PERSPEKTIF PSIKOLOGI DAN ISLAM MENGENAI PROSES BELAJAR
MUHAMMAD KHALILULLAH
(21150700000016)
PENDAHULUAN
Manusia
adalah makhluk yang dilengkapi Allah dengan sarana berpikir. Namun sayang, kebanyakan mereka tidak
menggunakan sarana yang teramat penting ini sebagaimana mestinya. Bahkan pada
kenyataannya sebagian manusia hampir tidak pernah berpikir.
Dalam ilmu psikologi, berpikir mencakup semua proses mental seperti
mengingat, berangan-angan, melamun sampai kepada kemampuan berkreasi atau
kegiatan kreatif yang bertujuan memecahkan masalah. Aliran behaviorisme lebih
menekankan bahwa berpikir itu adalah perilaku yang terdiri dari verbal dan non
verbal, terbuka maupun tertutup sebagai respon dari stimulus. Sedangkan aliran
gestalt menafsirkan
berpikir sebagai proses pemantulan (reflective) dimana seseorang
mengembangkan atau merubah pengertian dan pemahaman yang sudah teruji. Dengan
demikian berpikir mengkombinasikan proses deduktif (menghimpun fakta dan proses
generalisasi teori)
untuk menguji hipotesis.
Setiap
orang memiliki tingkat kemampuan berpikir yang seringkali ia sendiri tidak
menyadarinya. Ketika mulai menggunakan kemampuan berpikir tersebut, fakta-fakta
yang sampai sekarang tidak mampu diketahuinya, lambat-laun mulai terbuka di
hadapannya. Semakin dalam ia berpikir, semakin bertambahlah kemampuan
berpikirnya dan hal ini mungkin sekali berlaku bagi setiap orang. Harus
disadari bahwa tiap orang mempunyai kebutuhan untuk berpikir serta menggunakan
akalnya semaksimal mungkin.
Makalah ini
di buat dengan tujuan mengajak semua umat muslim "berpikir sebagaimana
mestinya" dan mengarahkan mereka untuk "berpikir sebagaimana
mestinya". Seseorang yang tidak berpikir berada sangat jauh dari kebenaran
dan menjalani sebuah kehidupan yang penuh kepalsuan dan kesesatan. Akibatnya ia
tidak akan mengetahui tujuan penciptaan alam, dan arti keberadaan dirinya di
dunia. Padahal, Allah telah menciptakan segala sesuatu untuk sebuah tujuan
sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an:
(38) وَمَا خَلَقْنَا
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِينَ
(39) مَا
خَلَقْنَاهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi
dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main. Kami tidak menciptakan
keduanya melainkan dengan haq, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui."
(QS. Ad-Dukhaan ayat 38-39)
Oleh karena
itu, yang paling pertama kali wajib untuk dipikirkan secara mendalam oleh
setiap orang ialah tujuan dari penciptaan dirinya, baru kemudian segala sesuatu
yang ia lihat di alam sekitar serta segala kejadian atau peristiwa yang ia
jumpai selama hidupnya. Manusia yang tidak memikirkan hal ini, hanya akan
mengetahui kenyataan-kenyataan tersebut setelah ia mati. Yakni ketika ia
mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya di hadapan Allah; namun sayang
sudah terlambat. Allah berfirman dalam Al-Qur'an bahwa pada hari penghisaban,
tiap manusia akan berpikir dan menyaksikan kebenaran atau kenyataan tersebut:
٢٣ وَجِيءَ يَوْمَئِذٍ بِجَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ الإنْسَانُ وَأَنَّى لَهُ الذِّكْرَى
٢٤ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي
“Dan pada hari itu diperlihatkan neraka
Jahannam; dan pada hari itu ingatlah manusia akan tetapi tidak berguna lagi
mengingat itu baginya. Dia mengatakan, "Alangkah baiknya kiranya aku
dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini." (QS. Al-Fajr :
23-24)
Padahal
Allah telah memberikan kita kesempatan hidup di dunia. Berpikir atau merenung
untuk kemudian mengambil kesimpulan atau pelajaran-pelajaran dari apa yang kita
renungkan untuk memahami kebenaran, akan menghasilkan sesuatu yang bernilai
bagi kehidupan di akhirat kelak. Dengan alasan inilah, Allah mewajibkan seluruh
manusia, melalui para Nabi dan Kitab-kitab-Nya, untuk memikirkan dan
merenungkan penciptaan diri mereka sendiri dan jagad raya.
PEMBAHASAN
2.1 Pandangan Psikologi tentang Proses Berpikir
Pencapaian
tertinggi spesies manusia berasal dari kemampuan kita untuk melakukan pemikiran
dan mengkomunikasikannya. Berpikir mencakup banyak aktivitas mental. Kita berpikir
saat kita mencoba memecahkan permasalahan yang ada di dalam hidup kita, karena
berpikir merupakan suatu set proses kognitif yg menjembatani antara stimulus
& respon dimana stimulus adalah masalah & respon adalah pemecahannya.
A. Pengertian
Berpikir
adalah proses dimana secara mental atau kognitif memproses informasi. Berpikir
merupakan kerja otak yang menghubungkan
dua atau lebih informasi dengan menggunakan bahasa atau tanpa
menggunakan bahasa.
Menurut
Glass dan Holyoak, 1986; Solso, 1988, berpikir adalah proses menghasilkan
representasi mental yang baru melalui transformasi informasi yang melibatkan
interaksi secara kompleks antara atribut-atribut mental seperti penilain,
abstraksi, penalaran, imajinasi, dan pemecahan masalah.
B. Proses
Berpikir
Proses berpikir secara normal
menurut Mayer (dalam Solso, 1988) akan meliputi tiga komponen pokok sebagai
berikut: Pertama, berpikir adalah
aktivitas kognitif yang terjadi di dalam mental atau pikiran seseorang, tidak
tampak, tetapi dapat disimpulkan berdasarkan perilaku yang tampak. Contoh,
seorang pemain catur memperlihatkan proses berpikirnya melalui gerakan-gerakan
atau langkah-langkah yang dilakukan di atas papan catur.
Kedua, berpikir merupakan
suatu proses yang melibatkan beberapa manipulasi pengetahuan di dalam sistem
kogintif. Pengetahuan yang pernah dimiliki (tersimpan di dalam ingatan)
digabungkan dengan informasi sekarang sehingga mengubah pengetahuan seseorang
mengenai situasi yang sedang dihadapi.
Ketiga, aktivitas berpikir
diarahkan untuk menghasilkan pemecahan masalah. Sebagaimana seseorang pemain
catur, setiap langkah yang dilakukannya diarahkan untuk memenangkan suatu
permainan. Meski tidak semua langkah yang dilakukan itu berhasil, namun secara
umum di dalam pikirannya semua langkah diarahkan pada suatu pemecahan.
C. Faktor-Faktor
Yang Menghambat Sehingga Menyebabkan Adanya Kesalahan Dalam Berfikir
1.
Rasa takut
“Mengapa
kamu tidak mencoba cara baru saja untuk menyelesaikan tugas ini dengan lebih
cepat?” “Ah, saya takut gagal. Kalau saya gagal atau salah, saya pasti
dimarahi, dosen! Jadi lebih baik saya kerjakan saja sesuai dengan yang
diperintahkan.” Yah, rasa takut gagal, takut salah, takut dimarahi, dan rasa
takut lainnya sering menghambat seseorang untuk berpikir dan menyebabkan
kesalahan dalam pemikirannya.
2.
Rasa puas
“Mengapa
saya harus coba sesuatu yang baru? Dengan begini saja saya sudah nyaman.” “Saya
sudah sukses. Apa lagi yang harus saya cemaskan?” Ternyata bukan masalah saja
yang bisa menjadi hambatan. Kesuksesan, kepandaian dan kenyamanan pun bisa jadi
hambatan. Orang yang sudah puas akan prestasi yang diraihnya, serta telah
merasa nyaman dengan kondisi yang dijalaninya seringkali terbutakan oleh rasa
bangga dan rasa puas tersebut sehingga orang tersebut tidak terdorong untuk
menjadi kreatif mencoba yang baru, belajar sesuatu yang baru, ataupun
menciptakan sesuatu yang baru.
3.
Kemalasan
mental
“Untuk
mencoba yang baru berarti saya harus belajar dulu. Aduh, susah. Terlalu banyak
yang harus saya pelajari. Biar yang lain saja yang belajar.” “Memikirkan cara
lain? Wah, sekarang saja sudah banyak yang harus saya pikirkan. Lagi pula
memikirkan cara baru bukan tugas saya, biarlah ketua kelas saya saja yang
memikirkannya.” Ini merupakan beberapa contoh kemalasan mental yang menjadi
hambatan untuk berpikir.
4.
Terpaku
pada masalah
Masalah
seperti kegagalan, kesulitan, kekalahan, kerugian memang menyakitkan. Tetapi
bukan berarti usaha kita untuk memperbaiki ataupun mengatasi masalah tersebut
harus terhenti. Justru dengan adanya masalah, kita merasa terdorong untuk
memacu proses berpikir kita agar dapat menemukan cara lain yang lebih baik,
lebih cepat, lebih efektif.
5.
Stereotyping
Lingkungan
dan budaya sekitar kita yang membentuk opini atau pendapat umum terhadap
sesuatu (stereotyping) bisa juga menjadi hambatan dalam berpikir. Misalnya saja
pada zaman Kartini, masyarakat menganggap bahwa sudah sewajarnyalah jika wanita
tinggal di rumah saja, tidak perlu pendidikan tinggi, dan hanya bertugas untuk
melayani keluarga saja, tidak usah berkarir di luar rumah. Apa jadinya jika
wanita-wanita hebat seperti Kartini, Dewi Sartika, Tjut Njak Dhien menerima
saja semua pandangan umum yang berlaku di masyarakat saat itu? Mungkin
Indonesia tidak akan pernah menikmati jasa yang diperkaya oleh keterlibatan
para wanita profesional.
2.2 Proses Berpikir Menurut Perspektif Islam
Salah
satu keunggulan manusia terletak pada kekuatan berpikirnya. Menurut filsafat,
definisi manusia adalah hewan yang berpikir (al’insanu hayawanun nathiqun). Manusia adalah hewan, kelebihannya
ada pada kemampuan berpikir. Jika manusia tidak lagi mampu berpikir, gila
misalnya, maka yang tersisa hanya tinggal aspek hewannya dan bahkan meski
orangnya gemuk sering dihargai lebih murah dibanding hewan yang kurus.
Kemampuan
berpikir merupakan wujud kecerdasan seseorang, tetapi kini sudah diketahui
bahwa kecerdasan yang produkif bukan hanya kecerdasan intelektual (berpikir)
tetapi juga ada kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.
Kemampuan
manusia untuk berpikir inilah yang menjadikannya sebagai makluk-Nya yang diberi
amanat untuk beribadat kepada-Nya serta diberi tanggung jawab dalam segala
pilihan dan keinginannya.
A. Pengertian
Berpikir
adalah kegiatan yang melibatkan penggunaan konsep dan lambang sebagai pengganti
objek dan peristiwa. Berpikir merupakan manipulasi atau organisasi unsur-unsur
lingkungan dengan menggunakan lambang-lambang sehingga tidak perlu melakukan
kegiatan yang nampak. Orang yang sedang berpikir keras terlihat duduk diam,
tetapi sesungguhnya ia sedang mengerjakan begitu banyak hal, berhubungan dengan
berbagai tempat, benda dan waktu.
Pikiran
(bahasa Arabnya al-Fikru) adalah potensi yang dapat mengantar pengetahuan
sampai kepada objek yang diketahui, atau dalam bahasa Arabnya disebut Quwwatun muthriqatun li al’ilmi ila alma’lum.
Sedangkan berpikir artinya menggunakan
potensi itu sesuai dengan kapasitas intelektualnya.
Dalam kehidupan sehari-hari berpikir
diperlukan untuk:
1.
Memecahkan
masalah (problem solving),
2.
Untuk
mengambil keputusan (decision making), dan
3.
Untuk
melahirkan kreativitas baru (creativity).
Dalam sastra
Arab disebutkan bahwa kalimat berpikir (fakara)
adalah kalimat terbalik dari kalimat faraka
yang artinya mengosok-gosok dan mencari-cari sesuatu agar diketahui
hakikatnya.
B. Proses
Berpikir
Semua
informasi dan ilmu yang didapatkan manusia sejak kecilnya, dijadikan landasan
dasar dalam proses berpikirnya di kemudian hari. Informasi inilah yang
mengembalikan semua ingatannya sehingga ia kemudian dapat menimbang dan
membandingkannya satu dengan yang lainnya. Lalu mengorganisasi dan
menyatukannya dengan metode terbaru yang kemudian digunakannya dalam mencapai
ilmu dan informasi yang lebih aktual.
Islam
telah menaruh perhatian besar akan perkembangan proses berpikir manusia dengan
menyerukannya untuk mengamati semua yang ada di langit dan di bumi, mengamati
diri sendiri, mengamati semua makhluk-Nya, sebagaimana Allah berfirman dalam
surat Fushshilat ayat 53, yang berbunyi:
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي
أَنْفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ ۗأَوَلَمْ
يَكْفِ
بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami
di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka
bahwa Al Quran itu adalah benar…..{53}”
Allah
selalu memerintahkan manusia untuk berpikir akan diri mereka sendiri,
sebagaimana, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-‘Ankabut ayat 20:
“Katakanlah: "Berjalanlah di (muka)
bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari
permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi.
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Allah memerintahkan manusia untuk memperhatikan alam semesta dan
juga mengamati fenomena alam yang beraneka ragam dengan merenungkan penciptaan
dan proses keteraturan yang ada di dalamnya. Semuanya ini akhirnya akan menjadi
informasi dan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi manusia. Dengan demikian,
manusia dapat mengetahui Sunnah dan peraturan yang telah Allah tetapkan di segala
bidang konsentrasi ilmu pengetahuan yang beraneka ragam.
C. Faktor-Faktor
Yang Menghambat Sehingga Menyebabkan Adanya Kesalahan Dalam Berfikir
1. Taklid atau sekedar
ikut-ikutan
Kesulitan terbesar yang dihadapi para Rasul dalam menyebarkan
dakwah dan ketauhidan bagi kaumnya adalah kepongahan kaumnya dalam
mempertahankan penyembahan berhala ataupun sejenisnya yang pernah disembah para
pendahulu mereka, sebagaimana firman-Nya dalam surat Luqman ayat 21:
Artinya:
“Dan
apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang diturunkan
Allah." Mereka menjawab: "(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa
yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya." Dan apakah mereka (akan
mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam
siksa api yang menyala-nyala (neraka)?”.
Dalam Al-Quran, tampak
jelas bagaimana Allah mengkritik pedas kaum musyrik yang hanya bisa taklid dan
ikut-ikutan apa yang pernah para pendahulu mereka lakukan dan tetap pongah
dengan penyembahan berhala mereka. Allah pun menyeru manusia dengan perantara
rasul-rasul-Nya agar manusia mau membebaskan akal mereka dari sikap taklid
tersebut. Sesungguhnya taklid inilah yang menjadikan pikiran manusia menjadi
statis dan yang menyebabkan mereka tidak mudah untuk menerima agama Tauhid yang
diseru oleh para rasul.
2. Keraguan dan Khurafat
Islam menyeru manusia untuk melepaskan diri dari segala keraguan
dan khurafat yang dapat mengacaukan proses berpikir serta dapat membelenggu
manusia untuk dapat mengetahui hal yang sebenarnya terjadi.
3. Ketidakmampuan
Mengumpulkan Informasi yang Menunjang
Banyak manusia, khususnya yang belum pernah melatih dirinya
untuk berpikir secara ilmiah, cenderung memutuskan atau menyimpulkan suatu
permasalahan hanya dari sebagian kecil informasi ataupun bukti yang justru
membuat keputusan tersebut seolah salah arah dan banyak salah. Allah telah
mengingatkan manusia akan hal ini, yang umumnya sering berulang kali terjadi
sebagaimana firman-Nya:
“Dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya.” (Al-Israa: 36).
4. Kecenderungan Emosi
Kecenderungan manusia yang didominasi oleh motivasi, emosi, dan
perasaannya cukup berpengaruhdalam pola berpikirnya. Hal ini mampu membuat manusia salah arah
dalam berpikir. Umumnya, mereka terbiasa untuk mengikuti hawa nafsu dan
perasaan yang menyebabkan terjadinya penyimpangan pemikiran dan pikiraandari
arahnya yang diharapka. Pada saat itulah pikirannya tersesat dan tidak bisa
membedakan antara sesuatu yang benar dan yang bathil.
2.3 Berpikir Secara
Mendalam
Banyak yang beranggapan bahwa untuk
"berpikir secara mendalam", seseorang perlu memegang kepala dengan
kedua telapak tangannya, dan menyendiri di sebuah ruangan yang sunyi, jauh dari
keramaian dan segala urusan yang ada. Sungguh, mereka telah menganggap
"berpikir secara mendalam" sebagai sesuatu yang memberatkan dan
menyusahkan. Mereka berkesimpulan bahwa pekerjaan ini hanyalah untuk kalangan "filosof".
Allah mewajibkan manusia untuk berpikir
secara mendalam atau merenung. Allah berfirman bahwa Al-Qur'an diturunkan
kepada manusia untuk dipikirkan atau direnungkan:
"Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan
kepadamu, penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan (merenungkan)
ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai
pikiran"
(QS. Shaad, 38: 29).
Yang ditekankan di sini adalah bahwa
setiap orang hendaknya berusaha secara ikhlas sekuat tenaga dalam meningkatkan
kemampuan dan kedalaman berpikir.
Sebaliknya,
orang-orang yang tidak mau berusaha untuk berpikir mendalam akan terus-menerus
hidup dalam kelalaian yang sangat. Kata kelalaian mengandung arti
"ketidakpedulian (tetapi bukan melupakan), meninggalkan, dalam kekeliruan,
tidak menghiraukan, dalam kecerobohan". Kelalaian manusia yang tidak
berpikir adalah akibat melupakan atau secara sengaja tidak menghiraukan tujuan
penciptaan diri mereka serta kebenaran ajaran agama. Ini adalah jalan hidup
yang sangat berbahaya yang dapat menghantarkan seseorang ke neraka.
2.4 Hal-Hal yang Hendaknya Dipikirkan oleh Seorang Muslim
Orang yang beriman kepada Allah berpikir
tentang segala sesuatu yang dijumpainya sepanjang hari dan mendapatkan
pelajaran dari peristiwa-peristiwa yang ia saksikan; bagaimana ia seharusnya
bersyukur dan menjadi semakin dekat kepada Allah setelah menyaksikan keindahan
dan ilmu Allah di segala sesuatu.
Sudah pasti apa yang disebutkan di sini
hanya mencakup sebagian kecil dari kapasitas berpikir seorang manusia. Manusia
memiliki kemampuan untuk setiap saat (dan bukan setiap jam, menit atau detik,
tapi satuan waktu yang lebih kecil dari itu, yakni setiap saat) dalam hidupnya.
Ruang lingkup berpikir manusia sedemikian luasnya sehingga tidak mungkin untuk
dibatasi. Oleh karena itu, uraian di bawah ini bertujuan untuk sekedar
membukakan pintu bagi mereka yang belum menggunakan sarana berpikir mereka
sebagaimana mestinya.
Perlu diingat bahwa hanya mereka yang
berpikir secara mendalam lah yang mampu memahami dan berada pada posisi lebih
baik dibandingkan makhluk lain. Mereka yang tidak dapat melihat keajaiban dari
peristiwa-peristiwa di sekitarnya dan tidak dapat memanfaatkan akal mereka
untuk bepikir adalah sebagaimana diceritakan dalam firman Allah berikut:
"… Mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan
mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai."
(QS. Al-A’raaf, 7: 179)
Hanya
mereka yang mau berpikir yang mampu melihat dan kemudian memahami tanda-tanda
kebesaran Allah, serta keajaiban dari obyek dan peristiwa-peristiwa yang Allah
ciptakan. Mereka mampu mengambil sebuah kesimpulan berharga dari setiap hal,
besar ataupun kecil, yang mereka saksikan di sekeliling mereka.
Tidak diperlukan kondisi khusus bagi
seseorang untuk memulai berpikir. Bahkan bagi orang yang baru saja bangun tidur
di pagi hari pun terdapat banyak sekali hal-hal yang dapat mendorongnya
berpikir.
Terpampang sebuah hari yang panjang
dihadapan seseorang yang baru saja bangun dari pembaringannya di pagi hari.
Sebuah hari dimana rasa capai atau kantuk seakan telah sirna. Ia siap untuk
memulai harinya. Ketika berpikir akan hal ini, ia teringat sebuah firman Allah:
"Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai)
pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun
berusaha." (QS. Al-Furqaan, 25: 47)
Setelah membasuh muka dan mandi, ia
merasa benar-benar terjaga dan berada dalam kesadarannya secara penuh. Sekarang
ia siap untuk berpikir tentang berbagai persoalan yang bermanfaat untuknya.
Banyak hal lain yang lebih penting untuk dipikirkan dari sekedar memikirkan
makanan apa yang dipunyainya untuk sarapan pagi atau pukul berapa ia harus
berangkat dari rumah. Dan pertama kali ia harus memikirkan tentang hal yang
lebih penting ini.
Pertama-tama, bagaimana ia mampu bangun
di pagi hari adalah sebuah keajaiban yang luar biasa. Kendatipun telah
kehilangan kesadaran sama sekali sewaktu tidur, namun di keesokan harinya ia
kembali lagi kepada kesadaran dan kepribadiannya. Jantungnya berdetak, ia dapat
bernapas, berbicara dan melihat. Padahal di saat ia pergi tidur, tidak ada
jaminan bahwa semua hal ini akan kembali seperti sediakala di pagi harinya.
Tidak pula ia mengalami musibah apapun malam itu. Misalnya, kealpaan tetangga
yang tinggal di sebelah rumah dapat menyebabkan kebocoran gas yang dapat
meledak dan membangunkannya malam itu. Sebuah bencana alam yang dapat merenggut
nyawanya dapat saja terjadi di daerah tempat tinggalnya.
Ia mungkin saja mengalami masalah dengan
fisiknya. Sebagai contoh, bisa saja ia bangun tidur dengan rasa sakit yang luar
biasa pada ginjal atau kepalanya. Namun tak satupun ini terjadi dan ia bangun
tidur dalam keadaan selamat dan sehat. Memikirkan yang demikian mendorongnya
untuk berterima kasih kepada Allah atas kasih sayang dan penjagaan yang
diberikan-Nya.
Memulai hari yang baru dengan kesehatan
yang prima memiliki makna bahwa Allah kembali memberikan seseorang sebuah
kesempatan yang dapat dipergunakannya untuk mendapatkan keberuntungan yang
lebih baik di akhirat.
Ingat akan semua
ini, maka sikap yang paling sesuai adalah menghabiskan waktu di hari itu dengan
cara yang diridhai Allah. Sebelum segala sesuatu yang lain, seseorang pertama
kali hendaknya merencanakan dan sibuk memikirkan hal-hal semacam ini. Titik
awal dalam mendapatkan keridhaan Allah adalah dengan memohon kepada Allah agar
memudahkannya dalam mengatasi masalah ini.
K E S I M P U L A N
Berpikir
adalah proses dimana secara mental atau kognitif memproses informasi. Berpikir
merupakan kerja otak yang menghubungkan
dua atau lebih informasi dengan menggunakan bahasa atau tanpa
menggunakan bahasa.
Pikiran
(bahasa Arabnya al-Fikru) adalah potensi yang dapat mengantar
pengetahuan sampai kepada objek yang diketahui, atau dalam bahasa Arabnya
disebut Quwwatun muthriqatun li al’ilmi
ila alma’lum. Sedangkan berpikir
artinya menggunakan potensi itu sesuai dengan kapasitas intelektualnya.
Dalam kehidupan sehari-hari berpikir
diperlukan untuk: memecahkan masalah (problem solving), untuk mengambil
keputusan (decision making), dan untuk melahirkan kreativitas baru
(creativity).
Seseorang yang berpikir akan sangat
paham akan rahasia-rahasia ciptaan Allah, kebenaran tentang kehidupan di dunia,
keberadaan neraka dan surga, dan kebenaran hakiki dari segala sesuatu. Ia akan
sampai kepada pemahaman yang mendalam akan pentingnya menjadi seseorang muslim
yang dicintai Allah, melaksanakan ajaran agama secara benar, menemukan
sifat-sifat Allah di segala sesuatu yang ia lihat, dan mulai berpikir dengan
cara yang tidak sama dengan kebanyakan manusia, namun sebagaimana yang Allah
perintahkan. Walhasil ia akan mendapatkan kenikmatan yang lebih dari
keindahan-keindahan yang ia saksikan, melebihi dari yang didapatkan oleh orang
lain. Ia tidak akan menderita tekanan batin karena terbawa oleh angan-angan
kosong yang tidak ada dasarnya dan tidak terseret oleh kerakusan dunia.
Suatu hari pasti akan datang ketika
mereka yang semasa masih di dunia tidak mau memikirkan kebenaran akan berpikir,
bahkan lebih dari itu, "berpikir secara mendalam dan merenung" dan
melihat kebenaran-kebenaran tersebut dengan sangat jelas. Namun, pada hari itu
berpikir tidak akan berguna bagi mereka, bahkan membuat mereka tertimpa
kesedihan. Allah berfirman dalam Al-Qur'an:
"Maka apabila malapetaka yang sangat besar (hari
kiamat) telah datang. Pada hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah
dikerjakannya, dan diperlihatkan neraka dengan jelas kepada setiap orang yang
melihat."
(QS. An-Naazi‘aat, 79: 34-36)
Mengajak manusia (yang memiliki anggapan
bahwa mereka dapat lolos dari tanggung jawab mereka dengan tidak berpikir)
untuk berpikir sehingga mereka dapat merenungkan akibat yang akan menimpa
mereka, dan kembali kepada agama Allah, adalah satu bentuk ibadah bagi
orang-orang mukmin. Namun, sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur'an:
"…Maka barangsiapa menghendaki, niscaya dia
mengambil pelajaran daripadanya (Al Qur’an)". (QS. Al-Muddatstsir, 56: 55)
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson,
Rita L, dkk. (2007). Pengantar Psikologi.
Edisi 11. Jilid 1. Jakarta: Interaksara.
Bin
Said Az-Zahrani, DR. Musfir. (2005). Konseling Terapi. Jakarta: Gema Insani.
Harun
Yahya. (2005). Bagaimana Seorang Muslim
Berfikir. http://www.harunyahya.com. Diakses
pada tanggal 16 April 2009 pukul 20.37 WIB.
Suharnan.
(2005). Psikologi Kognitif. Surabaya:
Srikandi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar