu dan terhadap apa yang menimpa kamu…. (QS Ali Imran (3):153)
Ayat yang mengandung kemarahan, antara lain :
Dan tatkala Musa kembali kepada kaumnya, dengan marah dan sedih hati, maka berkatalah ia : “Alangkah buruknya perbuatan yang kalian kerjakan sesudah kepergianku… “ (QS Al-A’raf (17):150)
“Ingatlah, sesungguhnya marah itu adalah bara api  yang terdapat dalam hati anak Adam. Tidakkah kalian melihat warna merah kedua matanya dan urat-urat lehernya yang mengembang (ketika sedang marah) ?” (HR Ath Thurmudhi)
Sedangkan ayat yang menggambarkan rasa takut, misalnya :
Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat, mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena petir, sebab takut akan mati…. (QS Al-Baqarah (2) :19) 
2.2.2        Emosi sekunder
Selain emosi primer, juga terdapat emosi sekunder. Menurut Aliah (2008) emosi sekunder adalah emosi yang lebih kompleks dibandingkan emosi primer. Emosi sekunder adalah emosi yang mengandung kesadaran diri atau evaluasi diri, sehingga pertumbuhannya tergantung pada perkembangan kognitif seseorang. Berbagai emosi sekunder dibahas dalam Al-Quran, antara lain malu, iri hati, dengki, sombong, angkuh, bangga, kagum, takjub, cinta, benci, bingung, terhina, sesal, dan lain-lain. Contoh-contoh ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut :
Kemudian datanglah kepada musa salah seorang dari kedua perempuan itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata : “ Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadapmu memberi minum (ternak) kami.”….. (QS Al-Qashash (28):25)
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain….(QS Al-Nisa (4):32)
Dan mereka (ahli kitab) tidak terpecah belah belah melainkan sesudah datangnya pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka. (QS Al-Syura (42):14)

2.3  Kecerdasan Emosional dalam Perspektif Islam
2.3.1 Pandangan Al-Quran  tentang Emosional
Dalam perspektif islam, segala macam emosi dan ekspresinya diciptakan oleh Allah swt, melalui ketentuannya (dalam Sukring, 2013). Emosi diciptakan oleh Allah swt., untuk membentuk manusia yang lebih sempurna, dalam Q.S Al-Najm/53:43-44.
Dan  bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis, dan bahwasanya dialah yang mematikan dan menghidupkan.

Nasaruddin Umar (Sukring, 2013) mengatakan di dalam Al-Quran aktivitas kecerdasan emosional sering dihubungkan dengan hati yang dapat ditelusuri melalui kata kunci kalbu, dan istilah lain yang mirip dengan fungsi kalbu adalah jiwa, intuisi, dan beberapa istilah lainnya. Berbeda dengan Hamdan Rasyid mengatakan dalam islam kecerdasan emosional disebut juga dengan akhlak, yaitu daya kekuatan jiwa yang mendorong perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikirkan serta dirumuskan lagi. Jadi akhlak pada dasarnya sikap yang melekat pada diri seseorang secara spontan yang diwujudkan dalam tingkah laku atau perbuatan. Menurut Mujib (2012) akhlak merupakan kondisi lahir dan batin manusia, Akhlak terbagi menjadi akhlak baik dan akhlak buruk. Akhlaq baik (akhlaq mahmudah), seperti sabar, syukur, ikhlas, qana’ah, rendah hati (tawadhu’), jujur (sidq), dermawan (jud), amanah, pemaaf, dan lapang dada. Akhlaq buruk (akhlaq madzmumah) seperti gampang marah (ghadhab), kufur nikmat, riya’, rakus (thama’), sombong (takabur), dusta (kidb), pelit (syukh), khianat, dendam, dan dengki. Pengertian tersebut menunjukkkan, bahwa akhlak berkaitan langsung dengan kalbu, karena kalbu adalah wadah menampung kebaikan dan keburukan, sabda Nabi Saw:
“Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila ia baik maka semua tubuh menjadi baik, tetapi apabila ia rusak maka semua tubuh menjadi rusak. Ingatlah bahwa ia adalah kalbu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Nu’man ibn Basyir)

Sedangkan akhlak adalah ekspresi jiwa dimana jiwa telah diilhami jalan takwa dan jalan kefasikan itulah akhlak, dan akhlak ada yang baik dan ada yang buruk. firman Allah Swt., dalam Q.S Al-Syams/91:8.
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
Secara spesifik Al-Quran menggambarkan tentang adanya emosi positif dan emosi negatif. Aliah B. Purwakania Hasan (Sukring, 2013) mengatakan, bahwa Al-Quran juga mengisyaratkan bahwa satu kualitas emosi memiliki tingkatan intensitas tertentu. Satu peristiwa yang sama dapat membuat banyak mengeluarkan respon emosional yang berbeda-beda intensitasnya. Persaan senang, misalnya dapat muncul dalam respon tersenyum, tertawa, atau respon lain yang lebih. Perhatikan Q.S ‘Abasa/80:38-41.
M. Sayid Muhammad al-za’balawi (2013) mengemukakan bahwa Al-Quran dan Hadits mengandung banyak sekali isyarat-isyarat yang dapat digunakan untuk menunjukkan jenis emosi dan seberapa jauh kekuasaannya atas jiwa, kuat atau lemah. hal tersebut dapat diperhatikan di dalam Al-Quran dan Hadits banyak yang membahas mengenai ekspresi emosional. Allah membagi ekspresi emosional menjadi dua yaitu emosi primer dan emosi sekunder.
·         Emosi Primer
Emosi primer adalah emosi dasar yang dianggap telah ada secara biologis. Emosi ini telah terbentuk secara awal kelahiran. Al Qur’an dan Hadits membahas tentang emosi primer yang dimiliki manusia. Di antara emosi primer dibahas adalah gembira (Q.S Hud/11:71), sedih (Q.S. Yusuf/84,marah (Q.S. al-‘araf/7:150, dan takut (Q.S. al-Naml/27:10.)
·         Emosi sekunder
            Emosi sekunder adalah emosi yang kompleks dibanding emosi primer. Emosi sekunder adalah emosi yang terindikasi kesadaran diri, atau evaluasi diri, sehingga pertumbuhannya bergantung pada perkembangan kognitif seseorang. Bermacam emosi sekunder dijelaskan dalam Al Qur’an anatar lain, malu (Q.S al-Qasas/28:25), iri hati (Q.S. al-Nisa/4:32), dengki (Q.S. al-syura/42:14), sombong (Q.S luqman/31:18), kagum,takjub (Q.S al-jin/72:1-2).
            Ekspresi emosi tersebut, mengindikasikan adanya realitas ekspresi jiwa seseorang yang tidak konsisten, inkosistensi tersebut karena kondisi jiwa yang merespon faktor luar yang masuk dalam jiwanya, sehingga memengaruhi kesadarannya. Tanda-tanada ekspresi emosi yang digambarkan Al-Qur’an di atas, berkaitan dengan kondisi jiwa yang di dalam jiwa itu ada hawa nafsu. M. Qurais Shihab mengatakan bahwa hawa nafsu tidak pernah puas, selalu senantiasa mengajak manusia kepada hal-hal negatif. Menurutnya, dengan kecerdasan emosional manusia  mampu mengendalikan nafsu, bukan membunuh dan menafikan. Pengendalian diri, dan bukan penyangkalan dan peniadaan pribadi. Emosi dan nafsu yang terkendali sangat dibutuhkan. Sebab merupakan faktor yang memotivasi terlaksananya misi kekhalifahan di bumi.kecerdasan emosional manusia akan mampu mengarahkan nafsu kepada hal-hal yang positif, sehingga tidak jatuh pada hal-hal negatif. Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa manusia memiliki hawa nafsu yang mendorong, mengajak manusia untuk memuaskan jiwanya dari segi materi, dan urusan dunia. Orang yang dapat mengendalikan nafsunya merupakan ciri orang yang memiliki kecerdasan kalbu (emosional).
2.3.2   Pandangan Hadits Tentang Emosional
Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Sa’id al khudri bahwa Rasulullah saw., bersabda :
Artinya : ingat, diantara mereka ada yang lamban marah dan cepat sadar, ada juga yang cepat marah dan cepat sadar, maka iu sebagai ganti yang itu, ingat, diantara mereka ada yang cepat marah dan lamban sadar, ingat yang terbaik dari mereka adalah yang lamban marah tapi cepat sadar, ingat yang terburuk dari mereka adalah yang cepat marah dan lamban sadar. (HR. Tirmidzi)
Hadits di atas, mengisyaratkan adanya perbedaan gejolak emosional pada masing-masing individu, Rasulullah saw membagi manusia berdasarkan gejolak emosinya menjadi tiga golongan :
1)      Orang yang tidak mudah marah, jarang sekali marah. Jika ia marah, ia segera meredam kemarahannya  dan kembali menenangkan diri. Kelompok pertama ini adalah golongan orang yang paling utama.
2)      Orang yang cepat marah hanya gara-gara urusan remeh, tetapi juga bisa cepat meredam amarahnya.
3)      Orang yang cepat marah dan tidak mudah menghentikan kemarahannya. Ia akan mampu meredam amarahnya jika sudah cukup lama berlalu. Kelompok ketiga inilah yang tergolong kelompok paling buruk.     
2.4  Kecerdasan Emosional dalam Perspektif Sufistik
Menurut Daniel Goleman (2003) kecerdasan emosional mencakup kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati dan keterampilan sosial. Dilihat dari pespektif sufistik unsur-unsur kecerdasan emosional itu juga ada dalam tasawuf (dalam Tebba, 2003). Misalnya kesadaran diri dalam tasawuf disebut muhasabah. Muhasabah berarti melakukan perhitungan, yaitu perhitungan terhadap diri sendiri mengenai perbuatan baik buruk yang pernah dilakukan. Tujuannya adalah mengurangi atau kalau bisa menghilangkan perbuatan buruk dan meningkatkan perbuatan baik.
Konsep muhasabah sering dikaitkan dengan ucapan Ali bin Abi Thalib yang mengatakan bahwa orang harus menghitung diri sendiri sebelum dihitung amalnya oleh Allah. Selain itu sebagian pakar tasawuf ada yang mengaitkan konsep muhasabah dengan Abu Abdullah al Harits bin Asad al Muhasibi (w.243 H/857 M), seorang sufi dari Bagdad. Al Muhasibi sering menggunakan konsep muhasabah dalam ajaran tasawufnya. Menurut Al Muhasibi, motivasi manusia untuk melakukan perhitungan diri sendiri mengandung harapan dan kecemasan, dan perhitungan itu merupakan landasan perilaku yang baik dan takwa.
Kemudian pengaturan diri dalam tasawuf banyak kesamaannya dengan sabar. Sabar berarti menahan, maksudnya menahan diri dari keluh kesah ketika menjalankan ajaran Tuhan dan sewaktu mengahadapi musibah. Jadi, sabar meliputi urusan dunia dan akhirat. Banyak ayat Al Qur’an yang memerintahkan kita untuk selalu bersabar, antara lain ayat 200 surat Ali imran: “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu”.
Kesabaran ada beberapa macam. Pertama ialah bersabar untuk menjauhi larangan allah, seperti berzina, mabuk, berjudi, mencuri dan korupsi. Kedua adalah sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, memeliharanya terus menerus, menjaganya dengan ikhlas dan memperbaikinya dengan pengetahuan. Dalam islam ada perintah menjalankan ibadah, seperti shalat,puasa,zakat, dan haji. Kemudian ada perintah berlaku jujur, membantu sesama yang lemah dan sebagainya. Ketiga adalah sabar ketika menghadapi musibah, seperti kematian, kecelakaan, usaha bangkrut, dipecat dari pekerjaan, difitnah, dan sebagainya. Orang harus bersabar dalam menghadapi musibah, karena musibah itu merupakan cobaan dari allah, apakah ia dapat menjalaninya dengan sabar atau berkeluh kesah. Kemudian harus ingat bahwa nikmat yang telah diterima dari Tuhan selama ini masih lebih besar daripada musibah yang menimpanya.
Lalu motivasi dalam tasawuf banyak kesamaannya dengan raja’  (harapan atau optimisme). Sebab orang yang memiliki motivasi biasanya optimistis dan sebaliknya orang yang optimistis dalam hidupnya biasanya memiliki motivasi. Dalam tasawuf raja’ berarti bersikap optimistis terhadap rahmat Allah. Tetapi optimisme bertingkat-tingkat. Tingkat yang paling tinggi adalah harapan para sufi untuk mendekat dan bertemu dengan Allah. Sedang bagi orang awam atau orang yang bukan sufi, raja’ berarti mengharap kesejahteraan di dunia dan keselamatan di akhirat. Orang yang selamat di akhirat adalah orang yang mendapat ampunan Allah. Karena itu, orang harus selalu bertaubat memohon ampunan Allah dan berharap Allah mengampuninya. Sedang optimisme dalam kehidupan dunia berarti berharap untuk mendapatkan kesejahteraan yang baik, seperti rizki yang banyak, kedudukan yang tinggi, menjadi orang yang berkuasa. Untuk mencapai hal ini orang harus bekerja keras dengan cara yang halal. Orang yang tidak mau berikhtiar, tetapi mengharapkan taraf kehidupan yang baik tidak disebut raja’, tetapi tamanni (berangan-angan). Orang harus memiliki raja’ dan tidak boleh tamanni.
Kemudian mengenai empati dalam perspektif sufistik bararti mempunyai sikap Itsar. Dalam Ihya’ Ulumuddin, Juz Tiga, karangan Imam Al Ghozali (tanpa tahun: 251) di sebutkan bahwa itsar berarti sikap dermawan terhadap harta benda walaupun dia sendiri membutuhkan. Sikap dermawan merupakan sikap yang mau menyerahkan barang kepada orang yang membutuhkan maupun yang tidak membutuhkan. Memberikan barang ketika dirinya sendiri lebih membutuhkan ini lebih berat dari pada ketika dirinya tidak sedang membutuhkanya. Dan inilah yang di sebut dengan itsar. Itsar juga berarti lebih mengutamakan orang lain dari pada dirinya. Karena itu itsar sebenarnya lebih sekedar empati, yaitu lebih dari sekedar merasakan apa yang di rasakan oleh orang lain (Sudirman Tebba, 2003). Dengan sifat itsar maka kecerdasan sosial juga akan tumbuh, sehingga jika hal ini di miliki oleh setiap manusia maka kehidupan dalam masyarakat akan semakin membaik.
Lalu tentang keterampilan sosial dalam tasawuf ada konsep syaja’ah. Secara harfiah syaja’ah berarti berani, maksudnya berani melakukan tindakan yang benar. Tetapi sikap berani harus disertai pertimbangan yang matang dan pikiran yang tenang. Hal ini sesuai dengan ucapan Nabi Muhammad SAW :
“Bukanlah pemberani orang yang kuat berkelahi. Sesungguhnya pemberani itu adalah orang yang sanggup menguasai hawa nafsunya di kala marah” (HR Bukhari dan Muslim).

2.5 Pengaturan Emosi
Setiap individu memiliki serangkaian aturan bagaimana emosi ditampilkan (emotional display rule). Aturan ini mengatur pada situasi mana emosi tertentu harus atau jangan diekspresikan. Misalnya, anak-anak belajar bahwa jika mereka mendapatkan hadiah, mereka harus memperlihatkan kegembiraan dan terima kasih,  dan menekan kekecewaan jika hadiah tersebut sebenarnya tidak mereka sukai. Islam juga memberikan petunjuk agar setiap orang memiliki kendali terhadap berbagai emosi yang ditampilkannya (Aliah B, 2008). Dalam hadits diajarkan bahwa seseorang harus mampu mengendalikan amarahnya, sebagaimana berikut ini :
“Barangsiapa mampu menahan amarah, padahal dia mampu untuk melampiaskannya, maka Allah Swt. Akan menyeru di hari kiamat nanti, hingga dia bebas untuk memilih bidadari yang dia sukai.” (HR Abu Dawud dan Ath Thurmudhi)
Untuk pengendalian emosi ini seseorang harus memiliki kemampuan dan strategi untuk mengatur emosinya. Orang yang mampu memiliki kemampuan ini adalah orang yang memiliki kekuatan kepribadian. Berkaitan dengan hal ini, Nabi Muhammad Saw. Bersabda:
“Dari Abdullah bin Mas’ud r.a. bahwa Rasulullah Saw . bertanya kepada para sahabatnya : “ siapa yang kalian anggap sebagai orang yang perkasa di antara kalian ?” para sahabat berkata : “orang yang pernah dibanting oleh orang-orang.” Rasulullah bersabda : “ Tidak, akan tetapi yang disebut orang perkasa adalah orang yang mampu menguasai dirinya ketika sedang marah”. (HR Muslim dan Abu Dawud)
Berbagai strategi dapat digunakan untuk mengendalikan emosi. Dalam manajemen kemarahan, Nabi Muhammad Saw. Mengajarkan :
“ Apabila salah seorang dari kalian marah sambil berdiri, maka hendaklah dia duduk. Jika rasa marah itu menghilang dari dirinya (maka hal itu sudahlah cukup). Namun jika masih belum hilang juga hendaknya dia berbaring. Sesungguhnya rasa marah itu termasuk godaan setan dan sesungguhnya setan itu diciptakan dari api. Sesungguhnya api hanya bisa dipadamkan dengan air. Oleh karena itu, jika salah satu di antara kalian marah, hendaknya dia berwudhu.” (HR Abu Dawud)
Selain itu, Islam juga mengajarkan agar manusia tidak berlebih-lebihan dalam meluapkan emosinya. Intensitas emosi yang terlalu tinggi dapat membuat seseorang kehilangan kontrol, baik emosi negatif maupun emosi positif.
Supaya kamu jangan terlalu berduka cita terhadap apa yang luput dari dari dirimu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS Al-Hadid (57):23)
Pengaturan emosi (Emotional regulation) ini sebenarnya telah dipelajari mulai dari bayi. Ketika berinteraksi dengan ibunya, ibu menjadi model bagi bayi dalam mempelajari emosi. Bayi meniru tanggapan emosional ibu terhadap berbagai situasi. Ibu juga memberikan tanggapan selektif terhadap emosi bayi; misalnya ibu seringkali lebih banyak menanggapi ekspresi ketertarikan atau keterkejutan bayi dibandingkan emosi negatif. Namun, emosi yang dapat diterima secara sosial berbeda dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu waktu ke waktu lain.
Pada usia 3 tahun, anak masih memiliki kemampuan terbatas unuk menyembunyikan emosi yang dimilikinya untuk memenuhi aturan penampilan emosi yang dapat diterima oleh budaya setempat. Misalnya seorang anak yang berbohong tentang mainan yang dirusaknya pada usia ini, masih memperlihatkan rasa tidak sukanya pada mainan tersebut. Namun, mereka cukup dapat menyembunyikan informasi yang sesungguhnya yang ingin diketahui orang lain. Dengan pertambahan usia, anak prasekolah menjadi lebih baik untuk mengeluarkan emosi yang berbeda dengan emosi yang dimilikinya, namun masih berbeda dengan jika mereka mengeluarkan emosi mereka yang sebenarnya. Pada usia sekolah anak menjadi lebih mampu menyesuaikan dirinya dengan tuntutan tampulan emosi dari lingkungannya. Anak perempuan lebih didorong untuk memahami aturan ini, sehingga mereka lebih manis dari segi tata krama. Ibu sering kali lebih menanggapi emosi yang positif daripada emosi yang negatif. Namun, meskipun seseorang terus mengalami pertambahan usia, mereka juga masih memperlihatkan kegagalan dalam menguasai keterampilan ini. Keterampilan ini memang sulit untuk dikuasai, membutuhkan pemahaman bagaimana mengubah tampilan emosi, memahami perspektif orang lain, mengetahui bahwa keadaan eksternal tidak harus sesuai dengan keadaan internal, memiliki kontrol otot untuk menghasilkan ekspresi emosi, sensitif terhadap isyarat kontekstual sosial yang memerhatikan mereka dalam mengubah ekspresi, dan memiliki motivasi untuk menunjukkannya dengan cara yang sesuai dengan tata krama.
Terdapat dua jenis aturan tampilan emosional (Aliah, 2008) : Prososial (prosocial) dan protektif diri (self-protective). Prososial menampilkan aturan emosi untuk melindungi emosi orang lain, sementara protektif diri merupakan pengaturan untuk menyembunyikan emosi dalam rangka menyelmatkan muka atau melindungi dirinya dari konsekuensi negatif. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan untuk melindungi diri lebih dulu muncul, namun penelitian lain menunjukkan sebaliknya. Anak lebih berusaha untuk  mengontrol ucapannya daripada mimik mukanya dalam menampilkan emosi. Lebih mudah untuk mengontrol ucapan daripada otot wajah.
Kemampuan untuk mengatur emosi juga terkadang disalhgunakan untuk memanipulasi emosi orang lain. Al-Quran menceritakan bagaimana saudara-saudara Nabi Yusuf a.s., berbohong kepada ayah mereka Nabi Ya’qub a.s. dengan cara menangis di hadapan ayah mereka.
Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia)…. Kemudian mereka datang kepada ayah mereka di sore hari sambil menangis. Mereka berkata : “wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala; dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar.” (QS.Yusuf (12):16)
Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan diri antara keinginan mereka dan harapan sosial terhadap perilaku mereka.
2.5 Contoh Peristiwa Emosional dalam Al-Quran
Al-Quran mengandung sejumlah peristiwa emosional. seperti peristiwa-peristiwa emosional yang dialami Nabi Musa bersama al-abdush-shaleh (hamba yang shaleh). Imam bukhari, dalam kitab shahih-nya,meriwayatkan kisah ini. Amru bin Dinar berkata bahwa dia diberi tahu oleh Sa’id bin Jubair bahwa ia berkata kepada Ibnu abbas, “Nauf al-bikaali menyatakan bahwa Musa yang punya kisah bersama Khidhir bukanlah Musa nabi bani Israel.”
Ibnu Abbas berkata,”Musuh Allah itu bohong. Ubay bin Ka’ab bercerita kepadaku bahwa dia mendengar Rasulullah bersabda,
‘Suatu ketika Musa berkhotbah di depan bani Israel. Dia ditanya, ‘Siapa manusia yang paling luas ilmunya?’ Dia menjawab, ‘Aku.’ Atas jawaban itu, Allah menegur Musa karena dia tidak mengembalikan ilmu kepada karunia Allah. Allah lalu memberikan wahyu kepadanya, ‘Aku punya seorang hamba yang berada di tempat pertemuan dua laut. Dia lebih luas ilmunya daripada kamu.’ Musa bertanya, wahai Tuhanku, bagaimana saya bisa menemuinya ?’ Allah berfirman,’bawalah seekor ikan, letakkan ikan itu di dalam sebuah bejana. Ketika kamu kehilangan ikan itu, di tempat itulah dia berada.’ Akhirnyya musa mengambil seekor ikan, di letakkkannya di dalam bejana. Kemudian dia berangkat diiringi  muridnya, Yuusya’ bin Nuun. Hingga ketika mereka berdua singgah di sebuah batu besar, mereka berbaring dan tertidur. Saat itulah ikan di dalam bejana tersebut melompat keluar dan mengambil jalannya ke laut….
Ketika mereka bangun, pembantunya lupa memberitahunya perihal ikan tersebut. Mereka meneruskan perjalanan selama siang dan malam hari itu. Dan keesokan harinya, musa berkata kepada muridnya, ‘bawalah kemari makan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.
Musa tidak merasakan keletihan hingga dia melewati tempat yang diperintahkan oleh Allah untuk dituju. Saat itulah muridnya berkata,’Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali. ‘Bagi musa dan muridnya itu merupakan keanehan. Saat itulah musa berkata,’itulah tempat yang kita cari. “ (HR Bukhari)
Dari sini mulailah peristiwa-peristiwa yang membangkitkan emosi Nabi Musa, dimana setelah kembali ke tempat muridnya melupakan ikan, dia menemukan hamba saleh yang diceritakan oleh Allah kepada-Nya. Mereka berbincang-bincang, lalu Musa meminta hamba saleh itu untuk mengizinkannya menemaninya agar dia belajar darinya. Si hamba saleh memberitahunya bahwa dia tidak akan biasa bersabar bersamanya. Musa menyatakan kesiapannya untuk bersabar. Untuk kedua kalinya, hamba saleh menetapkan syarat agar Musa tidak bertanya tentang hal-hal yang dia lihat sampai dia sendiri yang menjelaskan hakikat peristiwa tersebut. Akhirnya mereka berdua berangkat.
Allah berfirman:
“Lalu mereka bertamu dengan seorang hamba diantara hamba-hamba kami, yang telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami, dan yang telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami. Musa berkata pada khidhir,’ Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’ Dia menjawab,’sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu ?’ musa berkata,’ Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun.’ Dia berkata,’jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.’ Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu khidhir melubanginya. Musa berkata,’ mengapa kamu melubangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan  penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.” (al-kahfi:65-71)
Ini adalah peristiwa emosional pertama. Ia adalah emosi kompleks, karena tabiat peristiwa membangkitkan sejumlah emosi sekaligus. Peristiwa itu memancing dalam jiwa Musa rasa heran, tercengang, sekaligus kecaman, terhadap apa yang dilakukan oleh hamba saleh ini kepada perahu yang mereka tumpangi tanpa diminta upah oleh para pemiliknya. Dan, tiba-tiba Musa dikejutkan oleh khidhir yang sedang memotong salah satu papan kayu perahu dengan kapak sehingga menimbulkan lubang.
Menyaksikan perbuatan tersebut, Musa langsung emosi, heran dan mengecam,”Mengapa kamu melubangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya ? sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.” Saat itu khidhir mengingatkannya akan syarat yang telah Musa setujui sebelum dia menemaninya dalam perjalanan. Setelah teringat akan hal itu, amarah musa menjadi reda. Dan, dia segera meminta maaf atas sikapnya.
“Musa telah melupakan kesepakatannya dengan temannya (Khidhir) ketika dia berhadapan dengan sebuah tindakan aneh ini yang tidak beralasan menurut logika!! Manusia terkadang membayangkan makna umum yang abstrak. Akan tetapi, ketika aplikasi praktis berbenturan dengan makna abstrak ini, dia akan merasakan adanya sentuhan yang berbeda dengan persepsi teoritis. Sebab, eksperimen/pengalaman praktis memiliki cita rasa lain yang berbeda dengan persepsi abstraktif. Contohnya disini musa. Dia telah diingatkan sebelumnya bahwa dia tidak akan dapat bersabar menghadapi sesuatu yang dia belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu, tapi dia berniat untuk bersabar, mengandalkan kekuatan tekad, dia memberi janji, dan menerima syarat. Sekarang dia terbentur dengan pengalaman praktis menghadapi tindakan-tindakan lelaki ini, dan tiba-tiba Musa langsung mengecam.”
Peristiwa emosional kedua mendatangkan efek yang lebih hebat sehingga musa tidak sanggup menahan dirinya. Dia langsung bertindak dengan penuh emosi, dia lupa akan janji dan syaratnya. Ini  juga emosi kompleks, mengandung unsur keheranan, kemarahan, dan kecaman, dimana dia melihat hamba saleh itu membunuh anak kecil yang sedang bermain bersama teman-temannya padahal anak itu tidak melakukan kejahatan nyata yang membuatnya layak dibunuh. Lebih dari itu dia hanya anak kecil yang belum balig, sehingga dia tidak mungkin dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan-perbuatannya. Firman Allah,
“Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka khidhir membunuhnya. Musa berkata,’ mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain ? sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.’ Khidhir  berkata,’ bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?’ Musa berkata,’ jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini,  maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur kepadaku.” (al-kahfi: 74-76)
Disini Nabi Musa meminta maaf ketika Khidhir mengingatkannya akan syarat-syarat yang mereka sepakati sebelumnya. Akan tetapi, pada kesempatan ini, musa berkata,”jika saya tidak dapat bersabar menghadapi peristiwa yang akan datang, janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur kepadaku.” Lalu mereka berangkat lagi, hingga mereka lewat di sebuah desa yang penduduknya sangat pelit. Di desa tersebut mereka menemukan sebuha bangunan yang miring, hampir ambruk. Khidhir menegakkan bangunan tersebut dengan tangannya sendiri. Melihat itu, dengan teguran tenang dan penuh keheranan atas apa yang erjadi, Musa berkomentar,” kita mendatangi suatu kaum, tapi mereka tidak memberi kita makan, juga tidak menjamu kita.
“Maka keduanya berjalan hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka khidhir menegakkan dinding itu. Musa berkata,’jika kamu mau,niscaya kamu mengambil upah untuk itu.’ Khidhir berkata,’inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (al-Kahfi:77-78)
Lalu mulailah Khidhir menjelaskan hakikat-hakikat peristiwa-peristiwa yang membakar emosi Musa.
“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena dihapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak muda itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orangtuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedangkan ayahnya adalah seorang yang saleh, makan Tuhanmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemaukanku sendiri demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (al-Kahfi:79-82)
Allah menjelaskan rahasia-rahasia dibalik peristiwa-peristiwa yang dilakukan oleh hamba saleh dalam perjalanan bersama Nabi Musa, dimana peristiwa-peristiwa tersebut mendatangkan pengaruh yang hebat sebelum dia mengetahui hakikat dan rahasia yang sesungguhnya.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk mengenali, mengelola, dan mengekspresikan dengan tepat, termasuk untuk memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta membina hubungan dengan orang lain. Dalam hal ini yang berperan adalah hati. Hati mengaktifkan nilai-nilai yang paling dalam, mengubahnya dari sesuatu yang dipikir menjadi sesuatu yang dijalani. Hati mengetahui hal-hal yang dapat atau tidak dapat diketahui oleh pikiran. Hati adalah sumber keberanian dan semangat, integritas, dan komitmen.
Dalam islam ekspresi emosional dibagi menjadi dua yaitu emosi primer dan emosi sekunder. Emosi primer adalah emosi dasar yang dianggap telah ada secara biologis dan emosi sekunder yaitu emosi yang kompleks dibanding emosi primer. Emosi sekunder adalah emosi yang terindikasi kesadaran diri, atau evaluasi diri sehingga pertumbuhannya bergantung pada perkembangan kognitif seseorang.
Dalam pespektif sufistik unsur-unsur kecerdasan emosional juga ada dalam tasawuf seperti kesadaran diri dalam tasawuf disebut muhasabah, pengaturan diri dalam tasawuf banyak kesamaannya dengan sabar, motivasi dalam tasawuf banyak kesamaan dengan raja’, empati dalam tasawuf ada itsar dan keterampilan sosial ada konsep syaja’ah dalam tasawuf.
  
DAFTAR PUSTAKA

Agustian, Ary Ginanjar, 2001, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosional Dan Spiritual, Jakarta: Arga

Az-za’balawi, Muhammad, 20007,  Pendidikan Remaja antara Islam dan Ilmu Jiwa, Jakarta: Gema Insani

E. Usman Efendi dan Juhaya S. Praja, 1985, Pengantar Psikologi, Bandung: Angkasa
Goleman, Daniel, 2003, Kecerdasan Emosional, terj. T. Hermaya, Cet. XIII, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Hartati, Netty, dkk, 2004, Islam dan Psikologi, Jakarta: RajaGrafindo Persada
Hasan, Aliah B, 2008, Pikologi Perkembangan Islami, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Hude, M. Darwis, 2006, Emosi; Penjelajahan Religio-Psikologis tentang Emosi Manusia    di dalam Al Qur’an, Jakarta: Erlangga

Mujib, Abdul, (2012). “Konsep Pendidikan Karakter Berbasis Psikologi Islam” Seminar Nasional Psikologi Islam A01

Sukring, 2013, Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu

Tebba, Sudirman, 2003, Tasawuf Positif, Jakarta: Kencana

Wijaya, Diana, 2007, Peluang Meningkatkan Karir dengan Inteligensi (Kecerdasan), Jakarta: Restu Agung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar