Kamis, 25 Februari 2016

POLA ASUH ISLAMI: ANTARA TRANSFORMASI NILAI-NILAI THEOLOGIS DAN INTERNALISASI KARAKTER MAHMUDAH TEGUH FACHMI

POLA ASUH ISLAMI: ANTARA TRANSFORMASI NILAI-NILAI THEOLOGIS DAN INTERNALISASI KARAKTER MAHMUDAH
(TEGUH FACHMI)
      
  
      Islam adalah agama yang sempurna didalamnya tidak hanya terdapat tuntunan syariat untuk melaksanakan ibadah saja, tetapi islam mengatur seluruh aspek kehidupan yang dapat dijadikan sebagai the way of life pedoman hidup. Tidak terkecuali didalam hal tarbiyah atau pengasuhan dan pendidikan terhadap anak, islam mengatur bagaimana pola pengasuhan terhadap anak, seperti apa kita memperlakukan anak, dan bagaimana membimbing dan mengarahkan, islam sudah mengaturnya didalam al-qur’an dan al-hadits. Dalam perspektif Islam anak adalah anugerah Allah yang di amanahkan kepada orangtua dan wajib disyukuri. “Jika amanah itu disia-siakan, maka tunggulah saat kehancurannya (Prasetyaningrum, 2012). Demikian seperti itulah salah satu potongan hadits nabi sebagai peringatan bagi orangtua dan para pendidik, untuk tidak semena-mena kepada anak-anak mereka. Salah satu wujud rasa syukur orangtua atas amanah dari Allah ini adalah dengan berusaha mendidik mereka sebaik-baiknya melalui pola asuh yang tepat, karena tanpa pendidikan dan pola asuh yang tepat, rasanya mustahil mereka akan menjadi generasi berkualitas yang shalih dan shalihah (Hanan, 2005), seperti sabda Rosululloh SAW: ”Ajarkanlah kebaikan kepada anak-anakmu dan keluargamu, dan didiklah mereka” (HR Abdur Razzaq dan Sa’id bin Mansur), juga Firman Allah SWT (QS Ath-Tahrim 66:6): ”Hai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. 
            Pada setiap tahapan perkembangan anak membutuhkan metode pendekatan yang berbeda-beda. Anak adalah pribadi khas yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Mereka ingin diperlakukan secara khas pula oleh orang dewasa di sekitarnya. Anak adalah mahluk yang memiliki eksistensi, sehingga ia selalu ingin diakui keberadaannya (Gordon, 1989; Santrock, 2002 dan Papalia, 2009). Salah satu tanggung jawab yang harus diberikan orangtua atas anak yang diamanahkan kepada mereka adalah pola asuh yang tepat untuk membantu pembentukan karakter anak. Hal ini sesuai dengan konsep Islam yang tercantum dalam Hadits Riwayat Abu Hurairah (dalam Abdurrahman, 2004)., Rosululloh SAW bersabda: ”Barang siapa tidak mengasihi (anaknya), maka dia tidak akan dikasihi (anaknya)”. Dalam konteks yang lebih luas, Hadits tersebut dapat diartikan bahwa apabila kita menginginkan anak yang berkarakter pengasih, maka harus dimulai dari orangtua yang selalu mengasihi dan menyayangi anak-anaknya.
      Dewasa ini dimana era kemajuan teknologi dan arus globalisasi semakin tidak dapat dibendung lagi banyak sekali hal-hal yang perlu diperhatikan bagi setiap orang tua dalam mendidik anaknya. Apabila orang tua salah dalam menerapkan pola asuh maka akan berdampak negatif terhadap perkembangan anak. Maka dari itu sudah saatnya nilai-nilai keislaman atau religiusitas dijadikan sebagai fondasi pendidikan dan pembentukan karakter dalam penerapan pola asuh terhadap anak. Islamisasi teori pola asuh yang berasal dari barat merupakan sebuah keniscayaan yang sangat mungkin diterapkan, dengan mengintegrasikan dua sisi antara barat dan timur diharapkan dapat membuat sebuah pola asuh yang tidak hanya menanamkan nilai-nilai kedisiplinan yang tinggi namun juga memiliki nilai-nilai religiusitas yang luhur. Namun persoalan kita saat ini bukan hanya untuk menemukan konsep karakter Islam atau konsep pola asuh dalam islam, tetapi lebih bagaimana mendesain rumusan karakter yang mudah diimpelementasikan yang transformatif dan dapat diukur penerapannya, sehingga nantinya kita memiliki norma baku yang dapat dijadikan sebagai standar dalam menentukan baik-buruknya karakter individu (Mudjib,2012). Sejalan dengan itu makalah ini disusun bertujuan agar menjadi rujukan nilai-nilai karakter keislaman yang transformatif universal sehingga dapat menambah khasanah seni pengasuhan anak di era dewasa ini. 

Pola Asuh Dalam Perspektif Islam
      Pengertian pola asuh dalam perspektif islam adalah suatu kesatuan yang utuh dari sikap dan perlakuan orangtua kepada anak sejak masih kecil baik dalam mendidik, membina, membiasakan dan membimbing anak secara optimal berdasarkan al-qur’an dan al-Hadits (Daradjat,1985). Apabila kita cermati setidaknya ada empat kata kunci yang bisa dijadikan patokan dalam hal pengasuhan islam yaitu mendidik, membina, membiasakan dan membimbing yang semuanya itu merupakan sebuah kesatuan utuh baik secara sikap dan perlakuan terhadap anak sejak masih kecil hingga dewasa. Menerapkan pola asuh berarti mendidik seorang anak, pendidikan dalam wacana keislaman lebih populer dengan istilah tarbiyah, ta’lim, ta’dib, riyadhah, irsyad dan tadris (Mujib & Mudzakir,2006). Yang menurut para ahli pendidikan menelusuri makna tarbiyah melalui kata rabb (Tuhan) dalam surat al-Fatihah, karena keduanya memiliki akar huruf yang sama. Dari penelusuran itu didapat dua pengertian pokok sebagai berikut: Pengertian Pertama: ”Proses menyampaikan (transformasi) sesuatu sampai pada batas kesempurnaan yang dilakukan tahap demi tahap sebatas kesanggupannya.” (al-Baghdadi, tt; al- Qasimi, tt; al-Hanafî, tt; al-Nahlawi, 1979. Dalam Mudjib, 2012).  Berdasarkan penjelasan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa pola asuh dalam islam adalah proses transformasi sebuah kebudayaan, ilmu pengetahuan dan etika keislaman yang bersumber dari al-qur’an dan hadits yang berlangsung secara terus menerus oleh orang tua terhadap anak.
    Tujuan dari pengasuhan islam atau pola asuh yang bernafaskan nilai-nilai keislaman adalah terciptanya generasi muslim berkarakter tangguh yang syarat akan perilaku  baik atau dalam istilah islam yaitu akhlaq mahmudah (Mudjib,2012). Dalam istilah psikologi karakter (character)  memiliki definisi yang berbeda dengan kepribadian (personality) kedua istilah ini sama-sama membicarakan tingkah laku manusia, hanya saja personality tidak mengaitkan pembahasannya pada baik- buruk (devaluasi), sementara aksentuasi character justru pada penilaian baik-buruk (evaluasi) (Allport dalam Sumadi, 1990 dalam Mudjib, 2012). Dengan demikian muara akhir tujuan dari pola pengasuhan dalam islam merupakan sebuah usaha transformasi, pembinaan, pembiasan dan pembimbingan orang tua terhadap anak dengan menjadikan nilai-nilai qur’ani yang mahmudah sebagai tujuannya sehingga terjadi internalisasi di dalam diri anak demi terciptanya generasi yag qur’ani.
Pola Asuh Dalam Perspektif Psikologi: Pengertian Pola asuh
Orang tua berperan dalam semua fase kehidupan anak. Mengasuh, melindungi, membimbing dalam tiap proses perkembangan anak merupakan tugas dari orang tua. Hubungan orang tua terhadap anak salah satunya dapat dilihat melalui pola interaksi yang diterapkan oleh orang tua terhadap anaknya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pola asuh identik dengan istilah pengasuhan yaitu hal (cara, perbuatan) mengasuh. Dalam kata mengasuh terdapat kata menjaga (merawat dan mendidik), membimbing (membantu dan melatih), memimpin (mengepalai dan menyelenggarakan). Istilah asah dan asuh sering dirangkai dengan asah dan asih menjadi asah-asih-asuh. Mengasuh berarti melatih agar kemampuan meningkat. Asih berarti mencintai dan menyayangi dengan tujuan meningkatkan dan mengembangkan kemampuan anak dan dilandasi dengan rasa kasih sayang dan tanpa pamrih.
Pola asuh adalah perlakuan yang dilakukan orang tua antara lain mendidik, membimbing, serta mengajar tingkah laku yang umum dilakukan di masyarakat (Suwono, 2008, dalam Herlina, 2013). Pola asuh dapat didefinisikan sebagai pola interaksi antara anak dengan orang tua yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum dan lain-lain), serta sosialisasi norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungannya (Herlina, 2013). Sementara itu Hurlock (1999, dalam Ariani, 2006) mengemukakan bahwa pola asuh adalah metode yang dipilih oleh orang tua dalam pendidikan pada anak.
Pola asuh yang digunakan oleh orang tua terkait dengan jumlah keterampilan dalam diri dan tergantung pada kemampuan emosional masing-masing, sedangkan pengaruh pendidikan formal dalam prosesnya hanya sedikit. Kebanyakan orang tua belajar praktek pengasuhan dari orang tua mereka sendiri, sebagian mereka terima, dan sebagian lagi tidak digunakan (Santrock, 1985). Orang tua harus mengadaptasi sejumlah perubahan selama masa-masa tahun remaja anak, dimulai dari masa pubertas, sekitar usia sebelas hingga tiga belas tahun sampai dengan usia sekitar tujuh belas hingga dua puluh tahun. Remaja mengalami kesulitan dalam menghadapi perubahan pada perkembangan seksual mereka. Pola pengasuhan yang berhasil biasanya melibatkan respon adaptif orang tua pada perubahan kebutuhan remaja saat mereka berada pada masa perkembangannya (Santrock, 1985).
Dari beberapa deskripsi diatas, dapat disimpulkan bahwa pola asuh adalah segala bentuk interaksi antara orang tua dan anak yang dapat mengembangkan ekspresi terhadap sikap, nilai-nilai, minat dan kepercayaan diri serta tingkah laku yang secara langsung maupun tidak langsung, akan membuka kesempatan bagi anak untuk mengembalikan pertahanan anak, nilai-nilai dan keterampilan yang dibutuhkan untuk hidup di masa perkembangan selanjutnya.

Pola Asuh Islami: Antara Transformasi Nilai-nilai Theologis Dan Internalisasi Karakter Mahmudah.
 Wacana pengasuhan menjadi suatu hal yang fundamental dalam keluarga islam, mengingat subjek utama dari pengasuhan adalah orang tua yang sekaligus menjadi sekolah/madrasah pertama bagi anak-anaknya sebagai upaya untuk mengajarkan dan memperkenalkan dunia kepada mereka.  Peran lingkungan keluarga atau lebih spesifik orang tua menjadi titik epicentrum poros penentu dalam upaya pendidikan terhadap anak, karena orang tua yang cerdas akan mencetak anak-anak yang cerdas, sebaliknya orang tua yang belum siap dan terampil mendidik anak akan mencetak generasi yang lemah.
Didalam islam anak terlahir dalam keadaan suci atau fitrah kemudian orang tuanyalah yang akan membentuk karakter perilakunya, mendidik dan menanamkan nilai-nilai keagamaan sebagaimana hadits dibawah ini:  “Dari Abu Khurairah ra. Berkata, Rasulullah SAW bersabda setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, orang tualah yang menjadikannya yahudi, nasrani, atau majusi. (HR.Bukhori Muslim).
       Dari hadits diatas dapat penulis simpulkan bahwa peran orang tua atau lebih spesifik pola pengasuhan yang di praktekan oleh orang tua merupakan salah satu media transformasi nilai-nilai kepercayaan agama dan budaya, dengan demikian keluarga merupakan garda terdepan yang menentukan maju mundurnya sebuah peradaban karena disadari atau tidak Negara yang kuat berawal dari keluarga yang kokoh.
       Anak-anak yang terbiasa dididik juga dibesarkan dari lingkungan yang tingkat religiusitasnya tinggi dan menjungjung luhur nilai-nilai akhlak mahmudah akan secara otomatis terinternalisasi didalam dirinya nilai-nilai akhlak mahmudah yang keumdian membentuk dan menjadi karakter anak tersebut. Pada akhirnya pola asuh dalam islam tidak hanya sebatas bagaimana tata cara pendidikan dan pengasuhan orang tua terhadap anaknya akan tetapi jauh lebih daripada itu merupakan sebagai sarana transformasi nilai-nilai theologis dalam islam dan proses pembentukan karakter yang mahmudah.
Membentuk Idealisme Pada Anak
     Masa anak-anak adalah masa yang paling tepat untuk menanamkan suatu pemahaman. Bila anak-anak mendapat pemahaman yang benar sejak dini, maka pemahaman tersebut akan mengarahkan perilakunya pada masa yang akan datang.disinilah tanggung jawab dan peran orang tua sangat dibutuhkan dalam proses penanaman pemahaman yang benar pada diri anak agar terbentuk idealisme islam.

     Sebagai konsekuensi dari keyakinan pada akidah islam, orang tua harus memebentuk bangunan keluarganya atas dasar ketaatan kepada Allah SWT. Artinya, orang tua harus membangun pemahaman seluruh anggota keluarganya dalam rangka meraih keridhaan Allah SWT, dalam hal ini hubungannya dengan pola asuh bahwa dalam islam pola asuh tidak hanya menjadi media sebagai pembentukan karakter anak secara umum, namun jauh lebih daripada itu pola pengasuhan dalam islam menjadi salah satu media untuk menanamkan nilai-nilai idealisme dalam islam yang pada akhirnya membentuk generasi yang memiliki akhlak mahmudah.

  Orang tualah yang akan memberikan pengaaruh terhadap perkembangan pemahaman anak, maka dalam pola pengasuhan islam penanaman nilai akidah merupakan suatu hal yang penting dan proses penanamannya memiliki sifat otoriter dari kedua orang tuanya, artinya pendidikan nilai-nilai ilahiah merupakan suatu hal yang tidak bisa di kompromikan dalam polapengasuhan dalam islam.

Macam-Macam Pola asuh Dalam Perspektif Barat
       Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Diana Baumrind (1971, 1996b; Baumrind & Black, 1967, dalam Papalia, et.al., 2009) pada sejumlah keluarga yang memiliki anak prasekolah, didapatkan tiga macam pola asuh, yaitu:
  1. Authoritarian Parenting Style (Pola Asuh Otoriter)
Pengasuhan dengan pola otoriter menurut Baumrind, merupakan pola asuh dimana orang tua menghargai kontrol dan kepatuhan tanpa banyak tanya (Papalia, et.al., 2009). Menurut Santrock (2002) pola ini ialah suatu gaya pengasuhan yang membatasi dan menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua dan menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua otoriter menerapkan batas dan kendali yang tegas pada anak dan meminimalisir perdebatan verbal. Mereka mungkin juga sering memukul anak, memaksakan aturan secara kaku tanpa menjelaskannya, dan menunjukkan amarah pada anak (Santrock, 2007). Anak-anak dididik dengan menggunakan sistem penghargaan dan hukuman yang keras bagi siapa saja yang bertentangan dengan standar dari orang tua (Wong, Perry, & Hockenberry, 2002, dalam Ariani, 2006). Mereka lebih mengambil jarak dan kurang hangat dibanding orang tua yang lain. Anak-anak dari keluarga otoriter cenderung menjadi lebih tidak puas, menarik diri, dan tidak percaya terhadap orang lain (Papalia, et.al., 2009).

  1. Permissive Parenting Style (Pola Asuh Permisif)
Dalam pola asuh ini, orang tua hanya membuat sedikit permintaan dan membiarkan anak memonitor aktivitas mereka sendiri sedapat mungkin (Papalia, et.al., 2009). Orang tua dengan pola ini sangat terlibat dengan anak, namun tidak menuntut atau mengontrol mereka (Santrock, 2007). Jika mereka harus membuat peraturan, mereka akan menjelaskan alasan-alasannya pada anak. Hockenberry (2005, dalam Ariani, 2006) mengemukakan bahwa sifat pola asuh ini adalah children centered, artinya segala aturan dan ketetapan keluarga di tangan anak. Disiplin yang dimunculkan dalam pola asuh ini seringkali tidak konsisten dan tidak bisa diprediksi (Gander & Gardiner,, 1981). Anak dari hasil pola pengasuhan ini cenderung belum matang, paling tidak memiliki kontrol diri dan tidak terlalu suka bereksplorasi (Papalia, et.al., 2009). Selain itu, anak menjadi tidak peka terhadap tanggung jawab sosial, dan akan mengalami kesulitan mempelajari adat istiadat sosial (Ariani, 2006).
  1. Authoritative Parenting Style (Pola Asuh Autoritatif)
Dalam pola ini orang tua menghargai individualitas anak tetapi juga menekankan batasan-batasan sosial. Mereka percaya akan kemampuan mereka dalam memandu anak, tetapi juga menghargai keputusan mandiri, minat, pendapat, dan kepribadian anak (Papalia, et.al., 2009). Selain itu mereka juga fleksibel. Disiplin yang diterapkan dalam pola ini melibatkan alasan dan penjelasan dibandingkan dengan hanya memberikan hukuman atas kesalahan anak (Gander & Gardiner, 1981). Pola ini melibatkan anak dalam kegiatan memberi dan menerima secara verbal dan membolehkan anak mengutarakan pandangan mereka (Kuczynski & Lollis, 2002, dalam Santrock, 2007). Anak dari pola asuh ini menjadi merasa aman karena mengetahui mereka dicintai, tapi juga diarahkan dengan tegas. Anak dari pola asuh ini menjadi cenderung mampu mengandalkan diri, mengontrol diri dan lebih asertif (Papalia, et.al., 2009), mereka menjadi cenderung independen, memiliki self concept yang positif (Gander & Gardiner, 1981), mengurangi masalah perilaku pada remaja, serta meningkatkan performa di sekolah (Urberg & Wolowicz, 1996, dalam Santrock, 1998).
Kemudian para ahli perkembangan, yaitu Eleanor Maccoby dan John Martin (1983, dalam Papalia, et.al, 2009) menambahkan pola asuh keempat, yaitu:
  1. Permissive Indifferent Parenting Style / Neglecting
Merupakan pola pengasuhan mengabaikan, atau tidak terlibat. Pola asuh ini menggambarkan orang tua yang kadang hanya fokus pada kebutuhannya sendiri dan mengabaikan kebutuhan anak karena stress atau depresi (Papalia, et.al, 2009). Pola pengasuhan ini tidak memiliki kontrol orang tua sama sekali. Pola asuh ini sudah dikaitkan dengan berbagai gangguan perilaku pada masa kanak-kanak dan remaja (Baumrind, 1991; Parke & Buriel, 1998; R.A. Thompson, 1998, dalam Papalia, et.al, 2009).

Islam Dan Pola Asuh
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Diana Baumrind (1971, 1996b; Baumrind & Black, 1967, dalam Papalia, et.al., 2009) pada sejumlah keluarga yang memiliki anak prasekolah, didapatkan tiga macam pola asuh, yaitu: pola asuh otoriter, permissive, autoritatif dan neglecting, dalam perspektif islam sesunggunya empat macam pola asuh yang telah dikemukakan oleh Diana Baumrind tersebut sudah terkandung secara implisit didalam ajaran islam, seperti contoh dalam mendidik anak untuk melaksanakan shalat lima waktu apabila anak sudah mencapai umur tujuh tahun dan sulit untuk diperintahkan mendirikan shalat maka orng tuanya boleh memukulnya dengan syarat memeuluk tanpa melukainya, sebagaimana hadits dibawah ini.
Jika harus menggunakan hukuman fisik, harus terarah dan terkendali. Sabda Rasulullah saw.: “Suruhlah anak-anakmu mengerjakan sholat pada usia 7 tahun dan pukullah mereka (tapi tidak melukai) pada usia 10 tahun bila mereka tidak sholat.” (HR al-Hakim dan Abu Dawud)
       Artinya pukulan fisik merupakan suatu hal yang sangat otoriter, dan untuk hal-hal tertentu islam pun memperbolehkannya dengan  ketentuan tertentu.

Pengukuran Pola Asuh Dalam Islam
       Dalam pengukuran (measurement) tentang hal yang menyangkut keislaman mengalami beberapa persoalan, baik secara substantif ataupun metodologis (Mudjib,2012). Bahkan menjadi penghambat dalam upaya pengembangan alat ukur yang menyangkut tentang keislaman, namun itu hanya terbatas untuk hal-hal yang bersifat nilai keshalehan, keimanan atau tentang karakter islam.
       Untuk mengukur pola asuh sendiri sangat memungkinkan untuk dikembangkan alat ukurnya, dengan pertama-tama mencari definisi operasional dari masing-masing bentuk pola asuh, kemudian dibuat blue print lalu dikembangkan item pertanyaannya dengan melakukan adaptasi dan disesuaikan dengan pertanyaan atau peernyataan pola asuh yang islami. Dengan begitu kita dapat mengetahui pola asuh seperti apakah yang digunakan oleh orang tua dalam memeberikan pendidikan dan pembentukan karakter nilai-nilai islam pada anak.

Daftar Pustaka
   Dradjat, Z. Nilai-nilai Moral Di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta 1985Mujib,A., Mudzakir,J.(2006).Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Prenada Media

Mudjib, A, Konsep Pendidikan       Karakter Berbasis Psikologi Islam.(2012). Prosiding Seminar Nasional Psikologi Islami.

Papalia, D.E., Olds, S.W. and Feldman, R.D. (2009). Human Development, ed 10th.Perkembangan Manusia (Terjemahan: Brian Marwensdy). Jakarta: PenerbitSalemba Humanika.

Santrock, J.W. (2002). Life-span      Development. (Terjemahan: Achmad Chusaeri dan Juda Damanik). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar