Kamis, 25 Februari 2016

ISLAM & KREATIVITAS (ADE IRMA ARIFIN)

ISLAM & KREATIVITAS

PENDAHULUAN

Sebagian besar negara-negara Muslim telah lama tertinggal dalam berkontribusi pada industri kreatif. Hal ini disebabkan oleh hilangnya sifat kreatif dan inovatif dalam komunitas Muslim. Ketertinggalan negara Muslim dalam industri kreatif dunia mengarahkan pada persepsi secara umum terhadap Muslim sebagai orang yang tidak kreatif. Untuk menganalisis mengenai hal ini, penting untuk memahami definisi dari kreativitas di mana kreativitas adalah sesuatu konstruk yang memiliki definisi sangat luas.
Terdapat beberapa pendekatan untuk mendefiniskan kreativitas, diantaranya kreativitas sebagai sebuah proses, kreativitas sebagai sebuah kemampuan, kreatvitas sebagai sebuah ekspresi dari ketidaksadaran dan kreativitas sebagai sebuah produk/kualitas. Dalam hal ini, definisi kreativitas difokuskan pada kreativitas sebagai sebuah produk/kualitas. Kreativitas sebagai sebuah produk meliputi dua aspek penting yaitu keaslian (originalitas) dan efektivitas (sesuai, berguna dan tepat) (Runco & Jaeger, 2012). Sedangkan kreativitas sebagai sebuah kemampuan, Cambridge Academic Content Dictionary mendefinisikan kreativitas sebagai kemampuan untuk menghasilkan ide-ide yang asli dan tidak biasa atau membuat sesuatu yang baru atau imaginatif baik dalam bentuk yang tidak berwujud maupun benda fisik. Businessdictionary.com mendefinisikan kreativitas sebagai karakteristik mental yang mengarahkan seseorang untuk berpikir tidak biasa (out of the box) yang menghasilkan pendekatan yang inovatif atau berbeda terhadap sebuah tugas tertentu. De Souza (2008) menyebut kreativitas sebagai “big C” di mana istilah kreativitas  dibatasi sebagai sebuah produk yang benar-benar asli dan kualitas kreatif yang luar biasa sebagai kreativitas yang sebenarnya.
Islam sebagai sebuah agama memenuhi semua persyaratan yang diajukan dalam definisi kreativitas sejak tahap awal. Islam dimulai sebagai agama baru di tengah-tengah keyakinan tradisional, menawarkan cara berpikir berbeda yang radikal, serangkaian nilai yang sama sekali baru tentang apa yang baik dan apa yang buruk, menawarkan pedoman baru yaitu Quran (Mohd Zarif et. al., 2013). Quran sendiri memberikan banyak tantangan untuk muslim awal yaitu orang-orang Semenanjung Arab untuk menyelidiki tentang lingkungan sekitar mereka secara mendalam hingga sampai pada kesimpulan mengenai kehidupan mereka secara lebih mendalam. Quran juga mencegah tindakan ‘taqlid’ buta dari generasi sebelumnya. Namun sayangnya, setelah disebutkan tentang perhatian Islam terhadap kreativitas, paradoks, hal ini sendiri belum mendapat perhatian yang serius bagi banyak muslim (Al Karasneh & Jubran Saleh, 2010).
Istilah kreativitas dalam Islam  memiliki dimensi dan tujuan tambahan untuk memastikan bahwa maqasids (tujuan) yang dirumuskan dalam Islam terhadap kehidupan manusia dapat terpenuhi. Islam mensyaratkan kreativitas harus bertujuan dan bermanfaat terhadap kemanusiaan ( Al-Mazeidy, 1993). Selain itu, kreativitas dalam Islam memiliki aspek tauhid di mana kreativitas bebas dari syirik (menyekutukan Allah) dan diarahkan untuk mendapatkan keridhaan Allah. Dalam hal ini, Yousif (1999) mendefinisikan kreativitas sebagai sebuah proses menyadari, mengaplikasikan, mengelaborasi prinsip-prinsip dan ide-ide ketuhanan dalam waktu dan tempat tertentu untuk menghadapi tantangan yang muncul dalam semua bidang kehidupan.
Dunia muslim mencapai puncak dalam keilmuwan dan pembelajaran selama abad 13 di mana dunia muslim berkembang sebagai pusat dari pengetahuan, ekonomi dan politik di dunia sebelum mengalami periode yang stabil lalu mengalami penurunan prestasi. Perkembangan keilmuwan sejalan dengan pencapaian dalam kreativitas dan inovasi dalam negara-negara muslim. Hal ini ditunjukkan dengan  64% dari prestasi ilmiah Muslim yang disahkan sebelum tahun 1250, 36% antara tahun 1250-1750 dan tidak ada setelah 1750 (Hoodbhoy, 1991). Karena itu penting untuk mengembalikan kreativitas bagi dunia muslim saat ini.

1.    Kreativitas dalam Paradigma Barat
Rhodes (1961, dalam Isaksen, 1987, dalam Munandar, 2009) yang telah menganalisis lebih dari 40 defenisi tentang kreativitas menjelaskan bahwa kreativitas dirumuskan sebagai “Four P’s of Creativity: Person, Process, Press, Product”. Pendapat ini didukung oleh Tan (2009) bahwa definisi kreativitas tergantung pada sudut pandang yang digunakan dalam mendefinisikan kreativitas dalam istilah orang kreatif, proses kreatif, produk kreatif, atau lingkungan kreatif. Keempat P ini saling berkaitan, pribadi kreatif yang melibatkan diri proses kreatif, dan dengan dukungan dan dorongan (press) dari lingkungan menghasilkan produk kreatif (Munandar, 2009).
Chaplin (1989) dalam Rachmawati dan Kurniati (2010) mengutarakan bahwa kreativitas adalah kemampuan menghasilkan bentuk baru dalam seni, atau dalam permesinan, atau dalam memecahkan masalah-masalah dengan metode-metode baru.
Piirto (2004) dalam Tan (2009) setelah memahami kreativitas dari berbagai perspektif mengemukakan proses kreatif dalam tujuh kata: inspirasi, citra, imajinasi, intuisi, wawasan, inkubasi, dan improvisasi. Istilah kreatif digunakan dalam arti luas berarti memiliki kapasitas untuk menghasilkan sesuatu yang bersifat “original, inventif, dan gagasan baru".
Tokoh Indonesia yang membahas tentang kreaivitas, Munandar (1995) mendefenisikan kreativitas sebagai kemampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru, asosiasi baru berdasarkan bahan, informasi, data atau elemen-elemen yang sudah ada sebelumnya menjadi hal-hal yang bermakna dan bermanfaat. Munandar dalam uraiannya tentang pengertian kreativitas menunjukkan ada tiga tekanan kemampuan, yaitu yang berkaitan dengan kemampuan untuk mengkombinasi, memecahkan / menjawab masalah dan cerminan kemampuan operasional anak 
2.              Ciri-Ciri Kreativitas dalam Paradigma Barat
Guilford (1959) dalam Munandar (2009) mengemukakan bahwa ciri-ciri dari kreativitas terbagi dua yaitu aptitude (kognitif) dan non-aptitude traits (afektif).
Ciri-ciri aptitude (kognitif) :
a.    Kelancaran berpikir (fluency) merupakan kemampuan untuk memproduksi banyak gagasan (Ghufron dan Risnawati, 2010). Guilford mengemukakan bahwa kelancaran dalam berpikir merupakan aspek penting dalam kreativitas (Vernon , 1973). Kelancaran berfikir pertama kali dikemukakan oleh Thurstone (1938). Menurut Munandar (1992) kelancaran berpikir merupakan kemampuan untuk mencetuskan banyak gagasan, jawaban, penyelesaian masalah, atau pertanyaan, memberikan banyak cara atau saran untuk melakukan berbagai hal, dan selalu memikirkan lebih dari satu jawaban.
b.    Keluwesan berpikir (flexibility) merupakan kemampuan untuk mengajukan bermacam-macam pendekatan atau bermacam-macam jalan terhadap penyelesaian masalah (Ghufron dan Risnawati, 2010). Pada tahun 1950, Guilford menghipotesiskan bahwa pemikir kreatif adalah pemikir yang flexibel. Mereka siap untuk meninggalkan cara lama dalam berpikir dan menemukan cara baru (Vernon, 1973).
c.    Keaslian berpikir (originality) merupakan kemampuan untuk melahirkan gagasan-gagasan asli.
d.   Elaborasi yaitu kemampuan untuk memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan atau produk dan kemmapuan untuk menambahkan atau memerinci detail-detail dari suatu objek, gagasan, dan situasi sehingga lebih menarik (Munandar, 1992). Guilford mendefenisikan elaborasi sebagai kemmapuan untuk merencanakan, (Berger, Guildford, and Christensen, 1957 dalam Vernon, 1973) memverifikasi dan menganalisis, yang memungkinkan untuk dimaknai/dilanjutkan.
Ciri-ciri non-aptitude (afektif) :
a.    Rasa ingin tahu yaitu sikap mental yang membuat seseorang  terdorong untuk mengetahui lebih banyak, selalu mengajukan banyak pertanyaan, selalu memerhatikan orang, objek, situasi, serta  peka dalam pengamatan
b.    Bersifat imajinatif yaitu kemampuan untuk membayangkan atau mengkhayalkan  hal-hal yang belum pernah terjadi. Meskipun demikian  tetap mengetahui perbedaan khayalan dan kenyataan.
c.    Merasa tertantang oleh kemajemukan merupakan sikap mental yang mendorong untuk mengatasi masalah-masalah yang sulit, merasa tertantang oleh situasi-situasi yang rumit, dan lebih tertarik pada tugas-tugas yang sulit.
d.   Berani mengambil risiko yaitu sikap mental yang mendorong seseorang untuk berani memberikan jawaban, meskipun belum tentu benar. Individu yang berani mengambil risiko tidak takut gagal atau mendapat kritik dan tidak ragu-ragu dalam menghadapi ketidakjelasan.
e.    Sifat menghargai sebagai kemampuan untuk dapat menghargai bimbingan dan pengarahan dalam hidup, menghargai kemampuan dan bakat-bakat sendiri yang sedang berkembang.

3.        Kreativitas dalam Paradigma Islam
Kamus Bahasa Arab Al-Mo’jam Al-Waseet mendefinisikan kata “to create” sebagai “untuk menghasilkan sesuatu yang sebelumnya tidak ada dengan cara yang baru ” (Mustafa et al.1989:150). Al-Mazeedi (1993)  mendefinisikan kreativitas sebagai kemampuan merancang bentuk-bentuk baru yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan sesuai dengan Syari'at Islam dan prinsip-prinsipnya. Muslim kreatif adalah yang  mengikuti bimbingan ilahi dari Allah (swt). Mereka akan mempertimbangkan pandangan syari'at Islam sebelum melakukan apapun.
Sejatinya, Islam sudah kreatif secara alami; Islam datang dengan prinsip-prinsip baru dan unik yang menolak praktek-praktek yang berlaku pada masyarakat Arab dalam hal menyembah Allah. Hal itu sangat berbeda dengan keyakinan dari orang pada waktu itu. Islam datang untuk tujuan perubahan yang lebih baik bagi kemanusiaan. Adanya pergeseran dari generasi bangsa Arab yang hanya meniru dan mengikuti generasi sebelumnya  menuju sistem/ model baru kehidupan yang unik dalam hal  pemikiran, keasadaran dan pemahaman misi manusia di bumi. Quran itu sendiri berisi ide-ide besar dan kreatif termasuk
Al-Quran sebagai pedoman lengkap bagi sistem kehidupan, memungkinkan orang untuk hidup sesuai dengan Islam. Quran diturunkan sebagai mukjizat kepada Nabi Muhammad dan menantang semua orang untuk menghasilkan beberapa ayat seperti Qur’an tapi mereka gagal. Ini adalah tanda kreativitas ilahi untuk mengungkapkan sebuah buku yg tak ada bandingannya,  yang unik dan relevan untuk semua orang di semua tempat dan waktu.
Al-Qur’an, Nabi dan masyarakat Muslim sudah kreatif secara alami, dan banyak ilmuwan Muslim yang mampu menghasilkan hal-hal kreatif. Empat Imam besar yaitu, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad Bin Hanbal adalah contoh yang sempurna untuk kreativitas. Masing-masing mampu mendirikan sekolah unik Fiqh Islam yang menggunakan metodologi yang berbeda.
4.        Tujuan dari Kreativitas dalam Islam
a)         Sebagai bagian dari pemenuhan kewajiban manusia di bumi yaitu mencapai Ridho-Nya: Tujuan utama kreativitas adalah menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dalam rangka mencapai Ridho-Nya. Inilah yang menjadi motivasi utama muslim dalam menciptakan dan mengahasilkan sesuatu. Sebagaimana yang tertuang didalam Al Quran :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالاِنسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (QS. Adz Dzariyat ayat 56).
b)        Memperkuat hubungan dengan Allah dimana kreativitas mendorong seseorang untuk menghasilkan sesuatu baru yang membuat seseorang memahami kebesaran dan kuasa-Nya
c)         Menemukan kebenaran  karena tujuan dari kreativitas dalam Islam tidak hanya untuk menemukan hal-hal yang baru dan bermanfaat. Tujuan dari semua ini adalah untuk menemukan kebenaran bahwa Allah telah meletakkan kebenaran di berbagai tempat di alam semesta ini. Itulah sebabnya Allah mendorong manusia untuk berjalan dan berpikir tentang alam semesta, tentang diri manusia sendiri.
وَبِالْحَقِّ أَنْزَلْنَاهُ وَبِالْحَقِّ نَزَلَ ۗ وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا مُبَشِّرًا وَنَذِيرًا
Dan Kami turunkan (Al Qur’an itu dengan sebenar-benarnya dan Al Qur’an itu telah turun dengan (membawa) kebenaran. Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan (QS.Al-Israa’ [17] Ayat 105).
d)        Melayani masyarakat karena tujuan kreativitas bagi umat Islam adalah mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan masyarakat

5.        Dasar-Dasar Utama Kreativitas dari Perspektif  Islam
a.         Ketulusan
Kreativitas dalam Islam harus karena dan untuk Allah. Cendekiawan Muslim kreatif harus menyadari niat mereka dalam kreativitas. Mereka juga harus berniat untuk meningkatkan pengetahuan dan memperkuat hubungan dengan Allah dengan mencari kebenaran.
b.         Sesuai dengan syari'at
       Untuk menghasilkan kreativitas harus sesuai dengan pemikiran Islam, harus mengikuti hukum syara. Produk kreatif  tidak boleh bertentangan dengan salah satu prinsip dasar Islam (al-Mazeedi, 1993: 304).
c.         Produk yang bermanfaat
Hasil kreativitas harus bermanfaat bagi masyarakat Muslim dan berguna bagi orang-orang dalam hidup mereka. Harus membawa kebaikan bagi masyarakat.


d.        Memenuhi sistem etika dan moral
Kreativitas dalam Islam adalah suara moral. Semua produk kreatif harus didasarkan pada etika-moral dalam sistem Islam. Ini berarti bahwa apa pun yang akan dibuat harus diterima secara etis.
e.         Metodologi Ijtihad
Ijtihad adalah upaya atau usaha-usaha sungguh-sungguh dalam mencari solusi untuk sesuatu yang tidak khusus disebutkan dalam Al-Qur'an atau Sunnah. Kreativitas ditempuh melalui ijtihad.
f.          Penolakan imitasi.
Imitasi sebagai antitesis dari kreativitas, atau sebagai penghambat kreativitas, perbuatan ini dicela dalam Quran berkali-kali. Allah (swt) menyebutkan orang-orang negatif yang hanya meniru orang-orang sebelum mereka dalam menyembah selain Dia.

6.    Metodologi Kreativitas dalam Islam
Pentingnya metodologi ditekankan oleh Ilmuwan Muslim al-Maududi bahwa ilmu-ilmu Islam telah kehilangan karakteristik unik mereka untuk beberapa periode, karena tidak menggunakan pendengaran, penglihatan dan pemikiran  islam secara benar dan juga karena umat Islam telah meninggalkan peran historisnya dalam memimpin dunia (dikutip dalam al-Mazeedi, 1993: 33). Abu al-Hasan al-Nadwi telah menunjukkan bahwa ilmu-ilmu Islam jauh lebih baik ketika ada Cendekiawan Muslim yang peduli dalam membangun metodologi yang tepat untuk membimbing, memperjelas dan memahami setiap aspek dalam syariat Islam (al-Nadwi, 1983.:282).
a.         Methodology of Travelling and Observation
قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللَّهُ يُنْشِئُ النَّشْأَةَ الْآخِرَةَ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS. Al- Ankabut : 20)
قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).(QS. Ali Imran : 137).
Allah SWT telah mendorong semua orang untuk berjalan dan berpikir, memperhatikan orang yang sebelum mereka, dan menarik ibroh. Orang-orang yang melakukan perjalanan melalui ruang atau waktu dapat belajar dari pengalaman orang lain.
b.    Methodology of Seeing
Melihat adalah alat lain untuk meningkatkan kreativitas di alam semesta dan di mana-mana.

أَوَلَمْ يَنظُرُواْ فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَا خَلَقَ اللّهُ مِن شَيْءٍ وَأَنْ عَسَى أَن يَكُونَ قَدِ اقْتَرَبَ أَجَلُهُمْ فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ

Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Qur'an itu? (Q.S Al A’raf : 185)
c.    Methodology of Hearing
Semua manusia bertanggung jawab untuk telinga mereka, mata dan hati mereka miliki yang telah diberikan oleh Allah sebagai hadiah. Pendengaran ini juga menjadi salah satu metode untuk mencapai kreativitas.
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا –
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya (QS. Al Israa : 36)
d.    Methodology of Reflection
Islam mendorong orang untuk berpikir secara mendalam dalam segala hal yang menyangkut manusia. Metodologi ini yang ditekankan dalam Al-Quran dengan cara yang berbeda. Salah satu cara adalah untuk mendorong orang untuk berpikir secara langsung tentang peristiwa yang terjadi di sekitar mereka. Allah misalnya memotivasi orang untuk berpikir tentang hujan yang turun dari langit 

BATASAN KREATIVITAS DALAM ISLAM

Islam adalah agama yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia dan alam, serta bagaimana mengatur diri manusia itu sendiri berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Islam memiliki pandangan yang unik dan batasan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam masalah kreativitas. Pertanyaan selanjutnya kenapa harus ada begitu banyak batasan dalam Islam dan bukankah akhirnya tidak bisa kreatif dalam mengeluarkan ide-ide jika dibatasi. Padahal, batasan tidak bermakna negatif dalam kreativitas dan seni. Batasan justru dibutuhkan untuk menguji kreativitas berbuat dan berkarya di dalam koridor tertentu. “Creativity is how we manage things in constraints”, demikian kata Prof. Sandi A. Siregar.
Seseorang dianggap kreatif hanya jika ia mampu berbuat sesuatu di dalam batasan yang ada. Jika ia mampu berbuat sesuatu dengan kebebasan yang mutlak, maka tidak ada kreativitas di dalamnya, hal itu merupakan hal yang biasa saja. Contohnya pada sebuah pertandingan bulu tangkis yang tidak dibatasi oleh peraturan yang mengikat, wasit yang adil dan lawan main yang seimbang. Point yang dihasilkan dari pertandingan semacam ini akan terasa hambar dan tidak ada artinya. Pemain yang berhasil unggul dalam perolehan point tidak akan dianggap hebat. Lain halnya jika atlet tersebut unggul dalam perolehan point di tengah pertandingan yang dibatasi oleh waktu yang sempit, peraturan yang mengikat dan pengawasan wasit yang ketat, serta dengan lawan main yang seimbang. Dengan demikian, kreativitas ternyata bukanlah sesuatu yang harus selalu terbentur oleh batasan yang ada.

            Kreativitas dalam Islam tidak mengenal kebebasan yang mutlak di dalam setiap aspeknya, baik aspek keilmuan, teknologi, maupun aspek keseniannya. Terdapat beberapa batasan, terutama dalam berkesenian, yang bersumber dari ketentuan syariat di dalam Islam. Secara umum, pandangan di atas juga mengisyaratkan, bahwa seperti halnya seni yang tidak bebas nilai, begitu pula halnya ilmu. Sebagai contoh, dalam penggunaan kamera tersembunyi untuk mengobservasi aktivitas manusia dikamar mandi guna menentukan desain kamar mandi yang paling nyaman, tentu saja hal ini tidak dapat dibenarkan dalam Islam. Walaupun demikian, adanya batasan-batasan etika ini tidak menghambat penelitian ini, justru batasan etika berfungsi memacu akal untuk mengeksplorasi cara dan kemungkinan yang lebih baik dalam melakukan penelitian, misalnya dengan simulasi komputer berdasarkan data-data ergonomi dan hasil wawancara dengan sampel penelitian. Sehingga batasan menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan dari kreativitas.
Seni dalam Islam dibatasi untuk tidak menggambarkan figur manusia atau hewan secara natural. Batasan ini, terlepas dari berbagai perbedaan pendapat tentangnya, ternyata menjadi peluang yang sangat besar di tangan para seniman dan arsitek muslim di masa awal perkembangan peradaban Islam. Bukannya merasa terkekang lalu menyerah begitu saja, tetapi seniman muslim menjadikan batasan itu sebagai tantangan tersendiri untuk membuktikan seberapa besar kemampuan mereka untuk berkarya di dalam koridor itu. Eksplorasi kreativitas yang dilakukan secara intensif di dalam koridor nilai-nilai Islam, ternyata menghasilkan suatu ragam seni dekorasi tersendiri yang sangat unik dan estetik. Sejarah pun kemudian mengukir karya peradaban mereka dengan tinta emas. Di beberapa belahan dunia, seperti di Spanyol, Mesir, Iran, dan Turki, obyek-obyek arsitektur dari masa ini dilestarikan sebagai bagian dari peradaban yang bernilai tinggi.
Kreativitas akan muncul di tempat-tempat di mana batasan itu ada, bukan untuk menerobosnya, melainkan untuk mengolah secara optimal segala sesuatu yang ada di dalam batasan itu menjadi lebih berdaya guna. Sehingga ketika seorang muslim mematuhi batasan-batasan yang ada dalam menciptakan produk kreatif maka disanalah kreativitas akan muncul. Tentu saja batasan ini sesuai dengan syariat Islam yang tertuang di dalam Al-Quran dan Hadist Mutawatir.

ANALISIS & KESIMPULAN
Di dalam Quran disebutkan bahwa:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۗ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ ۚ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Perubahan di dalam diri sendiri meliputi segala hal yang bersifat internal meliputi keyakinan, pikiran, ide, emosi, keadaan, kondisi, perilaku, tindakan, status atau hubungan. (Mohd Zarif et.al, 2013; Al-Karasneh & Jubran Saleh, 2010; Faruq, 2006). Salah satu elemen penting yang berkontribusi untuk mendorong kreativitas dan inovasi adalah berpikir kritis. Menjadi kreatif dan kritis dalam waktu yang bersamaan bagaikan “dua sisi koin”. Dalam banyak situasi, seseorang yang kreatif memiliki pikiran yang kritis (Abdul Razak & Afridi, 2014).
Salah satu elemen penting yang berkontribusi untuk mendorong kreativitas dan inovasi adalah berpikir kritis. Menjadi kreatif dan kritis dalam waktu yang bersamaan bagaikan “dua sisi koin”. Dalam banyak situasi, seseorang yang kreatif memiliki pikiran yang kritis (Abdul Razak & Afridi, 2014). Sayanngnya, menjadi kritis bukanlah sifat dalam komunitas Muslim tradisional. Menurut Rhode (2012b),
“Until the Muslim once again allow themselves to ask questions and engage in critical examination, they are disabling themselves from accomplishing as much as they otherwise might”
Lebih buruk lagi, kurangnya toleransi untuk berpikir kritis muncul dalam masyarakat Muslim dalam bentuk ekstremisme agama terhadap pendapat dan pandangan. Di tengah kebingungan, agama selalu digunakan sebagai dalil untuk membela berdiri. Mungkin bencana besar yang menyapu bersih jejak kreativitas dan inovasi yang tersisa di masyarakat Muslim adalah deklarasi bahwa pintu ijtihad (usaha analitis oleh para cendekiawan untuk sampai pada putusan agama) telah ditutup sehingga menghasilkan interpretasi yang sangat sempit dalam agama dalam banyak situasi ("Ijtihad: Menafsir ulang Prinsip Islam", 2004; Rhode, 2012a).
Maka sudah cukup bagi generasi baru untuk beradaptasi sepenuhnya terhadap pendapat dan pandangan yang dikemukakan oleh ulama besar dari sebelumnya tiga atau empat abad lalu. Dalam kenyataannya banyak ulama besar dari sebelumnya atau saat ini membantah doktrin ini dan mendeklarasikannya sebagai hal yang tidak menguntungkan umat (Amir Hussin, 2000). Karena ini tidak aneh untuk memiliki opini bahwa karena status represif dan pembatasan yang dikenakan pada usaha di ijtihad oleh instansi agama dan Pemerintah di negara-negara Muslim, mereka merasa bahwa cendekiawan Muslim di barat - masih terbuka untuk ekspresi kreatif dan kebebasan harus memimpin upaya untuk menghidupkan kembali ijtihad di dunia Muslim ("Ijtihad: Menafsir ulang Prinsip Islam", 2004; Rhode b, 2012a).
Kematian berpikir kritis dan penutupan gerbang ijtihad telah mengubah
bangsa Muslim menjadi konsumen pasif bukan produsen yang agresif dan dinamis. Muslim kehilangan keberanian dan kepercayaan diri untuk membuktikan kasus mereka dan memulai dalam penelitian untuk menemukan solusi untuk masalah mereka sendiri. Bidang fiqh (yurisprudensi) telah terhambat untuk mempersempit interpretasi dalam agama sehingga menjadi serrangkaian putusan haram terlalu sering kali muncul dalam praktis dan bahkan bahan tertawaan pada waktu tertentu.
Meskipun Islam sesungguhnya diungkapkan oleh Allah sebagai jalan hidup, abadi; islam juga bersifat praktis dan memiliki pendekatan yang sangat rasional. Membatasi sumber referensi hanya kepada satu aliran pemikiran (mazhab) bertentangan dengan semangat asli dari Islam dan menentang manfaat dari fiqh Islam terhadap perubahan yang fleksibel dan akomodatif pada masa kini. Pemahaman ini sebenarnya adalah prasyarat penting untuk mengembangkan kreativitas  dalam Islam. Pada kenyataannya banyak kesalahpahaman ini dan berpikir sempit tidak memungkinkan bagi kita untuk berani mengeksplorasi arena yang lebih luas dalam mengekspresikan kreativitas dan inovasi.
Kekakuan putusan pada pada isu-isu kontroversial yang dibawa oleh pendapat fiqh yang berbeda seperti masalah musik, keterlibatan perempuan dalam pertunjukkan seni, aurat dan sentuhan anjing  dalam Islam di banyak contoh memaksakan pembatasan yang tidak perlu untuk Muslim untuk mengekspresikan kreativitas mereka. Pada kenyataannya fleksibilitas Islam di fiqh dapat digunakan dalam keuntungan dari ummat selama itu masih dalam batas pendapat utama dalam Islam (Ahmad, 2007) (Ahmad Farid & Man, 2012). Beberapa ahli menyarankan bahwa ijtihad untuk dunia saat ini tidak hanya harus melibatkan para ulama melainkan proses konsultasi melibatkan ahli dalam berbagai bidang pertanyaan (Kamali, 2006).
Dalam kreativitas juga perlu untuk meningkatkan kualitas diri dalam dunia tasawuf yang sering disebut dengan 3-T (takhalli, tahalli dan tajalli) (Mujib, 2015).
            Pertama, tahapan permulaan (al-bidayah) yang disebut dengan takhalli, yaitu mengosongkan diri dari segala sifat-sifat yang kotor yang menutup cahaya ruhani. Pada tahapan ini fitrah manusia merasa rindu kepada Khaliknya. Ia sadar bahwa keinginan untuk berjumpa itu terdapat tabir (al-hijab) yang menghalangi interaksi dan komunikasinya, sehingga ia berusaha menghilangkan tabir tersebut. Perilaku maksiat, dosa dan segala gangguan pada kepribadian merupakan tabir yang harus disingkap dengan cara menutup, menghapus dan menghilangkannya. Tahapan pertama ini harus dilakukan oleh orang yang ingin menghasilkan produk kreatif dan kreativitas karena pada dasarnya kreativitas itu lahir dari kebersihan jiwa dengan meninggalkan segala perbuatan maksiat. Tidak akan muncul kreativitas jika bertentangan dengan syariat
Kedua, tahapan kesungguhan dalam menempuh kebaikan (al-mujahadah) yang disebut dengan tahalli, yakni mengisi damenghiasi diri   dengasifat-sifayanmuliaSetelah bersih dari kotoran spiritual kemudian berusaha secara sungguh-sungguh dengan carmengisi diri dengan perilaku yanmulia,  seperti ikhlas, tawadhu’, sabar, syukur, qanaah, tawakkal, ridha dan sebagainya. Tahapan ini dimana kreativitas mulai tumbuh dalam diri seorang muslim karena senantiasa taat pada syariat.
Ketiga, tahapan merasakan (al-mudziqat) yang disebut dengan tajalli, yaitu munculnya kesadaran rabbani. Pada tahapan ini seorang hamba tidak sekadar menjalankan perintah Khalik-nya dan menjauhi larangan-Nya, namun ia merasakan kelezatan, kedekatan, kerinduan bahkan bersamaan (ma’iyyah) dengan-Nya. Tahapan ini merupakan tahapan puncak dimana existensi kreativitas itu ada karena menyadari bahwa menghasilkan produk kreatif akan membuat ia dekat dengan Allah karena senantiasa menggali solusi terhadap suatu permasalahan melalui ijtihad dan juga menyadari bahwa sebaik-bainya manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain. Inilah yang menjadi dasar dalam melakukan kreativitas.
Kesimpulannya, perubahan persepsi dan pemahaman Islam adalah langkah-langkah wajib sebelum situasi mengenai kreativitas Muslim dapat diubah. Sarana penting untuk memulai dengan adalah pendidikan. Belajar agama harus membawa Muslim dekat dengan sumber nyata agama yang merupakan Quran dan Sunnah bukan hanya belajar penafsiran Quran dan Sunnah seperti yang kita lakukan sekarang. Kedua sumber harus dipahami dengan baik dan harus termasuk dalam program pembelajaran Islam. Kreativitas juga membutuhkan keberanian untuk mempertanyakan cara yang dapat diterima dalam melakukan sesuatu juga terikat pada batasan Syariat Islam.  

DAFTAR PUSTAKA

Al-Khalili, Syaikh Amal Abdus-Salam. (2005). Mengembangkan Kreativitas Anak. Terj. Umma Farida. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.


Dr. Samih Mahmoud Al-karasneh & Dr. Ali Mohammad Jubran.Islamic Perspective of Creativity: A Model for Teachers of Social Studies as Leaders. Procedia Social and Behavioral Sciences Journal, 2010, 412-426.


Ghufron, M. Nur & Risnawati, Rini (2010).Teori-Teori Psikologi. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media

Halligan. (2009). Skill in Creativity, Design, and Innovation. Forfas Publish

Langgulung, Hasan. (1991). Kreativitas dan Pendidikan Islam: Suatu Kajian Psikologi dan Falsafah. Jakarta: Pustaka Al-Husna


Mujib, A. (2015). Implementasi Psiko-Spiritual dalam Pendidikan Islam. Madania, 19 (2). 195-204.


Munandar, S.C.U. (2009). Pengembangan kreativitas anak berbakat. Jakarta: PT Rineka Cipta dan Dep. Pendidikan dan Kebudayaan.


Rachmawati, Yeni & Euis Kurniati. (2010). Strategi Pengembangan Kreativitas pada Anank Usia Taman Kanak-Kanak. Jakarta: Kencana


Salina Ismail, Muhammad Shakirin Shaari. Fostering creativity in the Islamic world: towards an effective islamic creative industry. Indian Journal of Arts, 2015, 5(16), 111-119.


Shalley, C. E. 1991. Effects of productivity goals, creativity goals, and personal discretion on individual creativity. Journal of Applied Psychology, 76


Semiawan, Conny R. (2010).Kreativitas Keberbakatan: Mengapa, Apa, dan Bagimana.Jakarta : PT. Indeks

Vernon, P.E. (1973). Creativity. Victoria: Penguin Education

Tidak ada komentar:

Posting Komentar