ISLAM DAN KECERDASAN
EMOSIONAL
EFRI YANI
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dulu, semua orang beranggapan bahwa
seseorang yang cerdas adalah mereka yang memiliki IQ tinggi. Namun
kenyataannya, angka IQ yang tinggi bukanlah jaminan bagi kesuksesan seseorang
di masa depan kelak. Sering ditemukan dalam proses belajar mengajar di sekolah,
siswa yang tidak dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan kemampuan
inteligensinya. Ada siswa yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi, tetapi memperoleh
prestasi belajar yang relatif rendah. Tetapi, ada siswa yang walaupun kemampuan
inteligensinya relatif rendah, ia bisa meraih prestasi belajar yang relatif
tinggi. Itu sebabnya, taraf inteligensi bukan merupakan satu-satunya faktor
yang menentukan keberhasilan seseorang.
Ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu kecerdasan emosional.
Individu yang
memiliki tingkat kecerdasan emosional (EQ) yang lebih baik, cenderung dapat
menjadi lebih terampil dalam menenangkan dirinya dengan cepat, jarang tertular
penyakit, lebih terampil dalam memusatkan perhatian, lebih baik dalam
berhubungan dengan orang lain, lebih cakap dalam memahami orang lain, dan untuk
kerja akademis di sekolah lebih baik. Lebih lanjut, Kecerdasan emosional
juga menjadikan seseorang memiliki kemampuan untuk memotivasi diri
sendiri serta tetap bersemangat untuk menghadapi berbagai kesulitan yang
mungkin dihadapinya.
Menurut Goleman,
dalam bukunya Emotional Intelligence
menyatakan bahwa kontribusi kecerdasan intelektual (IQ) bagi keberhasilan
seseorang hanya menyumbang 20% , sedangkan 80% adalah sumbangan faktor-faktor
kekuatan lain di antaranya adalah kecerdasan emosional (EQ). Jelasnya, kalau IQ
mengangkat fungsi pikiran, maka EQ
mengangkat fungsi perasaan. Orang yang ber-EQ tinggi akan berupaya
mensinergikan intelektualnya dengan perasaannya, keseimbangan antara IQ dan EQ
merupakan kunci keberhasilan seseorang.
Melihat
pentingnya kecerdasan emosional bagi setiap orang seperti yang sudah
dikemukakan dalam paparan di atas, dan masih belum banyak pembahasan tentang
kecerdasan emosional yang dikaitkan dengan islam. Maka penulis tertarik untuk
memilih tema tentang Islam dan Kecerdasan Emosional untuk dibahas dalam makalah
ini
1.2 Rumusan Masalah
1) Apa pengertian kecerdasan
emosional?
2) Apa kekayaan emosi manusia?
3) Bagaimana kecerdasan emosional
dalam perspektif islam?
4) Bagaimana kecerdasan emosional
dalam perspektif sufistik ?
5) Bagaimana pengaturan emosi?
6) Bagaimana peristiwa Emosional
dalam Al-Quran?
1.3 Tujuan Penulisan Makalah
1.3.1 Tujuan umum
Untuk memaparkan dan memberikan
pemahaman mengenai islam dan kecerdasan emosional
1.3.2 Tujuan khusus
1) Mengerti mengenai kecerdasan
emosional
2) Mengetahui kekayaan emosi
manusia
3) Mengetahui kecerdasan emosional
dalam perspektif islam
4) mengetahui kecerdasan emosional
dalam perspektif sufistik
5) Mengetahui bagaimana pengaturan
emosi
6) Mengetahui peristiwa Emosional
dalam Al-Quran
1.4 Manfaat Penulisan
Makalah
Makalah ini diharapkan dapat
menambah wawasan para pembaca mengenai kecerdasan emosional khususnya
kecerdasan emosional dalam perspektif islam. Para pembaca diharapkan dapat
memahami konsep kecerdasan emosional dalam islam serta dapat mengaplikasikannya
dalam kehidupan sehari-hari dan dalam perkembangan ilmu pengetahuan yaitu ilmu
psikologi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional terdiri dari
dua kata yakni: kecerdasan dan emosional. Kata Kecerdasan dalam bahasa inggris
disebut intelligence dan dalam bahasa
arab disebut al-zaka. Menurut arti
bahasa adalah pemahaman, kecepatan, dan kesempurnaan sesuatu. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia disebutkan kecerdasan adalah kesempurnaan perkembangan akal
budi, kepandaian, ketajaman pikiran (dalam Sukring, 2003). Sementara Howerd
Gardner (dalam Efendi dan Praja, 1985) mengatakan kecerdasan adalah kemampuan
memecahkan masalah atau menciptakan sesuatu yang bernilai bagi budaya tertentu.
David Wechsler (dalam Sukring, 2003) mengemukakan kecerdasan adalah sebagai totalitas kemampuan seseorang
untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berpikir secara rasional, dan mnghadapi
lingkungannya dengan efektif. Dengan demikian, kecerdsasan merupakan suatu
kemampuan untuk mengarahkan, memahami, dan menyesuaikan jiwa, fikiran,
tindakan, serta menyelesaikan masalah yang dihadapi secara tepat.
Kata emosional
berasal dari bahasa inggris, emotion
yang berarti keibaan hati, suara hati, suara yang mengandung emosi, pembelaan
yang penuh perasaan. Menurut Crow & Crow, emosi merupakan suatu keadaan
yang bergejolak pada diri individu yang berfungsi sebagai inner adjustment
(penyesuaian dalam diri) terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan
keselamatan individu (Hartati, dkk, 2004). Definisi yang lebih jelas
mengartikan bahwa emosi adalah suatu gejala psiko-fisiologis yang menimbulkan
efek pada persepsi, sikap, dan tingkah laku, serta mengejawantah dalam bentuk
ekspresi tertentu. Misalnya, emosi senang (joy) yang berkombinasi dengan
penerimaan (acceptance) akan melahirkan cinta (love); emosi sedih
(sadness) yang berkombinasi dengan kejutan (surprise) melahirkan
kekecewaan mendalam (disappointment); cinta (love) berkombinasi
dengan marah (anger) melahirkan kecemburuan (jealousy) (Hude,
2006).
Menurut Daniel
Goleman (2002) kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur
kehidupan emosinya dengan intelegensi (to
manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan
pengungkapannya (the appropriateness of
emotion and its expression); melalui keterampilan kesadaran diri,
pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Ary Ginanjar
(2001) secara sederhana mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kecerdasan
merasa, kecerdasan merasa erat kaitannya dengan qalbu (hati). Seorang yang memiliki kecerdasan emosional senantiasa
mampu mendengarkan suara hati, sebagai bagian dari fitrahnya.
Beberapa
pengertian di atas memberikan suatu pemahaman bahwa kecerdasan emosional
merupakan kemampuan untuk mengenali, mengelola, dan mengekspresikan dengan
tepat, termasuk untuk memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain,
serta membina hubungan dengan orang lain. Dalam hal ini yang berperan adalah
hati. Hati mengaktifkan nilai-nilai yang paling dalam, mengubahnya dari sesuatu
yang dipikir menjadi sesuatu yang dijalani. Hati mengetahui hal-hal yang dapat
atau tidak dapat diketahui oleh pikiran. Hati adalah sumber keberanian dan
semangat, integritas, dan komitmen (Wijaya, 2007)
2.2
Kekayaan Emosi Manusia
Selain memiliki pembawaan emosi
yang bersifat unik, manusia memiliki kekayaan dalam mengeskpresikan emosinya.
Kekayaan ini dapat dilihat dari muatan, intensitas, dan juga jenis emosi yang
dilkeluarkan pada saat menghadapai atau mengalami sesuatu (Aliah B, 2008).
Banyak ayat-ayat
Al-Quran dan Hadits menggambarkan emosi dengan muatan yang berbeda, yaitu emosi
posistif dan emosi negatif. Kedua jenis muatan emosi yang berlawanan ini bahkan
sering dipasangkan untuk menimbulkan efek kontradiktif yang menguatkan makna
kalimat. Dalam Al-Quran antara lain diceritakan :
Maka hendaklah mereka tertawa
sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang mereka kerjakan.
(QS Al-Taubah (9):82)
Hari yang pada waktu
itu ada muka yang menjadi putih berseri, dan ada pula muka yang menjadi hitam
muram. Adapun yang menjadi hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan)
“kenapa kamu kafir setelah kamu beriman ? karena itu rasakanlah azab disebabkan
kekafiranmu itu. “ (QS Ali Imran (3):106)
Banyak muka pada hari
itu berseri-seri, tertawa dan gembira ria, dan banyak pula muka pada hari itu
tertutup debu, dan ditutup lagi oleh
kegelapan. (QS Abasa (80): 38-41)
Sedangkan dalam hadits antara lain
:
“Tali hubungan keimanan
yang paling kuat ialah cinta karena Allah dan benci karena Allah. “ (HR Ath Thabrani)
Al-Quran juga banyak menggambarkan
bahwa satu kualitas emosi memiliki tingkatan intensias tertentu. Satu peristiwa
yang sama dapat membuat banyak orang mengeluarkan respons emosional yang
berbeda-beda intensitasnya. Persaan senang, misalnya dapat muncul dalam respons
tersenyum, tertawa, atau respons lain yang lebih. Hal ini digambarkan dalam Al
qur’an, sebagi berikut :
Banyak muka pada hari
itu berseri-seri, tertawa dan gembira ria, dan banyak pula muka pada hari itu
tertutup debu, dan ditutup lagi oleh kegelapan. (QS Abasa (80): 38-41)
Seseorang juga dapat membuat
respons berurutan yang menunjukkan intensitas emosi yang dimilikinya. Dalam
Al-Quran dinyatakan :
Sesudah itu dia
bermasam muka dan merengut, kemudian dia berpaling dan menyombongkan diri. (QS
Al-Mudatsir (74): 22-23)
Dalam memberikan petunjuk kepada
manusia, Al-Quran dan Hadits banyak membahas tentang berbagai jenis ekspresi
emosional manusia ketika menghadapi atau mengalami sesuatu. Ekspresi yang
ditampilkan sangat kaya, termasuk emosi primer dan emosi sekunder.
2.2.1
Emosi Primer
Menurut Aliah (2008)
emosi primer adalah emosi dasar yang dianggap terberi secara biologis. Emosi
ini telah terbentuk sejak awal kelahiran. Al-Quran dan Hadits banyak membahas
tentang emosi primer yang dimiliki manusia. Diantara emosi primer yang dibahas
adalah gembira, sedih, marah, dan takut. Masing-masing emosi ini digambarkan
dalam situasi yang berbeda-beda. Kekayaan masing-masing emosi tergambar dalam
paparan setiap ayat. Ayat yang memperlihakan kegembiraan, antara lain :
Banyak muka pada hari
itu berseri-seri, karena senang akan usahanya. Dalam sorga yang tinggi. (QS
Al-Ghasiyah (88):7-10)
Dan istrinya berdiri
(disampingnya) lalu dia tersenyum, maka kami sampaikan kepadanya berita gembira
tentang kelahiran Ishaq dan sesudah Ishaq (lahir pula) (QS Ya’qub. (QS Hud
(11):71)
Ayat yang menunjukkan kesedihan,
diantaranya :
Dan Ya’qub berpaling
dari mereka seraya berkata : “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf”, dan kedua
matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan
amarahnya. (QS Yusuf (12): 84)
Karena itu Allah
menimpakan kesedihan atas kesedihan, supaya kamu jangan bersedih hati terhadap
apa yang luput daripada kamu dan terhadap apa yang menimpa kamu…. (QS Ali Imran
(3):153)
Ayat yang mengandung kemarahan,
antara lain :
Dan tatkala Musa
kembali kepada kaumnya, dengan marah dan sedih hati, maka berkatalah ia :
“Alangkah buruknya perbuatan yang kalian kerjakan sesudah kepergianku… “ (QS
Al-A’raf (17):150)
“Ingatlah, sesungguhnya
marah itu adalah bara api yang terdapat
dalam hati anak Adam. Tidakkah kalian melihat warna merah kedua matanya dan
urat-urat lehernya yang mengembang (ketika sedang marah) ?” (HR Ath Thurmudhi)
Sedangkan ayat yang menggambarkan
rasa takut, misalnya :
Atau seperti
(orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh
dan kilat, mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena petir, sebab
takut akan mati…. (QS Al-Baqarah (2) :19)
2.2.2
Emosi sekunder
Selain emosi
primer, juga terdapat emosi sekunder. Menurut Aliah (2008) emosi sekunder
adalah emosi yang lebih kompleks dibandingkan emosi primer. Emosi sekunder
adalah emosi yang mengandung kesadaran diri atau evaluasi diri, sehingga
pertumbuhannya tergantung pada perkembangan kognitif seseorang. Berbagai emosi
sekunder dibahas dalam Al-Quran, antara lain malu, iri hati, dengki, sombong,
angkuh, bangga, kagum, takjub, cinta, benci, bingung, terhina, sesal, dan
lain-lain. Contoh-contoh ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut :
Kemudian datanglah
kepada musa salah seorang dari kedua perempuan itu berjalan kemalu-maluan, ia
berkata : “ Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan
terhadapmu memberi minum (ternak) kami.”….. (QS Al-Qashash (28):25)
Dan janganlah kamu iri
hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak
dari sebagian yang lain….(QS Al-Nisa (4):32)
Dan
mereka (ahli kitab) tidak terpecah belah belah melainkan sesudah datangnya
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka. (QS Al-Syura
(42):14)
2.3 Kecerdasan
Emosional dalam Perspektif Islam
2.3.1
Pandangan Al-Quran tentang Emosional
Dalam perspektif islam, segala
macam emosi dan ekspresinya diciptakan oleh Allah swt, melalui ketentuannya
(dalam Sukring, 2013). Emosi diciptakan oleh Allah swt., untuk membentuk
manusia yang lebih sempurna, dalam Q.S Al-Najm/53:43-44.
Dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang
tertawa dan menangis, dan bahwasanya dialah yang mematikan dan menghidupkan.
Nasaruddin
Umar (Sukring, 2013) mengatakan di dalam Al-Quran aktivitas kecerdasan
emosional sering dihubungkan dengan hati yang dapat ditelusuri melalui kata
kunci kalbu, dan istilah lain yang mirip dengan fungsi kalbu adalah jiwa,
intuisi, dan beberapa istilah lainnya. Berbeda dengan Hamdan Rasyid mengatakan
dalam islam kecerdasan emosional disebut juga dengan akhlak, yaitu daya
kekuatan jiwa yang mendorong perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa
dipikirkan serta dirumuskan lagi. Jadi akhlak pada dasarnya sikap yang melekat
pada diri seseorang secara spontan yang diwujudkan dalam tingkah laku atau
perbuatan. Menurut Mujib (2012) akhlak merupakan kondisi lahir dan batin
manusia, Akhlak terbagi menjadi akhlak baik dan akhlak buruk. Akhlaq baik (akhlaq
mahmudah), seperti sabar, syukur, ikhlas, qana’ah, rendah hati (tawadhu’),
jujur (sidq), dermawan (jud), amanah, pemaaf, dan lapang dada.
Akhlaq buruk (akhlaq madzmumah) seperti gampang marah (ghadhab),
kufur nikmat, riya’, rakus (thama’), sombong (takabur), dusta (kidb),
pelit (syukh), khianat, dendam, dan dengki. Pengertian tersebut
menunjukkkan, bahwa akhlak berkaitan langsung dengan kalbu, karena kalbu adalah
wadah menampung kebaikan dan keburukan, sabda Nabi Saw:
“Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal
daging. Apabila ia baik maka semua tubuh menjadi baik, tetapi apabila ia rusak
maka semua tubuh menjadi rusak. Ingatlah bahwa ia adalah kalbu.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim dari Nu’man ibn Basyir)
Sedangkan
akhlak adalah ekspresi jiwa dimana jiwa telah diilhami jalan takwa dan jalan
kefasikan itulah akhlak, dan akhlak ada yang baik dan ada yang buruk. firman
Allah Swt., dalam Q.S Al-Syams/91:8.
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaannya.
Secara spesifik
Al-Quran menggambarkan tentang adanya emosi positif dan emosi negatif. Aliah B.
Purwakania Hasan (Sukring, 2013) mengatakan, bahwa Al-Quran juga mengisyaratkan
bahwa satu kualitas emosi memiliki tingkatan intensitas tertentu. Satu
peristiwa yang sama dapat membuat banyak mengeluarkan respon emosional yang
berbeda-beda intensitasnya. Persaan senang, misalnya dapat muncul dalam respon
tersenyum, tertawa, atau respon lain yang lebih. Perhatikan Q.S
‘Abasa/80:38-41.
M. Sayid
Muhammad al-za’balawi (2013) mengemukakan bahwa Al-Quran dan Hadits mengandung
banyak sekali isyarat-isyarat yang dapat digunakan untuk menunjukkan jenis
emosi dan seberapa jauh kekuasaannya atas jiwa, kuat atau lemah. hal tersebut
dapat diperhatikan di dalam Al-Quran dan Hadits banyak yang membahas mengenai
ekspresi emosional. Allah membagi ekspresi emosional menjadi dua yaitu emosi
primer dan emosi sekunder.
·
Emosi
Primer
Emosi primer
adalah emosi dasar yang dianggap telah ada secara biologis. Emosi ini telah
terbentuk secara awal kelahiran. Al Qur’an dan Hadits membahas tentang emosi
primer yang dimiliki manusia. Di antara emosi primer dibahas adalah gembira
(Q.S Hud/11:71), sedih (Q.S. Yusuf/84,marah (Q.S. al-‘araf/7:150, dan takut
(Q.S. al-Naml/27:10.)
·
Emosi sekunder
Emosi
sekunder adalah emosi yang kompleks dibanding emosi primer. Emosi sekunder
adalah emosi yang terindikasi kesadaran diri, atau evaluasi diri, sehingga
pertumbuhannya bergantung pada perkembangan kognitif seseorang. Bermacam emosi
sekunder dijelaskan dalam Al Qur’an anatar lain, malu (Q.S al-Qasas/28:25), iri
hati (Q.S. al-Nisa/4:32), dengki (Q.S. al-syura/42:14), sombong (Q.S
luqman/31:18), kagum,takjub (Q.S al-jin/72:1-2).
Ekspresi
emosi tersebut, mengindikasikan adanya realitas ekspresi jiwa seseorang yang
tidak konsisten, inkosistensi tersebut karena kondisi jiwa yang merespon faktor
luar yang masuk dalam jiwanya, sehingga memengaruhi kesadarannya. Tanda-tanada
ekspresi emosi yang digambarkan Al-Qur’an di atas, berkaitan dengan kondisi jiwa
yang di dalam jiwa itu ada hawa nafsu. M. Qurais Shihab mengatakan bahwa hawa
nafsu tidak pernah puas, selalu senantiasa mengajak manusia kepada hal-hal
negatif. Menurutnya, dengan kecerdasan emosional manusia mampu mengendalikan nafsu, bukan membunuh dan
menafikan. Pengendalian diri, dan bukan penyangkalan dan peniadaan pribadi.
Emosi dan nafsu yang terkendali sangat dibutuhkan. Sebab merupakan faktor yang
memotivasi terlaksananya misi kekhalifahan di bumi.kecerdasan emosional manusia
akan mampu mengarahkan nafsu kepada hal-hal yang positif, sehingga tidak jatuh
pada hal-hal negatif. Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa manusia memiliki
hawa nafsu yang mendorong, mengajak manusia untuk memuaskan jiwanya dari segi
materi, dan urusan dunia. Orang yang dapat mengendalikan nafsunya merupakan
ciri orang yang memiliki kecerdasan kalbu (emosional).
2.3.2 Pandangan
Hadits Tentang Emosional
Dalam hadits yang diriwayatkan Abu
Sa’id al khudri bahwa Rasulullah saw., bersabda :
Artinya : ingat,
diantara mereka ada yang lamban marah dan cepat sadar, ada juga yang cepat
marah dan cepat sadar, maka iu sebagai ganti yang itu, ingat, diantara mereka
ada yang cepat marah dan lamban sadar, ingat yang terbaik dari mereka adalah
yang lamban marah tapi cepat sadar, ingat yang terburuk dari mereka adalah yang
cepat marah dan lamban sadar. (HR. Tirmidzi)
Hadits di atas, mengisyaratkan
adanya perbedaan gejolak emosional pada masing-masing individu, Rasulullah saw
membagi manusia berdasarkan gejolak emosinya menjadi tiga golongan :
1)
Orang yang
tidak mudah marah, jarang sekali marah. Jika ia marah, ia segera meredam
kemarahannya dan kembali menenangkan
diri. Kelompok pertama ini adalah golongan orang yang paling utama.
2)
Orang yang
cepat marah hanya gara-gara urusan remeh, tetapi juga bisa cepat meredam
amarahnya.
3)
Orang yang
cepat marah dan tidak mudah menghentikan kemarahannya. Ia akan mampu meredam
amarahnya jika sudah cukup lama berlalu. Kelompok ketiga inilah yang tergolong
kelompok paling buruk.
2.4 Kecerdasan Emosional dalam Perspektif
Sufistik
Menurut Daniel Goleman (2003)
kecerdasan emosional mencakup kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati
dan keterampilan sosial. Dilihat dari pespektif sufistik unsur-unsur kecerdasan
emosional itu juga ada dalam tasawuf (dalam Tebba, 2003). Misalnya kesadaran diri dalam tasawuf disebut muhasabah. Muhasabah berarti melakukan perhitungan, yaitu perhitungan terhadap
diri sendiri mengenai perbuatan baik buruk yang pernah dilakukan. Tujuannya
adalah mengurangi atau kalau bisa menghilangkan perbuatan buruk dan
meningkatkan perbuatan baik.
Konsep muhasabah sering dikaitkan dengan ucapan
Ali bin Abi Thalib yang mengatakan bahwa orang harus menghitung diri sendiri
sebelum dihitung amalnya oleh Allah. Selain itu sebagian pakar tasawuf ada yang
mengaitkan konsep muhasabah dengan
Abu Abdullah al Harits bin Asad al Muhasibi (w.243 H/857 M), seorang sufi dari
Bagdad. Al Muhasibi sering menggunakan konsep muhasabah dalam ajaran tasawufnya. Menurut Al Muhasibi, motivasi
manusia untuk melakukan perhitungan diri sendiri mengandung harapan dan
kecemasan, dan perhitungan itu merupakan landasan perilaku yang baik dan takwa.
Kemudian pengaturan diri dalam tasawuf banyak
kesamaannya dengan sabar. Sabar berarti menahan, maksudnya menahan diri dari
keluh kesah ketika menjalankan ajaran Tuhan dan sewaktu mengahadapi musibah.
Jadi, sabar meliputi urusan dunia dan akhirat. Banyak ayat Al Qur’an yang
memerintahkan kita untuk selalu bersabar, antara lain ayat 200 surat Ali imran:
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah
kamu dan kuatkanlah kesabaranmu”.
Kesabaran ada
beberapa macam. Pertama ialah
bersabar untuk menjauhi larangan allah, seperti berzina, mabuk, berjudi,
mencuri dan korupsi. Kedua adalah
sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, memeliharanya terus menerus,
menjaganya dengan ikhlas dan memperbaikinya dengan pengetahuan. Dalam islam ada
perintah menjalankan ibadah, seperti shalat,puasa,zakat, dan haji. Kemudian ada
perintah berlaku jujur, membantu sesama yang lemah dan sebagainya. Ketiga adalah sabar ketika menghadapi
musibah, seperti kematian, kecelakaan, usaha bangkrut, dipecat dari pekerjaan,
difitnah, dan sebagainya. Orang harus bersabar dalam menghadapi musibah, karena
musibah itu merupakan cobaan dari allah, apakah ia dapat menjalaninya dengan
sabar atau berkeluh kesah. Kemudian harus ingat bahwa nikmat yang telah
diterima dari Tuhan selama ini masih lebih besar daripada musibah yang
menimpanya.
Lalu motivasi dalam tasawuf banyak
kesamaannya dengan raja’ (harapan atau optimisme). Sebab orang yang
memiliki motivasi biasanya optimistis dan sebaliknya orang yang optimistis
dalam hidupnya biasanya memiliki motivasi. Dalam tasawuf raja’ berarti bersikap optimistis terhadap rahmat Allah. Tetapi
optimisme bertingkat-tingkat. Tingkat yang paling tinggi adalah harapan para
sufi untuk mendekat dan bertemu dengan Allah. Sedang bagi orang awam atau orang
yang bukan sufi, raja’ berarti
mengharap kesejahteraan di dunia dan keselamatan di akhirat. Orang yang selamat
di akhirat adalah orang yang mendapat ampunan Allah. Karena itu, orang harus
selalu bertaubat memohon ampunan Allah dan berharap Allah mengampuninya. Sedang
optimisme dalam kehidupan dunia berarti berharap untuk mendapatkan kesejahteraan
yang baik, seperti rizki yang banyak, kedudukan yang tinggi, menjadi orang yang
berkuasa. Untuk mencapai hal ini orang harus bekerja keras dengan cara yang
halal. Orang yang tidak mau berikhtiar, tetapi mengharapkan taraf kehidupan
yang baik tidak disebut raja’, tetapi
tamanni (berangan-angan). Orang harus
memiliki raja’ dan tidak boleh tamanni.
Kemudian
mengenai empati dalam perspektif sufistik bararti mempunyai sikap Itsar. Dalam Ihya’ Ulumuddin, Juz Tiga,
karangan Imam Al Ghozali (tanpa tahun: 251) di sebutkan bahwa itsar berarti sikap dermawan terhadap
harta benda walaupun dia sendiri membutuhkan. Sikap dermawan merupakan sikap
yang mau menyerahkan barang kepada orang yang membutuhkan maupun yang tidak
membutuhkan. Memberikan barang ketika dirinya sendiri lebih membutuhkan ini
lebih berat dari pada ketika dirinya tidak sedang membutuhkanya. Dan inilah
yang di sebut dengan itsar. Itsar juga berarti lebih mengutamakan
orang lain dari pada dirinya. Karena itu itsar
sebenarnya lebih sekedar empati, yaitu lebih dari sekedar merasakan apa yang di
rasakan oleh orang lain (Sudirman Tebba, 2003). Dengan sifat itsar maka kecerdasan sosial juga akan
tumbuh, sehingga jika hal ini di miliki oleh setiap manusia maka kehidupan
dalam masyarakat akan semakin membaik.
Lalu tentang keterampilan sosial dalam tasawuf ada
konsep syaja’ah. Secara harfiah syaja’ah berarti berani, maksudnya
berani melakukan tindakan yang benar. Tetapi sikap berani harus disertai
pertimbangan yang matang dan pikiran yang tenang. Hal ini sesuai dengan ucapan
Nabi Muhammad SAW :
“Bukanlah pemberani
orang yang kuat berkelahi. Sesungguhnya pemberani itu adalah orang yang sanggup
menguasai hawa nafsunya di kala marah” (HR Bukhari dan Muslim).
2.5
Pengaturan Emosi
Setiap individu memiliki serangkaian
aturan bagaimana emosi ditampilkan (emotional display rule). Aturan ini
mengatur pada situasi mana emosi tertentu harus atau jangan diekspresikan.
Misalnya, anak-anak belajar bahwa jika mereka mendapatkan hadiah, mereka harus
memperlihatkan kegembiraan dan terima kasih,
dan menekan kekecewaan jika hadiah tersebut sebenarnya tidak mereka
sukai. Islam juga memberikan petunjuk agar setiap orang memiliki kendali
terhadap berbagai emosi yang ditampilkannya (Aliah B, 2008). Dalam hadits
diajarkan bahwa seseorang harus mampu mengendalikan amarahnya, sebagaimana
berikut ini :
“Barangsiapa mampu
menahan amarah, padahal dia mampu untuk melampiaskannya, maka Allah Swt. Akan
menyeru di hari kiamat nanti, hingga dia bebas untuk memilih bidadari yang dia
sukai.” (HR Abu Dawud dan Ath Thurmudhi)
Untuk pengendalian emosi ini
seseorang harus memiliki kemampuan dan strategi untuk mengatur emosinya. Orang
yang mampu memiliki kemampuan ini adalah orang yang memiliki kekuatan
kepribadian. Berkaitan dengan hal ini, Nabi Muhammad Saw. Bersabda:
“Dari Abdullah bin
Mas’ud r.a. bahwa Rasulullah Saw . bertanya kepada para sahabatnya : “ siapa
yang kalian anggap sebagai orang yang perkasa di antara kalian ?” para sahabat
berkata : “orang yang pernah dibanting oleh orang-orang.” Rasulullah bersabda :
“ Tidak, akan tetapi yang disebut orang perkasa adalah orang yang mampu
menguasai dirinya ketika sedang marah”. (HR Muslim dan Abu Dawud)
Berbagai strategi dapat digunakan
untuk mengendalikan emosi. Dalam manajemen kemarahan, Nabi Muhammad Saw.
Mengajarkan :
“ Apabila salah seorang
dari kalian marah sambil berdiri, maka hendaklah dia duduk. Jika rasa marah itu
menghilang dari dirinya (maka hal itu sudahlah cukup). Namun jika masih belum
hilang juga hendaknya dia berbaring. Sesungguhnya rasa marah itu termasuk
godaan setan dan sesungguhnya setan itu diciptakan dari api. Sesungguhnya api
hanya bisa dipadamkan dengan air. Oleh karena itu, jika salah satu di antara
kalian marah, hendaknya dia berwudhu.” (HR Abu Dawud)
Selain itu, Islam juga mengajarkan
agar manusia tidak berlebih-lebihan dalam meluapkan emosinya. Intensitas emosi
yang terlalu tinggi dapat membuat seseorang kehilangan kontrol, baik emosi
negatif maupun emosi positif.
Supaya kamu jangan
terlalu berduka cita terhadap apa yang luput dari dari dirimu, dan supaya kamu
jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah
tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS Al-Hadid
(57):23)
Pengaturan emosi
(Emotional regulation) ini sebenarnya telah dipelajari mulai dari bayi. Ketika
berinteraksi dengan ibunya, ibu menjadi model bagi bayi dalam mempelajari
emosi. Bayi meniru tanggapan emosional ibu terhadap berbagai situasi. Ibu juga
memberikan tanggapan selektif terhadap emosi bayi; misalnya ibu seringkali
lebih banyak menanggapi ekspresi ketertarikan atau keterkejutan bayi
dibandingkan emosi negatif. Namun, emosi yang dapat diterima secara sosial
berbeda dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu waktu ke waktu lain.
Pada usia 3
tahun, anak masih memiliki kemampuan terbatas unuk menyembunyikan emosi yang
dimilikinya untuk memenuhi aturan penampilan emosi yang dapat diterima oleh
budaya setempat. Misalnya seorang anak yang berbohong tentang mainan yang
dirusaknya pada usia ini, masih memperlihatkan rasa tidak sukanya pada mainan
tersebut. Namun, mereka cukup dapat menyembunyikan informasi yang sesungguhnya
yang ingin diketahui orang lain. Dengan pertambahan usia, anak prasekolah
menjadi lebih baik untuk mengeluarkan emosi yang berbeda dengan emosi yang
dimilikinya, namun masih berbeda dengan jika mereka mengeluarkan emosi mereka
yang sebenarnya. Pada usia sekolah anak menjadi lebih mampu menyesuaikan
dirinya dengan tuntutan tampulan emosi dari lingkungannya. Anak perempuan lebih
didorong untuk memahami aturan ini, sehingga mereka lebih manis dari segi tata
krama. Ibu sering kali lebih menanggapi emosi yang positif daripada emosi yang
negatif. Namun, meskipun seseorang terus mengalami pertambahan usia, mereka
juga masih memperlihatkan kegagalan dalam menguasai keterampilan ini.
Keterampilan ini memang sulit untuk dikuasai, membutuhkan pemahaman bagaimana
mengubah tampilan emosi, memahami perspektif orang lain, mengetahui bahwa
keadaan eksternal tidak harus sesuai dengan keadaan internal, memiliki kontrol
otot untuk menghasilkan ekspresi emosi, sensitif terhadap isyarat kontekstual
sosial yang memerhatikan mereka dalam mengubah ekspresi, dan memiliki motivasi
untuk menunjukkannya dengan cara yang sesuai dengan tata krama.
Terdapat dua
jenis aturan tampilan emosional (Aliah, 2008) : Prososial (prosocial) dan protektif diri (self-protective).
Prososial menampilkan aturan emosi untuk melindungi emosi orang lain, sementara
protektif diri merupakan pengaturan untuk menyembunyikan emosi dalam rangka
menyelmatkan muka atau melindungi dirinya dari konsekuensi negatif. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan untuk melindungi diri lebih dulu
muncul, namun penelitian lain menunjukkan sebaliknya. Anak lebih berusaha untuk mengontrol ucapannya daripada mimik mukanya
dalam menampilkan emosi. Lebih mudah untuk mengontrol ucapan daripada otot
wajah.
Kemampuan untuk
mengatur emosi juga terkadang disalhgunakan untuk memanipulasi emosi orang
lain. Al-Quran menceritakan bagaimana saudara-saudara Nabi Yusuf a.s.,
berbohong kepada ayah mereka Nabi Ya’qub a.s. dengan cara menangis di hadapan
ayah mereka.
Maka tatkala mereka
membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan
dia)…. Kemudian mereka datang kepada ayah mereka di sore hari sambil menangis.
Mereka berkata : “wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan
kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala;
dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah
orang-orang yang benar.” (QS.Yusuf (12):16)
Hal ini dilakukan untuk
menyesuaikan diri antara keinginan mereka dan harapan sosial terhadap perilaku
mereka.
2.5
Contoh Peristiwa Emosional dalam Al-Quran
Al-Quran mengandung sejumlah
peristiwa emosional. seperti peristiwa-peristiwa emosional yang dialami Nabi
Musa bersama al-abdush-shaleh (hamba yang shaleh). Imam bukhari, dalam kitab
shahih-nya,meriwayatkan kisah ini. Amru bin Dinar berkata bahwa dia diberi tahu
oleh Sa’id bin Jubair bahwa ia berkata kepada Ibnu abbas, “Nauf al-bikaali
menyatakan bahwa Musa yang punya kisah bersama Khidhir bukanlah Musa nabi bani
Israel.”
Ibnu Abbas
berkata,”Musuh Allah itu bohong. Ubay bin Ka’ab bercerita kepadaku bahwa dia
mendengar Rasulullah bersabda,
‘Suatu ketika Musa
berkhotbah di depan bani Israel. Dia ditanya, ‘Siapa manusia yang paling luas
ilmunya?’ Dia menjawab, ‘Aku.’ Atas jawaban itu, Allah menegur Musa karena dia
tidak mengembalikan ilmu kepada karunia Allah. Allah lalu memberikan wahyu
kepadanya, ‘Aku punya seorang hamba yang berada di tempat pertemuan dua laut.
Dia lebih luas ilmunya daripada kamu.’ Musa bertanya, wahai Tuhanku, bagaimana
saya bisa menemuinya ?’ Allah berfirman,’bawalah seekor ikan, letakkan ikan itu
di dalam sebuah bejana. Ketika kamu kehilangan ikan itu, di tempat itulah dia
berada.’ Akhirnyya musa mengambil seekor ikan, di letakkkannya di dalam bejana.
Kemudian dia berangkat diiringi
muridnya, Yuusya’ bin Nuun. Hingga ketika mereka berdua singgah di
sebuah batu besar, mereka berbaring dan tertidur. Saat itulah ikan di dalam
bejana tersebut melompat keluar dan mengambil jalannya ke laut….
Ketika mereka bangun,
pembantunya lupa memberitahunya perihal ikan tersebut. Mereka meneruskan
perjalanan selama siang dan malam hari itu. Dan keesokan harinya, musa berkata
kepada muridnya, ‘bawalah kemari makan kita, sesungguhnya kita telah merasa
letih karena perjalanan kita ini.
Musa tidak merasakan
keletihan hingga dia melewati tempat yang diperintahkan oleh Allah untuk
dituju. Saat itulah muridnya berkata,’Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat
berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan
itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan
ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali. ‘Bagi musa
dan muridnya itu merupakan keanehan. Saat itulah musa berkata,’itulah tempat
yang kita cari. “ (HR Bukhari)
Dari sini
mulailah peristiwa-peristiwa yang membangkitkan emosi Nabi Musa, dimana setelah
kembali ke tempat muridnya melupakan ikan, dia menemukan hamba saleh yang
diceritakan oleh Allah kepada-Nya. Mereka berbincang-bincang, lalu Musa meminta
hamba saleh itu untuk mengizinkannya menemaninya agar dia belajar darinya. Si
hamba saleh memberitahunya bahwa dia tidak akan biasa bersabar bersamanya. Musa
menyatakan kesiapannya untuk bersabar. Untuk kedua kalinya, hamba saleh
menetapkan syarat agar Musa tidak bertanya tentang hal-hal yang dia lihat
sampai dia sendiri yang menjelaskan hakikat peristiwa tersebut. Akhirnya mereka
berdua berangkat.
Allah berfirman:
“Lalu mereka bertamu
dengan seorang hamba diantara hamba-hamba kami, yang telah kami berikan
kepadanya rahmat dari sisi kami, dan yang telah kami ajarkan kepadanya ilmu
dari sisi kami. Musa berkata pada khidhir,’ Bolehkah aku mengikutimu supaya
kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah
diajarkan kepadamu?’ Dia menjawab,’sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan
sanggup sabar bersama aku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang
kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu ?’ musa berkata,’
Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak
akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun.’ Dia berkata,’jika kamu mengikutiku,
maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku
sendiri menerangkannya kepadamu.’ Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala
keduanya menaiki perahu lalu khidhir melubanginya. Musa berkata,’ mengapa kamu
melubangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat
sesuatu kesalahan yang besar.” (al-kahfi:65-71)
Ini adalah peristiwa emosional pertama. Ia adalah emosi kompleks,
karena tabiat peristiwa membangkitkan sejumlah emosi sekaligus. Peristiwa itu
memancing dalam jiwa Musa rasa heran, tercengang, sekaligus kecaman, terhadap
apa yang dilakukan oleh hamba saleh ini kepada perahu yang mereka tumpangi
tanpa diminta upah oleh para pemiliknya. Dan, tiba-tiba Musa dikejutkan oleh
khidhir yang sedang memotong salah satu papan kayu perahu dengan kapak sehingga
menimbulkan lubang.
Menyaksikan
perbuatan tersebut, Musa langsung emosi, heran dan mengecam,”Mengapa kamu
melubangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya ?
sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.” Saat itu khidhir
mengingatkannya akan syarat yang telah Musa setujui sebelum dia menemaninya
dalam perjalanan. Setelah teringat akan hal itu, amarah musa menjadi reda. Dan,
dia segera meminta maaf atas sikapnya.
“Musa telah
melupakan kesepakatannya dengan temannya (Khidhir) ketika dia berhadapan dengan
sebuah tindakan aneh ini yang tidak beralasan menurut logika!! Manusia
terkadang membayangkan makna umum yang abstrak. Akan tetapi, ketika aplikasi
praktis berbenturan dengan makna abstrak ini, dia akan merasakan adanya
sentuhan yang berbeda dengan persepsi teoritis. Sebab, eksperimen/pengalaman
praktis memiliki cita rasa lain yang berbeda dengan persepsi abstraktif.
Contohnya disini musa. Dia telah diingatkan sebelumnya bahwa dia tidak akan
dapat bersabar menghadapi sesuatu yang dia belum mempunyai pengetahuan yang
cukup tentang hal itu, tapi dia berniat untuk bersabar, mengandalkan kekuatan
tekad, dia memberi janji, dan menerima syarat. Sekarang dia terbentur dengan
pengalaman praktis menghadapi tindakan-tindakan lelaki ini, dan tiba-tiba Musa
langsung mengecam.”
Peristiwa
emosional kedua mendatangkan efek
yang lebih hebat sehingga musa tidak sanggup menahan dirinya. Dia langsung
bertindak dengan penuh emosi, dia lupa akan janji dan syaratnya. Ini juga emosi kompleks, mengandung unsur
keheranan, kemarahan, dan kecaman, dimana dia melihat hamba saleh itu membunuh
anak kecil yang sedang bermain bersama teman-temannya padahal anak itu tidak
melakukan kejahatan nyata yang membuatnya layak dibunuh. Lebih dari itu dia hanya
anak kecil yang belum balig, sehingga dia tidak mungkin dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatan-perbuatannya. Firman Allah,
“Maka berjalanlah
keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka khidhir
membunuhnya. Musa berkata,’ mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan
karena dia membunuh orang lain ? sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang
mungkar.’ Khidhir berkata,’ bukankah
sudah kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar
bersamaku?’ Musa berkata,’ jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah
(kali) ini, maka janganlah kamu
memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur
kepadaku.” (al-kahfi: 74-76)
Disini Nabi Musa
meminta maaf ketika Khidhir mengingatkannya akan syarat-syarat yang mereka
sepakati sebelumnya. Akan tetapi, pada kesempatan ini, musa berkata,”jika saya
tidak dapat bersabar menghadapi peristiwa yang akan datang, janganlah kamu
memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur
kepadaku.” Lalu mereka berangkat lagi, hingga mereka lewat di sebuah desa yang
penduduknya sangat pelit. Di desa tersebut mereka menemukan sebuha bangunan
yang miring, hampir ambruk. Khidhir menegakkan bangunan tersebut dengan
tangannya sendiri. Melihat itu, dengan teguran tenang dan penuh keheranan atas
apa yang erjadi, Musa berkomentar,” kita mendatangi suatu kaum, tapi mereka
tidak memberi kita makan, juga tidak menjamu kita.
“Maka keduanya berjalan
hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta
dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu
mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang
hampir roboh, maka khidhir menegakkan dinding itu. Musa berkata,’jika kamu mau,niscaya
kamu mengambil upah untuk itu.’ Khidhir berkata,’inilah perpisahan antara aku
dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang
kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (al-Kahfi:77-78)
Lalu mulailah Khidhir menjelaskan hakikat-hakikat
peristiwa-peristiwa yang membakar emosi Musa.
“Adapun bahtera itu
adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan
merusakkan bahtera itu, karena dihapan mereka ada seorang raja yang merampas
tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak muda itu, maka kedua orang tuanya adalah
orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua
orangtuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki supaya
Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya
dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). Adapun
dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di
bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedangkan ayahnya adalah seorang
yang saleh, makan Tuhanmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya
dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku
melakukannya itu menurut kemaukanku sendiri demikian itu adalah tujuan
perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (al-Kahfi:79-82)
Allah
menjelaskan rahasia-rahasia dibalik peristiwa-peristiwa yang dilakukan oleh
hamba saleh dalam perjalanan bersama Nabi Musa, dimana peristiwa-peristiwa
tersebut mendatangkan pengaruh yang hebat sebelum dia mengetahui hakikat dan
rahasia yang sesungguhnya.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kecerdasan emosional merupakan
kemampuan untuk mengenali, mengelola, dan mengekspresikan dengan tepat,
termasuk untuk memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta
membina hubungan dengan orang lain. Dalam hal ini yang berperan adalah hati.
Hati mengaktifkan nilai-nilai yang paling dalam, mengubahnya dari sesuatu yang
dipikir menjadi sesuatu yang dijalani. Hati mengetahui hal-hal yang dapat atau
tidak dapat diketahui oleh pikiran. Hati adalah sumber keberanian dan semangat,
integritas, dan komitmen.
Dalam islam
ekspresi emosional dibagi menjadi dua yaitu emosi primer dan emosi sekunder.
Emosi primer adalah emosi dasar yang dianggap telah ada secara biologis dan
emosi sekunder yaitu emosi yang kompleks dibanding emosi primer. Emosi sekunder
adalah emosi yang terindikasi kesadaran diri, atau evaluasi diri sehingga
pertumbuhannya bergantung pada perkembangan kognitif seseorang.
Dalam pespektif
sufistik unsur-unsur kecerdasan emosional juga ada dalam tasawuf seperti
kesadaran diri dalam tasawuf disebut muhasabah,
pengaturan diri dalam tasawuf banyak kesamaannya dengan sabar, motivasi
dalam tasawuf banyak kesamaan dengan raja’,
empati dalam tasawuf ada itsar dan keterampilan sosial ada konsep syaja’ah dalam tasawuf.
DAFTAR
PUSTAKA
Agustian,
Ary Ginanjar, 2001, Rahasia Sukses
Membangun Kecerdasan Emosional Dan Spiritual, Jakarta: Arga
Az-za’balawi,
Muhammad, 20007, Pendidikan Remaja
antara Islam dan Ilmu Jiwa, Jakarta: Gema Insani
E. Usman Efendi dan Juhaya S. Praja,
1985, Pengantar Psikologi, Bandung: Angkasa
Goleman,
Daniel, 2003, Kecerdasan Emosional, terj. T. Hermaya, Cet. XIII,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Hartati, Netty, dkk, 2004, Islam dan
Psikologi, Jakarta: RajaGrafindo Persada
Hasan, Aliah B, 2008, Pikologi
Perkembangan Islami, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Hude,
M. Darwis, 2006, Emosi; Penjelajahan Religio-Psikologis tentang Emosi
Manusia di dalam Al Qur’an,
Jakarta: Erlangga
Mujib,
Abdul, (2012). “Konsep Pendidikan Karakter Berbasis Psikologi Islam” Seminar Nasional Psikologi Islam A01
Sukring,
2013, Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu
Tebba,
Sudirman, 2003, Tasawuf Positif, Jakarta: Kencana
Wijaya, Diana, 2007, Peluang
Meningkatkan Karir dengan Inteligensi (Kecerdasan), Jakarta: Restu Agung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar