Kamis, 25 Februari 2016

PERSPEKTIF PSIKOLOGI DAN ISLAM MENGENAI PROSES BELAJAR (MUHAMMAD KHALILULLAH)

PERSPEKTIF PSIKOLOGI DAN ISLAM MENGENAI PROSES BELAJAR
MUHAMMAD KHALILULLAH
(21150700000016)

PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk yang dilengkapi Allah dengan sarana berpikir. Namun sayang, kebanyakan mereka tidak menggunakan sarana yang teramat penting ini sebagaimana mestinya. Bahkan pada kenyataannya sebagian manusia hampir tidak pernah berpikir.
Dalam ilmu psikologi, berpikir mencakup semua proses mental seperti mengingat, berangan-angan, melamun sampai kepada kemampuan berkreasi atau kegiatan kreatif yang bertujuan memecahkan masalah. Aliran behaviorisme lebih menekankan bahwa berpikir itu adalah perilaku yang terdiri dari verbal dan non verbal, terbuka maupun tertutup sebagai respon dari stimulus. Sedangkan aliran gestalt menafsirkan berpikir sebagai proses pemantulan (reflective) dimana seseorang mengembangkan atau merubah pengertian dan pemahaman yang sudah teruji. Dengan demikian berpikir mengkombinasikan proses deduktif (menghimpun fakta dan proses generalisasi teori) untuk menguji hipotesis.
Setiap orang memiliki tingkat kemampuan berpikir yang seringkali ia sendiri tidak menyadarinya. Ketika mulai menggunakan kemampuan berpikir tersebut, fakta-fakta yang sampai sekarang tidak mampu diketahuinya, lambat-laun mulai terbuka di hadapannya. Semakin dalam ia berpikir, semakin bertambahlah kemampuan berpikirnya dan hal ini mungkin sekali berlaku bagi setiap orang. Harus disadari bahwa tiap orang mempunyai kebutuhan untuk berpikir serta menggunakan akalnya semaksimal mungkin.
Makalah ini di buat dengan tujuan mengajak semua umat muslim "berpikir sebagaimana mestinya" dan mengarahkan mereka untuk "berpikir sebagaimana mestinya". Seseorang yang tidak berpikir berada sangat jauh dari kebenaran dan menjalani sebuah kehidupan yang penuh kepalsuan dan kesesatan. Akibatnya ia tidak akan mengetahui tujuan penciptaan alam, dan arti keberadaan dirinya di dunia. Padahal, Allah telah menciptakan segala sesuatu untuk sebuah tujuan sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an:
 (38) وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِينَ
  (39) مَا خَلَقْنَاهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan haq, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui." (QS. Ad-Dukhaan ayat 38-39)
Oleh karena itu, yang paling pertama kali wajib untuk dipikirkan secara mendalam oleh setiap orang ialah tujuan dari penciptaan dirinya, baru kemudian segala sesuatu yang ia lihat di alam sekitar serta segala kejadian atau peristiwa yang ia jumpai selama hidupnya. Manusia yang tidak memikirkan hal ini, hanya akan mengetahui kenyataan-kenyataan tersebut setelah ia mati. Yakni ketika ia mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya di hadapan Allah; namun sayang sudah terlambat. Allah berfirman dalam Al-Qur'an bahwa pada hari penghisaban, tiap manusia akan berpikir dan menyaksikan kebenaran atau kenyataan tersebut:
            ٢٣ وَجِيءَ يَوْمَئِذٍ بِجَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ الإنْسَانُ وَأَنَّى لَهُ الذِّكْرَى
 ٢٤ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي
“Dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari itu ingatlah manusia akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. Dia mengatakan, "Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini." (QS. Al-Fajr : 23-24)
Padahal Allah telah memberikan kita kesempatan hidup di dunia. Berpikir atau merenung untuk kemudian mengambil kesimpulan atau pelajaran-pelajaran dari apa yang kita renungkan untuk memahami kebenaran, akan menghasilkan sesuatu yang bernilai bagi kehidupan di akhirat kelak. Dengan alasan inilah, Allah mewajibkan seluruh manusia, melalui para Nabi dan Kitab-kitab-Nya, untuk memikirkan dan merenungkan penciptaan diri mereka sendiri dan jagad raya.

PEMBAHASAN
2.1 Pandangan Psikologi tentang Proses Berpikir
Pencapaian tertinggi spesies manusia berasal dari kemampuan kita untuk melakukan pemikiran dan mengkomunikasikannya. Berpikir mencakup banyak aktivitas mental. Kita berpikir saat kita mencoba memecahkan permasalahan yang ada di dalam hidup kita, karena berpikir merupakan suatu set proses kognitif yg menjembatani antara stimulus & respon dimana stimulus adalah masalah & respon adalah pemecahannya.
A.    Pengertian
Berpikir adalah proses dimana secara mental atau kognitif memproses informasi. Berpikir merupakan kerja otak yang menghubungkan  dua atau lebih informasi dengan menggunakan bahasa atau tanpa menggunakan bahasa.
Menurut Glass dan Holyoak, 1986; Solso, 1988, berpikir adalah proses menghasilkan representasi mental yang baru melalui transformasi informasi yang melibatkan interaksi secara kompleks antara atribut-atribut mental seperti penilain, abstraksi, penalaran, imajinasi, dan pemecahan masalah.
B.     Proses Berpikir
            Proses berpikir secara normal menurut Mayer (dalam Solso, 1988) akan meliputi tiga komponen pokok sebagai berikut: Pertama, berpikir adalah aktivitas kognitif yang terjadi di dalam mental atau pikiran seseorang, tidak tampak, tetapi dapat disimpulkan berdasarkan perilaku yang tampak. Contoh, seorang pemain catur memperlihatkan proses berpikirnya melalui gerakan-gerakan atau langkah-langkah yang dilakukan di atas papan catur.
Kedua, berpikir merupakan suatu proses yang melibatkan beberapa manipulasi pengetahuan di dalam sistem kogintif. Pengetahuan yang pernah dimiliki (tersimpan di dalam ingatan) digabungkan dengan informasi sekarang sehingga mengubah pengetahuan seseorang mengenai situasi yang sedang dihadapi.
Ketiga, aktivitas berpikir diarahkan untuk menghasilkan pemecahan masalah. Sebagaimana seseorang pemain catur, setiap langkah yang dilakukannya diarahkan untuk memenangkan suatu permainan. Meski tidak semua langkah yang dilakukan itu berhasil, namun secara umum di dalam pikirannya semua langkah diarahkan pada suatu pemecahan.
C.    Faktor-Faktor Yang Menghambat Sehingga Menyebabkan Adanya Kesalahan Dalam Berfikir
1.    Rasa takut
“Mengapa kamu tidak mencoba cara baru saja untuk menyelesaikan tugas ini dengan lebih cepat?” “Ah, saya takut gagal. Kalau saya gagal atau salah, saya pasti dimarahi, dosen! Jadi lebih baik saya kerjakan saja sesuai dengan yang diperintahkan.” Yah, rasa takut gagal, takut salah, takut dimarahi, dan rasa takut lainnya sering menghambat seseorang untuk berpikir dan menyebabkan kesalahan dalam pemikirannya.
2.    Rasa puas
“Mengapa saya harus coba sesuatu yang baru? Dengan begini saja saya sudah nyaman.” “Saya sudah sukses. Apa lagi yang harus saya cemaskan?” Ternyata bukan masalah saja yang bisa menjadi hambatan. Kesuksesan, kepandaian dan kenyamanan pun bisa jadi hambatan. Orang yang sudah puas akan prestasi yang diraihnya, serta telah merasa nyaman dengan kondisi yang dijalaninya seringkali terbutakan oleh rasa bangga dan rasa puas tersebut sehingga orang tersebut tidak terdorong untuk menjadi kreatif mencoba yang baru, belajar sesuatu yang baru, ataupun menciptakan sesuatu yang baru.
3.    Kemalasan mental
“Untuk mencoba yang baru berarti saya harus belajar dulu. Aduh, susah. Terlalu banyak yang harus saya pelajari. Biar yang lain saja yang belajar.” “Memikirkan cara lain? Wah, sekarang saja sudah banyak yang harus saya pikirkan. Lagi pula memikirkan cara baru bukan tugas saya, biarlah ketua kelas saya saja yang memikirkannya.” Ini merupakan beberapa contoh kemalasan mental yang menjadi hambatan untuk berpikir.
4.    Terpaku pada masalah
Masalah seperti kegagalan, kesulitan, kekalahan, kerugian memang menyakitkan. Tetapi bukan berarti usaha kita untuk memperbaiki ataupun mengatasi masalah tersebut harus terhenti. Justru dengan adanya masalah, kita merasa terdorong untuk memacu proses berpikir kita agar dapat menemukan cara lain yang lebih baik, lebih cepat, lebih efektif.
5.    Stereotyping
Lingkungan dan budaya sekitar kita yang membentuk opini atau pendapat umum terhadap sesuatu (stereotyping) bisa juga menjadi hambatan dalam berpikir. Misalnya saja pada zaman Kartini, masyarakat menganggap bahwa sudah sewajarnyalah jika wanita tinggal di rumah saja, tidak perlu pendidikan tinggi, dan hanya bertugas untuk melayani keluarga saja, tidak usah berkarir di luar rumah. Apa jadinya jika wanita-wanita hebat seperti Kartini, Dewi Sartika, Tjut Njak Dhien menerima saja semua pandangan umum yang berlaku di masyarakat saat itu? Mungkin Indonesia tidak akan pernah menikmati jasa yang diperkaya oleh keterlibatan para wanita profesional.
2.2 Proses Berpikir Menurut Perspektif Islam
Salah satu keunggulan manusia terletak pada kekuatan berpikirnya. Menurut filsafat, definisi manusia adalah hewan yang berpikir (al’insanu hayawanun nathiqun). Manusia adalah hewan, kelebihannya ada pada kemampuan berpikir. Jika manusia tidak lagi mampu berpikir, gila misalnya, maka yang tersisa hanya tinggal aspek hewannya dan bahkan meski orangnya gemuk sering dihargai lebih murah dibanding hewan yang kurus.
Kemampuan berpikir merupakan wujud kecerdasan seseorang, tetapi kini sudah diketahui bahwa kecerdasan yang produkif bukan hanya kecerdasan intelektual (berpikir) tetapi juga ada kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.
Kemampuan manusia untuk berpikir inilah yang menjadikannya sebagai makluk-Nya yang diberi amanat untuk beribadat kepada-Nya serta diberi tanggung jawab dalam segala pilihan dan keinginannya.
A.    Pengertian
Berpikir adalah kegiatan yang melibatkan penggunaan konsep dan lambang sebagai pengganti objek dan peristiwa. Berpikir merupakan manipulasi atau organisasi unsur-unsur lingkungan dengan menggunakan lambang-lambang sehingga tidak perlu melakukan kegiatan yang nampak. Orang yang sedang berpikir keras terlihat duduk diam, tetapi sesungguhnya ia sedang mengerjakan begitu banyak hal, berhubungan dengan berbagai tempat, benda dan waktu.
Pikiran (bahasa Arabnya al-Fikru) adalah potensi yang dapat mengantar pengetahuan sampai kepada objek yang diketahui, atau dalam bahasa Arabnya disebut Quwwatun muthriqatun li al’ilmi ila alma’lum. Sedangkan  berpikir artinya menggunakan potensi itu sesuai dengan kapasitas intelektualnya.
     Dalam kehidupan sehari-hari berpikir diperlukan untuk:
1.    Memecahkan masalah (problem solving),
2.    Untuk mengambil keputusan (decision making), dan
3.    Untuk melahirkan kreativitas baru (creativity).
Dalam sastra Arab disebutkan bahwa kalimat berpikir (fakara) adalah kalimat terbalik dari kalimat faraka yang artinya mengosok-gosok dan mencari-cari sesuatu agar diketahui hakikatnya.
B.     Proses Berpikir
Semua informasi dan ilmu yang didapatkan manusia sejak kecilnya, dijadikan landasan dasar dalam proses berpikirnya di kemudian hari. Informasi inilah yang mengembalikan semua ingatannya sehingga ia kemudian dapat menimbang dan membandingkannya satu dengan yang lainnya. Lalu mengorganisasi dan menyatukannya dengan metode terbaru yang kemudian digunakannya dalam mencapai ilmu dan informasi yang lebih aktual.
Islam telah menaruh perhatian besar akan perkembangan proses berpikir manusia dengan menyerukannya untuk mengamati semua yang ada di langit dan di bumi, mengamati diri sendiri, mengamati semua makhluk-Nya, sebagaimana Allah berfirman dalam surat Fushshilat ayat 53, yang berbunyi:
  سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ ۗأَوَلَمْ
                                         يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar…..{53}
Allah selalu memerintahkan manusia untuk berpikir akan diri mereka sendiri, sebagaimana, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-‘Ankabut ayat 20:

“Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Allah memerintahkan manusia untuk memperhatikan alam semesta dan juga mengamati fenomena alam yang beraneka ragam dengan merenungkan penciptaan dan proses keteraturan yang ada di dalamnya. Semuanya ini akhirnya akan menjadi informasi dan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi manusia. Dengan demikian, manusia dapat mengetahui Sunnah dan peraturan yang telah Allah tetapkan di segala bidang konsentrasi ilmu pengetahuan yang beraneka ragam.
C.    Faktor-Faktor Yang Menghambat Sehingga Menyebabkan Adanya Kesalahan Dalam Berfikir
1.    Taklid atau sekedar ikut-ikutan
Kesulitan terbesar yang dihadapi para Rasul dalam menyebarkan dakwah dan ketauhidan bagi kaumnya adalah kepongahan kaumnya dalam mempertahankan penyembahan berhala ataupun sejenisnya yang pernah disembah para pendahulu mereka, sebagaimana firman-Nya dalam surat Luqman ayat 21:
Artinya:
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang diturunkan Allah." Mereka menjawab: "(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya." Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)?”.
Dalam Al-Quran, tampak jelas bagaimana Allah mengkritik pedas kaum musyrik yang hanya bisa taklid dan ikut-ikutan apa yang pernah para pendahulu mereka lakukan dan tetap pongah dengan penyembahan berhala mereka. Allah pun menyeru manusia dengan perantara rasul-rasul-Nya agar manusia mau membebaskan akal mereka dari sikap taklid tersebut. Sesungguhnya taklid inilah yang menjadikan pikiran manusia menjadi statis dan yang menyebabkan mereka tidak mudah untuk menerima agama Tauhid yang diseru oleh para rasul.
2.    Keraguan dan Khurafat
Islam menyeru manusia untuk melepaskan diri dari segala keraguan dan khurafat yang dapat mengacaukan proses berpikir serta dapat membelenggu manusia untuk dapat mengetahui hal yang sebenarnya terjadi.
3.    Ketidakmampuan Mengumpulkan Informasi yang Menunjang
Banyak manusia, khususnya yang belum pernah melatih dirinya untuk berpikir secara ilmiah, cenderung memutuskan atau menyimpulkan suatu permasalahan hanya dari sebagian kecil informasi ataupun bukti yang justru membuat keputusan tersebut seolah salah arah dan banyak salah. Allah telah mengingatkan manusia akan hal ini, yang umumnya sering berulang kali terjadi sebagaimana firman-Nya:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Israa: 36).
4.    Kecenderungan Emosi
Kecenderungan manusia yang didominasi oleh motivasi, emosi, dan perasaannya cukup berpengaruhdalam pola berpikirnya.  Hal ini mampu membuat manusia salah arah dalam berpikir. Umumnya, mereka terbiasa untuk mengikuti hawa nafsu dan perasaan yang menyebabkan terjadinya penyimpangan pemikiran dan pikiraandari arahnya yang diharapka. Pada saat itulah pikirannya tersesat dan tidak bisa membedakan antara sesuatu yang benar dan yang bathil.
2.3 Berpikir Secara Mendalam
Banyak yang beranggapan bahwa untuk "berpikir secara mendalam", seseorang perlu memegang kepala dengan kedua telapak tangannya, dan menyendiri di sebuah ruangan yang sunyi, jauh dari keramaian dan segala urusan yang ada. Sungguh, mereka telah menganggap "berpikir secara mendalam" sebagai sesuatu yang memberatkan dan menyusahkan. Mereka berkesimpulan bahwa pekerjaan ini hanyalah untuk kalangan "filosof".
Allah mewajibkan manusia untuk berpikir secara mendalam atau merenung. Allah berfirman bahwa Al-Qur'an diturunkan kepada manusia untuk dipikirkan atau direnungkan:
"Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan (merenungkan) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran" (QS. Shaad, 38: 29).
Yang ditekankan di sini adalah bahwa setiap orang hendaknya berusaha secara ikhlas sekuat tenaga dalam meningkatkan kemampuan dan kedalaman berpikir.
Sebaliknya, orang-orang yang tidak mau berusaha untuk berpikir mendalam akan terus-menerus hidup dalam kelalaian yang sangat. Kata kelalaian mengandung arti "ketidakpedulian (tetapi bukan melupakan), meninggalkan, dalam kekeliruan, tidak menghiraukan, dalam kecerobohan". Kelalaian manusia yang tidak berpikir adalah akibat melupakan atau secara sengaja tidak menghiraukan tujuan penciptaan diri mereka serta kebenaran ajaran agama. Ini adalah jalan hidup yang sangat berbahaya yang dapat menghantarkan seseorang ke neraka.
2.4 Hal-Hal yang Hendaknya Dipikirkan oleh Seorang Muslim
Orang yang beriman kepada Allah berpikir tentang segala sesuatu yang dijumpainya sepanjang hari dan mendapatkan pelajaran dari peristiwa-peristiwa yang ia saksikan; bagaimana ia seharusnya bersyukur dan menjadi semakin dekat kepada Allah setelah menyaksikan keindahan dan ilmu Allah di segala sesuatu.
Sudah pasti apa yang disebutkan di sini hanya mencakup sebagian kecil dari kapasitas berpikir seorang manusia. Manusia memiliki kemampuan untuk setiap saat (dan bukan setiap jam, menit atau detik, tapi satuan waktu yang lebih kecil dari itu, yakni setiap saat) dalam hidupnya. Ruang lingkup berpikir manusia sedemikian luasnya sehingga tidak mungkin untuk dibatasi. Oleh karena itu, uraian di bawah ini bertujuan untuk sekedar membukakan pintu bagi mereka yang belum menggunakan sarana berpikir mereka sebagaimana mestinya.
Perlu diingat bahwa hanya mereka yang berpikir secara mendalam lah yang mampu memahami dan berada pada posisi lebih baik dibandingkan makhluk lain. Mereka yang tidak dapat melihat keajaiban dari peristiwa-peristiwa di sekitarnya dan tidak dapat memanfaatkan akal mereka untuk bepikir adalah sebagaimana diceritakan dalam firman Allah berikut:
"… Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai."
(QS. Al-A’raaf, 7: 179)
   Hanya mereka yang mau berpikir yang mampu melihat dan kemudian memahami tanda-tanda kebesaran Allah, serta keajaiban dari obyek dan peristiwa-peristiwa yang Allah ciptakan. Mereka mampu mengambil sebuah kesimpulan berharga dari setiap hal, besar ataupun kecil, yang mereka saksikan di sekeliling mereka.
Tidak diperlukan kondisi khusus bagi seseorang untuk memulai berpikir. Bahkan bagi orang yang baru saja bangun tidur di pagi hari pun terdapat banyak sekali hal-hal yang dapat mendorongnya berpikir.
Terpampang sebuah hari yang panjang dihadapan seseorang yang baru saja bangun dari pembaringannya di pagi hari. Sebuah hari dimana rasa capai atau kantuk seakan telah sirna. Ia siap untuk memulai harinya. Ketika berpikir akan hal ini, ia teringat sebuah firman Allah:
"Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha."  (QS. Al-Furqaan, 25: 47)
Setelah membasuh muka dan mandi, ia merasa benar-benar terjaga dan berada dalam kesadarannya secara penuh. Sekarang ia siap untuk berpikir tentang berbagai persoalan yang bermanfaat untuknya. Banyak hal lain yang lebih penting untuk dipikirkan dari sekedar memikirkan makanan apa yang dipunyainya untuk sarapan pagi atau pukul berapa ia harus berangkat dari rumah. Dan pertama kali ia harus memikirkan tentang hal yang lebih penting ini.
Pertama-tama, bagaimana ia mampu bangun di pagi hari adalah sebuah keajaiban yang luar biasa. Kendatipun telah kehilangan kesadaran sama sekali sewaktu tidur, namun di keesokan harinya ia kembali lagi kepada kesadaran dan kepribadiannya. Jantungnya berdetak, ia dapat bernapas, berbicara dan melihat. Padahal di saat ia pergi tidur, tidak ada jaminan bahwa semua hal ini akan kembali seperti sediakala di pagi harinya. Tidak pula ia mengalami musibah apapun malam itu. Misalnya, kealpaan tetangga yang tinggal di sebelah rumah dapat menyebabkan kebocoran gas yang dapat meledak dan membangunkannya malam itu. Sebuah bencana alam yang dapat merenggut nyawanya dapat saja terjadi di daerah tempat tinggalnya.
Ia mungkin saja mengalami masalah dengan fisiknya. Sebagai contoh, bisa saja ia bangun tidur dengan rasa sakit yang luar biasa pada ginjal atau kepalanya. Namun tak satupun ini terjadi dan ia bangun tidur dalam keadaan selamat dan sehat. Memikirkan yang demikian mendorongnya untuk berterima kasih kepada Allah atas kasih sayang dan penjagaan yang diberikan-Nya.
Memulai hari yang baru dengan kesehatan yang prima memiliki makna bahwa Allah kembali memberikan seseorang sebuah kesempatan yang dapat dipergunakannya untuk mendapatkan keberuntungan yang lebih baik di akhirat.
Ingat akan semua ini, maka sikap yang paling sesuai adalah menghabiskan waktu di hari itu dengan cara yang diridhai Allah. Sebelum segala sesuatu yang lain, seseorang pertama kali hendaknya merencanakan dan sibuk memikirkan hal-hal semacam ini. Titik awal dalam mendapatkan keridhaan Allah adalah dengan memohon kepada Allah agar memudahkannya dalam mengatasi masalah ini.


K E S I M P U L A N
Berpikir adalah proses dimana secara mental atau kognitif memproses informasi. Berpikir merupakan kerja otak yang menghubungkan  dua atau lebih informasi dengan menggunakan bahasa atau tanpa menggunakan bahasa.
Pikiran (bahasa Arabnya al-Fikru) adalah potensi yang dapat mengantar pengetahuan sampai kepada objek yang diketahui, atau dalam bahasa Arabnya disebut Quwwatun muthriqatun li al’ilmi ila alma’lum. Sedangkan  berpikir artinya menggunakan potensi itu sesuai dengan kapasitas intelektualnya.
     Dalam kehidupan sehari-hari berpikir diperlukan untuk: memecahkan masalah (problem solving), untuk mengambil keputusan (decision making), dan untuk melahirkan kreativitas baru (creativity).
Seseorang yang berpikir akan sangat paham akan rahasia-rahasia ciptaan Allah, kebenaran tentang kehidupan di dunia, keberadaan neraka dan surga, dan kebenaran hakiki dari segala sesuatu. Ia akan sampai kepada pemahaman yang mendalam akan pentingnya menjadi seseorang muslim yang dicintai Allah, melaksanakan ajaran agama secara benar, menemukan sifat-sifat Allah di segala sesuatu yang ia lihat, dan mulai berpikir dengan cara yang tidak sama dengan kebanyakan manusia, namun sebagaimana yang Allah perintahkan. Walhasil ia akan mendapatkan kenikmatan yang lebih dari keindahan-keindahan yang ia saksikan, melebihi dari yang didapatkan oleh orang lain. Ia tidak akan menderita tekanan batin karena terbawa oleh angan-angan kosong yang tidak ada dasarnya dan tidak terseret oleh kerakusan dunia.
Suatu hari pasti akan datang ketika mereka yang semasa masih di dunia tidak mau memikirkan kebenaran akan berpikir, bahkan lebih dari itu, "berpikir secara mendalam dan merenung" dan melihat kebenaran-kebenaran tersebut dengan sangat jelas. Namun, pada hari itu berpikir tidak akan berguna bagi mereka, bahkan membuat mereka tertimpa kesedihan. Allah berfirman dalam Al-Qur'an:
"Maka apabila malapetaka yang sangat besar (hari kiamat) telah datang. Pada hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya, dan diperlihatkan neraka dengan jelas kepada setiap orang yang melihat." (QS. An-Naazi‘aat, 79: 34-36)

Mengajak manusia (yang memiliki anggapan bahwa mereka dapat lolos dari tanggung jawab mereka dengan tidak berpikir) untuk berpikir sehingga mereka dapat merenungkan akibat yang akan menimpa mereka, dan kembali kepada agama Allah, adalah satu bentuk ibadah bagi orang-orang mukmin. Namun, sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur'an:
"…Maka barangsiapa menghendaki, niscaya dia mengambil pelajaran daripadanya (Al Qur’an)". (QS. Al-Muddatstsir, 56: 55)


DAFTAR  PUSTAKA


Atkinson, Rita L, dkk. (2007). Pengantar Psikologi. Edisi 11. Jilid 1. Jakarta: Interaksara.

Bin Said Az-Zahrani, DR. Musfir. (2005). Konseling Terapi. Jakarta: Gema Insani.

Harun Yahya. (2005). Bagaimana Seorang Muslim Berfikir. http://www.harunyahya.com. Diakses pada tanggal 16 April 2009 pukul 20.37 WIB.

Suharnan. (2005). Psikologi Kognitif. Surabaya: Srikandi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar