ISLAM DAN STRESS KERJA
Oleh:
Baqiyatul Auladiyah
21150700000021
Pendahuluan
Tuntutan hidup saat ini membuat
kehidupan orang semakin mencekik. Banyaknya tuntutan tersebut membuat orang
berpikir keras bagaimana caranya menjalani dan menyelesaikan segala
permasalahan yang terjadi. Ketika hal tersebut terjadi terus menerus maka akan
mengakibatkan perasaan tertekan dan terdesak.
Selain
permasalahan hidup, perasaan tertekan akan tuntutan dan tanggung jawab juga
dapat terjadi di dunia kerja. Kita mengenalnya dengan istilah stres kerja, atau
stres di tempat kerja. Stres kerja menjadi fenomena yang menjadi perbincangan
hangat di kalangan eksekutif yang mempengaruhi bagaimana pola kerja yang
terjadi pada karyawan di sebuah industri atau perusahaan. Stres kerja biasanya
dipengaruhi oleh beratnya beban pekerjaan dan perasaan tertekan karena berbagai
macam tuntutan pekerjaan. Maka stres kerja menjadi penting untuk diperhatikan
oleh pimpinan perusahaan untuk mengurangi dampak yang lebih besar dari stres
kerja itu sendiri.
Stres
kerja telah banyak dilakukan oleh berbagai penelitian di dunia industri. Stres
telah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Stres di tempat kerja adalah salah
satu resiko utama psikososial di tempat kerja. Akhir-akhir ini hal tersebut
menjadi fokus utama dari konselor, pengusaha, psikolog bahkan konselor.
Islam
dengan segala kesempurnaannya datang membawa risalah untuk kehidupan manusia.
Stres dalam Islam bukanlah sesuatu yang harus ditakuti atau dihindari. Namun
Islam mengajarkan kepada manusia bahwa tuntutan atau ujian hidup ini merupakan
sesuatu yang harus dijalani sebagai bagian dari proses kehidupan itu sendiri.
Allah berfirman dalam surat Al – Ankabuut (29), ayat 2-3 yang artinya: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka
dibiarkan saja dengan mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak
diuji lagi (2) Dan sesunggunya Kami telah menguji
orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui
orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang
yang dusta (3).”
Melihat
penjelasan di atas sudah seharusnya sebagai seorang Muslim yang beriman, stres
kerja bukanlah masalah yang besar dan menjadi problema kehidupan yang
berkepanjangan. Namun stres yang dihadapi di dunia pekerjaan harus dijadikan
sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah agar dapat terhindar dari beban
dan pikiran yang berat serta dapat dijadikan sebagai sebuah proses kehidupan
agar kita menjadi lebih matang menghadapi kehidupan di dunia dan juga di
akhirat.
Bagaimana Barat
Memandang Stres Kerja?
Robbins (2013) menjelaskan bahwa
stres kerja adalah proses psikologis yang
tidak menyenangkan yang terjadi pada diri seorang
manusia dalam menanggapi tekanan lingkungan.
Joseph (2013)
mendefinisikan stres sebagai reaksi fisiologis
dan psikologis untuk peristiwa-peristiwa
tertentu di lingkungan. Stres adalah suatu keadaan tidak menyenangkan
secara emosional
dan fisiologis
seseorang dalam situasi yang
mereka anggap membahayakan atau mengancam kesejahteraan
mereka (Tenibiaje, 2011). Menurut Selye
(dalam Joseph, 2013), stres didefinisikan
sebagai kondisi yang dapat menimbulkan
stres psikologis atau
ketidaknyamanan secara psikologis itu sendiri.
Robbins (2013)
dalam bukunya organizational behavior menjelaskan bahwa stres
dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
Faktor
Lingkungan. Ketidakpastian lingkungan
mempengaruhi perubahan struktur organisasi, dan hal tersebut tentunya
berpengaruh juga terhadap tingkat stres karyawan dalam organisasi tersebut.
ketidakpastian ekonomi tentu saja menjadi alasan terbesar bagi karyawan dalam
memecahkan masalah pekerjaan berhubungan dengan perubahan organisasi.
Ketidakpastian lingkugan disini terdiri dari tiga tipe, yaitu: ekonomi,
politik, dan teknologi.
Perubahan pada situasi bisnis
menciptakan ketidakpastian ekonomi. Ketika perekonomian menurun, orang akan
mencemaskan kesejahteraan hidupnya. Kemudian, ketidapastian politik terjadi
ketika situasi politik tidak menentu, banyak sekali demonstrasi dari berbagai
kalangan yang tidak puas dengan keadaan mereka. Kejadian semacam ini dapat
membuat orang merasa tidak nyaman karena adanya penutupan jalan karena ada yang berdemo atau mogoknya angkutan umum dan membuat
para karyawan terlambat masuk kerja.
Selain itu, kemajuan
teknologi yang pesat juga menyebabkan orang stress karena harus beradaptasi
dengan perubahan struktur dan tatanan pada organisasi tersebut, termasuk adanya
inovasi baru yang menyebabkan seseorang harus menyesuaikan diri dengan
teknologi yang semakin canggih.
Faktor Organisasi. Tidak ada pekerjaan dalam sebuah
organisasi yang tidak menyebabkan stres. Tekanan pekerjaan yang harus
diselesaikan dalam waktu singkat, work overload, tuntutan dan
dikesampingkan oleh atasan, serta teman kerja yang tidak menyenangkan adalah
baru sebagian kecil yang dapat mempengaruhi stres pada seseorang.
Tuntutan terhadap
tugas berhubungan
dengan pekerjaan seseorang. Dimana, hal tersbeut meliputi desain pekerjaan,
situasi kerja, dan susunan ruang kerja secara fisik. Bekerja pada ruangan yang
banyak orang atau tampak, dimana keadaannya bising dan banyak gangguan dapat menyebabkan
kecemasan dan stres. Kemudian selanjutnya, tuntutan peran juga dapat
mempengaruhi stres, dimana hal tersebut berhubungan dengan tekanan yang
diberikan pada seseorang sesuai dengan fungsi peran dalam organisasi tersebut.
Konflik peran menciptakan harapan-harapan yang barangkali sulit dirujukkan atau
dipuaskan. Kelebihan peran terjadi bila karyawan diharapkan untuk melakukan
pekerjaan melebihi kemampuannya. Ambiguitas peran tercipta bila harapan peran
tidak dipahami dengan jelas dan karyawan tidak mengetahui secara pasti mengenai
apa yang harus dikerjakan.
Selain yang penulis
jelaskan di atas, faktor organisasi yang dapat mempengaruhi stres kerja pada
seseorang adalah untutan antar pribadi, dimana tuntutan ini berhubungan dengan
tekanan yang diciptakan oleh karyawan lain.
Kurangnya dukungan sosial dari rekan kerja dan hubungan
antar pribadi yang kurang baik dapat menimbulkan stres yang cukup besar,
khususnya di antara para karyawan yang memiliki kebutuhan sosial yang tinggi.
Faktor Individu.
Faktor ini mencakup kehidupan pribadi karyawan terutama
faktor-faktor yang berhubungan dengan persoalan keluarga, masalah ekonomi
pribadi dan karakteristik kepribadian bawaan. Faktor
persoalan keluarga, dari hasil survei nasional secara konsisten menunjukkan
bahwa orang menganggap bahwa hubungan pribadi dan keluarga sebagai sesuatu yang
sangat berharga. Adanya permasalahan kesulitan pernikahan, pecahnya hubungan
dan kesulitan menerapkan disiplin pada anak-anak merupakan contoh masalah
hubungan yang menciptakan stres bagi karyawan dan terbawa ke tempat kerja.
Selanjutnya, selain
persoalan dalam keluarga, masalah ekonomi juga dapat menyebabkan stres
seseorang dalam pekerjaannya. Dimana, masalah ekonomi ini diciptakan oleh
individu yang tidak dapat mengelola sumber daya keuangan mereka. Selain itu, karakteristik
kepribadian bawaan juga mempengaruhi stres kerja pada seseorang. Faktor
individu yang paling berpengaruh terhadap stres adalah kodrat kecenderungan
dasar seseorang. Artinya gejala stres yang diungkapkan pada pekerjaan itu
sebenarnya berasal dari dalam kepribadian orang itu.
Selain yang
dijelaskan di atas tentang faktor-faktor yang menyebabkan stress, penulis juga
akan menjelaskan tentang dampak dari stress ketika seorang mengalami stres
kerja, diantaranya terdiri dari gejala fisik, psikis dan perilaku. Yang
dimaksud gejala fisik adalah bahwa sebagian besar kalangan medis dan kesehatan
menjelaskan stres dapat berpengaruh secara langsung terhadap fisik. Stres kerja
secara langsung dapat menyebabkan perubahan metabolisme dalam tubuh,
meningkatkan tensi jantung, sesak nafas dan tekanan darah, sakit kepala, serta
dapat juga menyebabkan serangan jantung.
Sedangkan
berhubungan dengan gejala psikis, kepuasan kerja merupakan contoh yang paling
sederhana menggambarkan tentang tingkat stres kerja. Tetapi stres itu sendiri
dapat ditunjukkan dengan melihat adanya kecemasan, sifat mudah marah, bosan,
dan sifat suka menunda-nunda pekerjaan. Pekerjaan dengan banyaknya tuntutan dan
konflik yang terjadi atau adanya ketidakjelasan tugas, otoritas dan
tanggungjawab dapat meningkatkan stres dan ketidakpuasan kerja. Kemudian
berhubungan dengan gejala perilaku dapat ditunjukkan dengan penurunan
produktivitas, ketidakhadiran, dan tingkat turnover karyawan, perubahan
porsi makan, merokok atau mengkonsumsi alcohol, perasaan gelisah dan gangguan
tidur.
Dari penjelasan
di atas, Mujib (2012) menjelaskan bahwa manusia (human capital) merupakan modal utama dalam organisasi modern. Dimana, manusia sebagai modal
utama, bukan hanya
sebagai objek yang mengikuti
program organisasi secara
deterministik, tetapi juga
sebagai subjek yang diharapkan
mampu mengembangkan organisasi.
Dengan pemahaman ini, pengembangan
organisasi harus seiring
dengan tuntutan pemenuhan
kebutuhan manusia yang
semakin kompleks agar dapat
memberikan kepuasan kerja terhadap karyawannya.
Islam dan Stres Kerja
Islam telah memberikan pedoman
kepada seluruh umat manusia bahwa Al Quran selain sebagai petnjuk hidayah bagi
seseorang, Ia juga berfungsi sebagai obat yang mujarab untuk mengatasi segala
permasalahan hidup di dunia ini. Al Quran dengan segala isinya menjelaskan
bahwa hidup ini hanyalah untuk beribadah. Al Quran juga memerintahkan kepada
manusia untuk bekerja sesuai syariat agama. Hal ini dijelaskan dalam QS Jumu’ah
ayat 10 sebagai berikut:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ
فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ
كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (١٠)
Artinya:
“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi;
dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu
beruntung.”
Bekerja merupakan perintah langsung dari Allah kepada umat
manusia agar mereka mencari penghidupan di dunia sebagai bekalan di akhirat.
Bekerja menurut Islam bukan hanya sebatas untuk mendapatkan uang untuk tetap
bertahan hidup. Tapi lebih kepada bagaimana seorang Muslim mampu menempatkan
diri di lingkungan yang berbeda untuk menjalin habluminannas, selain
juga upaya mendekatkan diri kepada Allah. Tanpa bekerja, manusia hanya akan
menjadi makhluk yang lemah dan tidak mempunyai daya apapun untuk menolong
dirinya sendiri di dunia, apalagi menolong orang lain dalam hidup
bermasyarakat.
Tuntutan pekerjaan saat ini, membuat sebagian orang merasa
frustasi dan stres karena beban dan tanggungjawab yang terlalu besar. Perasaan
semacam ini seringkali menghinggapi pikiran kita bahwa betapa dunia ini kejam
membuat kita harus selalu merasa lelah dan tidak berdaya menghadapi persaingan
global yang terjadi saat ini. Pada akhirnya stres karena tuntutan pekerjaan
yang terlalu berat menjadikan manusia berputus asa dari rahmat Allah Swt.
Padahal Allah sudah memperingatkan dalam Qs Yusuf ayat 87:
يَا بَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا
مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ ۖ إِنَّهُ لَا
يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
Artinya:
“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan
saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya
tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir".
Tentu hal ini bukan menjadi sesuatu yang kita inginkan.
Sebagai orang yang beriman, kita tentu mengetahui bagaimana Allah memberikan
kemudahan di setiap kesulitan yang kita hadapi. Hal tersebut dijelaskan dalam
Qs Al Insyirah ayat 5 yang artinya; “Maka sesungguhnya bersama
kesulitan ada kemudahan”. Seorang Muslim yang beriman, harus mempunyai
sifat religiusitas yang menjadikannya berbeda dengan umat di dunia ini.
Religiusitas diartikan Mujib (2012) sebagai
manifestasi sejauhmana
individu meyakini, mengetahui,
memahami, menghayati, menyadari
dan mengamalkan ajaran
agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Lebih
lanjut, Mujib (2012) menjelaskan religiusitas, yang bersumber dari agama Islam,
memberi dorongan bagi umatnya untuk beramal shaleh agar mendapat balasan yang
terbaik (QS. Al-Baqarah:277; alNisa’:173; al-Maidah:9) dan menyerukan bekerja
keras untuk melaksanakan amanah yang
diterima. Hal itu mengandung arti bahwa religiusitas mendorong individu untuk
memiliki motivasi berprestasi dalam bekerja.
Nabi Muhammad SAW. pernah mengajarkan doa kepada Abdullah
bin Abbas, Beliau berkata: maukah engkau aku ajarkan doa yang kalau engkau
ucapkan, Allah akan menghilangkan atau melenyapkan kesusahan dan melunaskan
hutang-hutangmu?, doa tersebut adalah:
اللَّـــهُمَّ اِنِّى اَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْحَـمِّ وَالْحَزَنِ
وَاَعُوْذُبِكَ مِنَ الْعَجْـِز وَاْلكَسَلِ
وَاَعُوْذُبِكَ مِنَ الْجُـبْنِ وَالْبُخْـلِ
وَاَعُوْذُبِكَ مِنْ غَلَبَتِ الدَّيْنِ وَقَـهْرِ الرِّجَالِ
“Ya
Allah ya Tuhan kami, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu daripada keluh kesah
dan dukacita, aku berlindung kepada-Mu dari lemah kemauan dan malas, aku
berlindung kepada-Mu daripada sifat pengecut dan kikir, aku berlindung
kepada-Mu daripada tekanan hutang dan kezaliman manusia.” (HR Abu Dawud
4/353)
Delapan
sifat yang dijelaskan dalam do’a Nabi tersebut merupakan sumber stres yang
banyak menimpa kehidupan manusia. Maka Nabi menganjurkan kepada umatnya agar
terhindar dari delapan sifat yang mengakibatkan penyakit hati pada manusia
tersebut.
Eustress vs Distress
Najati (2001) menjelaskan bahwa
setiap orang mempunyai dorongan atau motivasi pada dirinya sendiri, sebagai
kekuatan penggerak yang membangkitkan aktivitas pada makhluk hidup dan
menimbulkan tingkah laku serta mengarahkannya menuju tujuan tertentu. Najati
(2001) juga menyatakan bahwa para ahli psikologi modern membagi
dorongan-dorongan tersebut menjadi dua bagian: pertama, dorongan-dorongan
fisiologis, yaitu dorongan-dorongan naluriah yang berhubungan dengan
kebutuhan-kebutuhan fisiologis tubuh dan kekurangan atau rusaknya keseimbangan
yang terjadi dalam jaringan tubuh. Ia mengarahkan tingkah laku individu pada
tujuan-tujuan yang bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisiologis tubuh, atau
menutupi kekurangan yang menimpa jaringan-jaringan tubuh, serta
mengembalikannya pada keseimbangan, sebagaimana kondisi semula. Kedua, dorongan-dorongan
psikis dan spiritual. Dorongan-dorongan ini berhubungan dengan
kebutuhan-kebutuhan psikis dan spiritual manusia.
Berhubungan
dengan stres kerja, secara fisik ketika seseorang mempunyai banyak tekanan dan
beban tanggung jawab yang harus diselesaikan, serta merasa telah berada di
ujung tanduk, maka setiap orang mempunyai cara yang berbeda mengatasi stres
kerjanya masing-masing. Selye (1974) menjelaskan bahwa setiap orang mempunyai
persepsi dan reaksi emosional yang berbeda dalam menghadapi stres. Berdasarkan
jenisnya, Selye (1974) membagi stres menjadi dua, yaitu:
- Eustres; yaitu
hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif dan
konstruktif (bersifat membangun). Islam mengajarkan kepada umatnya untuk
selalu bersikap positif bahwa ujian hidup atau beban kerja akan dapat
diselesaikan dengan baik. Hal ini tertuang dalam QS Al Insyirah ayat 5-6,
sebagai berikut:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ
يُسْرًا
Artinya:
“Karena sesungguhnya bersama setiap kesulitan ada kemudahan” (5)
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ
يُسْرًا
Artinya:
“Sesungguhnya bersama setiap kesulitan ada kemudahan” (6)
Contoh eustres yang bisa kita jumpai
dalam lingkungan sekitar kita adalah ketika seseorang mengerjakan tugas pada
waktu yang sudah ditentukan (deadline), maka tugas tersebut akan dapat
diselesaikan dengan baik. Atau seseorang menjalani serangkaian aktivitas dalam
hidupnya dengan berbagai pencapaian-pencapaian untuk menjadikan hidupnya
berkulitas. Mujib (2012) menjelaskan bahwa berprestasi merupakan syarat
dalam rangka merealisasikan amanah
Allah SWT untuk menjadi khalifah-Nya
di muka bumi. Sedangkan kualitas hidup dalam perspektif agama dapat dilihat
dari prestasi yang diberikan untuk kehidupannya.
- Distres; yaitu
hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif dan
destruktif (bersifat merusak). Kebalikan dari eustres menurut Selye (1997)
adalah distres. Distres bersifat negatif. Hal ini dijelaskan dalam Qs. Al
Isra’ ayat 83 yaitu sebagi berikut:
وَإِذَا أَنْعَمْنَا
عَلَى الْإِنْسَانِ أَعْرَضَ وَنَأَىٰ بِجَانِبِهِ ۖ وَإِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ
كَانَ يَئُوسًا
“Dan
apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia; dan
membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan
niscaya dia berputus asa”
Contoh yang nyata tentang distres dalam
kehidupan sehari-hari yang dapat kita jumpai adalah ketika seorang merasa
frustasi, banyaknya tuntutan pekerjaan dari bos, lingkungan serta rekan
kerja yang tidak saling support, orang akan mencari ketenangan dengan
mengonsumsi obat-obat terlarang seperti narkotika. Hal ini dijelaskan dalam
Najati (2001), bahwa ketika seseorang berlebihan dalam memenuhi berbagai
dorongan, dan tidak mampu untuk mengendalikan dan menguasainya, maka akan
mengakibatkan penyimpangan dorongan-dorongan itu dari tujuan yang sebenarnya.
Sebagai seorang
muslim yang beriman, sudah tentu kita harus mampu menjaga diri dari
godaan-godaan yang akan menyesatkan kehidupan ini ketika kita merasa beban
hidup ini terlalu berat, atau kita disebut sebagai orang kafir jika
berputus asa dari rahmat Allah Swt., seperti yang telah penulis jelaskan di
atas. Dalam Qs. Al Mulk ayat 2 dijelaskan bahwa:
الَّذِي
خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ
الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“(Allah-lah) yang
menciptakan kematian dan kehidupan supaya Dia menguji kalian, siapa di antara
kalian yang lebih baik amalannya. Dia adalah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Dalam tafsir Al
Baghawi menyebutkan sebuah perkataan yang sangat indah dari seorang alim yang
bernama Al Fudhail bin ‘Iyadh tentang tafsir dari Al Mulk ayat 2, dimana Al
Fudhail berkata: “(أَحْسَنُ عَمَلًا = yang lebih baik amalannya) adalah yang amalan
paling ikhlas dan paling benar.”
Mengatasi Stress dalam
Islam
1. Beriman kepada Allah
Najati (2001) menjelaskan keimanan kepada Allah Swt
akan memberikan perasaan aman dan terhindar dari goncangan beban hidup yang
membuat sebagian orang berputus asa. Hal ini dijelaskan dalam Qs Al An’am ayat
82, yang artinya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman
mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat
keamanan dan mereka itulah adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Selain itu, Qs. Ar-Ra’d ayat 28 juga menjelaskan hal
yang sama, bahwa: “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi
tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati
menjadi tentram.”
2. Kesadaran Berkelompok
Bekerja pada suatu organisasi atau industri artinya
kita menjadi bagian dari tubuh organisasi. Manusia adalah makhluk sosial yang
membutuhkan pertolongan orang lain. Segala beban pekerjaan akan terasa lebih
ringan ketika seseorang bekerja sama dengan orang lain secara baik. Najati
(2001) menjelaskan bahwa Al Quran memberi dorongan kepada orang beriman untuk
mencintai saudara-saudara sesamanya, berbuat baik dan memberi pertolongan
kepada yang lain. Al Quran juga memberi dorongan kepada kaum muslimin untuk
bekerjasama, setia kawan dan membentuk suatu masyarakat yang dilandasi oleh
kesatuan kata dan solidaritas, dimana masing-masing anggotanya merasakan bahwa
dirinya adalah bagaikan batu bata dalam satu bangunan yang utuh. Hal ini seperti
dijelaskan dalam firman Allah dalam Qs. Al Maidah ayat 2 yang artinya: “Dan
tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan janganlah
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
3. Memperbanyak Bersedekah
Salah satu perkara yang menyebabkan jiwa sentiasa
tertekan dan tidak tenang ialah harta. Orang yang kikir sentiasa disempitkan
oleh Allah swt. Hati dan akhlaknya kerana bakhil dengan kurniaan Allah swt.
Dalam keadaan ini, pemberian sedekah hendaklah semata-mata karena Allah, malah
ketika seseorang itu berasa bakhil dan sangat sayang akan hartanya, maka
bersedekahlah bagi mendapatkan keberkatan yang lebih.
4. Bersangka Baik Terhadap Allah SWT
Kita hendaklah berbicara positif serta penuh
pengharapan kepada Allah swt. Hal ini karena setiap lafaz yang di ucapkan itu
adalah doa, dan karena Allah sesuai prasangka hamba-Nya.
5. Tawakkal
Yaitu berserah diri kepada Allah, setelah melakukan
sesuatu pekerjaan secara maksimal. Kemudian menaruh pengharapan hanya kepada
Allah tentang hasil dari apa yang telah diselesaikan.
6. Sabar
Menurut
Najati (2001), seorang mukmin yang sabar, tidak akan bersedih hati atas derita
yang menimpanya, dan juga tidak akan lemah, manakala mendapat cobaan dan
bencana. Artinya ketika kita merasakan pekerjaan yang membuat stres, yang harus
dilakukan adalah bersabar. Disebutkan dalam Qs Muhammad ayat 31 yang artinya: “Dan
sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui
orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu; dan agar Kami menyatakan
(baik buruknya) hal ihwalmu.” Dalam Qs Yusuf ayat 18 juga disebutkan bahwa
bersabar itu lebih indah, dan hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan.
Kesimpulan
Sebagai seorang muslim yang beriman
sudah tentu bahwa tempat kembali kita adalah hanya kepada Allah. Segala
pekerjaan yang kita lakukan jika diniatkan semata-mata mencari keridhaan Allah,
maka sesulit apapun pekerjaan tersebut akan menjadi ringan dan mudah untuk
diselesaikan. Bekerja merupakan bagian dari ibadah. Tentunya pekerjaan yang halal
dan diridhoi oleh Allah Swt. Ketika segala yang kita lakukan diniatkan hanya
untuk beribadah kepada Allah, Insya Allah kita akan terhindar dari beban dan
stress yang berat dalam menyelesaikan pekerjaan. Semoga kita termasuk
orang-orang yang senantiasa mendapatkan petunjuk dan pertolongan dari Allah
Swt. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Baqutayan,
Shadiya. (2011). An inoovative Islamic counseling. International Journal of
Humanities and Social Science. Malaysia: Universiti Teknologi Malaysia International
Campus.
Joseph,
Tenibiaje. (2013). Work related stress. European Journal of Business and
Social Sciences. Department of Guidance and Counselling Faculty of
Education: Ekiti State Universit.
McGowan,
Gardner, and Fletcher. (2006). Positive and negative affective outcomes of
occupational stress. New Zeland journal of Psychology.
Mujib,
Abdul. (2012). Motivasi berprestasi sebagai mediator kepuasan kerja. Jurnal
Psikologi. Jakarta: Fakultas Psikologi UIN SYarif Hidayatullah Jakarta.
Najati, Usman. (2001). Al quran dan
psikologi. Jakarta: Aras Pustaka.
Robbins.
(2013). Organizational behavior. The United States of America: Pearson
Education Limited.
Selye, Hans (1974). Stress without
distress. Philadelphia; New York: J.B. Lippincott.
Sharif,
Behjat. (2000). Understanding and managing job stress: A vital dimension of workplace
violence prevention. The International Electronic Journal of Health
Education. California State University at Los Angeles.
thank nice infonya, kunjungi http://bit.ly/2FSuJ08
BalasHapus